Ditinggal Orang Terdekat

Jum'at, 13 Oktober 2017 - 08:02 WIB
Ditinggal Orang Terdekat
Ditinggal Orang Terdekat
A A A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

SALAH satu peristiwa tak pernah terlupakan dalam kehidupan keluarga adalah ditinggal orang terdekat yang mendahului kita pulang ke alam baka. Orang terdekat itu bisa orang tua, pasangan hidup, saudara kandung, anak, dan orang terdekat lainnya.

Dari semua itu, kita akan meresponsnya berbeda-beda, tergantung siapa yang meninggal dan apa yang menjadi penyebabnya. Jika yang meninggal orang tua di usianya sudah di atas 70 tahun ke atas, biasanya anak dan keluarganya lebih ikhlas dan siap mental melepaskannya.
Terlebih, jika sudah lama menderita sakit, mungkin meninggal merupakan cara Tuhan meringankan beban bagi diri dan keluarganya, meskipun keluarga yang ditinggal tetap berduka dan berat melepaskannya.

Bagi pasangan suami-istri kalau dihadapkan pilihan either-or, anak atau orang tua yang mesti dijemput malaikat maut Izrail, secara emosional akan memilih orang tua ketimbang anak yang meninggal dulu. Ini menunjukkan bahwa cinta seseorang pada anak jauh lebih besar dibanding cintanya pada orang tua.

Namun, yang terasa sangat berat adalah ketika orang tua ditinggal mati anaknya yang sudah masuk usia remaja. Sungguh berat menerima kenyataan itu. Terlebih lagi, jika meninggalnya karena kecelakaan.

Rasanya bertahun-tahun membesarkan, mendidik, menyekolahkan, dan ketika tumbuh dewasa menjadi kebanggaan orang tua, tiba-tiba dipisahkan oleh kematian. Sungguh pukulan mental yang amat sangat berat.

Ada beberapa orang tua yang histeris dan kehilangan keseimbangan sampai jangka waktu lama. Dalam situasi demikian, ilmu pengetahuan, harta, dan pangkat tidak bisa menolong. Hanya iman dan pasrah pada Tuhan yang bisa menghibur serta memberi jawaban untuk menenteramkan gejolak hatinya.

Pernah terjadi sebuah keluarga pada saat ekonominya tengah berkembang, anak-anaknya lagi menikmati kuliah di perguruan tinggi, tiba-tiba ayahnya yang menjadi tulang punggung keluarga meninggal. Kapal keluarga itu pun oleng, tak sanggup berlayar menuju dermaga yang dicita-citakan sebelumnya.

Anak-anaknya tak mampu meneruskan kuliahnya, istri tidak memiliki kesiapan dan kemampuan menggantikan posisi suami atau ayah untuk mencari nafkah. Sungguh suatu tsunami keluarga yang memilukan dan itu bisa terjadi pada keluarga manapun.

Ada lagi cerita peristiwa seorang suami meninggal membuat shock istrinya sehingga malu dan takut keluar rumah berbulan-bulan. Keceriaan hidupnya lenyap seketika, wajahnya pun lalu terlihat lebih tua dan tidak bercahaya. Tamu dan saudara yang datang berkunjung tidak mampu menghiburnya.

Dengan berjalannya waktu, nasib istri demikian ini ada yang cepat menemukan dirinya dan bangkit, tapi ada pula sakit-sakitan. Cukup beruntung kalau anak-anaknya sudah besar dan mandiri. Namun, yang menyedihkan jika anak-anaknya belum mandiri, mereka terpukul sedih karena ditinggal ayahnya, ditambah lagi beban mental melihat ibunya mengundang perhatian dan iba.

Bagi suami yang secara ekonomi sukses lalu ditinggal mati istri, mungkin bebannya tidak sebesar bagi istri yang ditinggal mati suaminya. Laki-laki umumnya lebih mudah mencari pasangan hidupnya yang baru.

Tetapi, tidak demikian bagi istri yang oleh masyarakat diberi predikat janda dengan tanggungan anak. Seorang ibu untuk kawin lagi akan berpikir dua kali dibanding suami yang menduda. Faktor anak akan menjadi pertimbangan utama.

Wanita karier lebih mampu hidup bersama anak-anaknya, meskipun tanpa suami. Sedangkan seorang laki-laki sulit hidup tanpa pendamping istri. Jadi sesungguhnya wanita lebih kuat mentalnya menjadi single parent ketimbang sosok ayah yang menjadi single parent.

Namun, bagaimanapun ditinggal mati anggota keluarga terdekat itu akan meninggalkan duka, bahkan ada yang berdampak goyahnya bangunan keluarga, ibarat anak ayam kehilangan induknya atau rumah patah tiang penyangganya, baik secara ekonomi maupun moral dan mental. Padahal peristiwa ditinggal orang terdekat itu pasti terjadi kepada siapa pun. Beruntung mereka yang kuat imannya, pada saat tragedi itu tak bisa dicerna oleh nalar, maka sujud dan pasrah pada Tuhan adalah solusi terbaik.

Hal yang saya sering iri adalah melihat orang tua yang meninggal begitu mudah dan indah. Sakitnya tidak lama sehingga tidak merepotkan dirinya dan keluarganya, tidak juga mengagetkan karena sudah ada isyarat kematian berupa sakit sehingga keluarga besarnya sempat berkumpul untuk mendoakan dan melepaskan dengan ikhlas.

Sebuah kematian layaknya sebuah wisuda, memasuki hidup baru yang lebih indah, mendekati Tuhan yang nama-Nya senantiasa disebut, dirindukan, dan dicintai. Dalam ajaran Islam, setiap mau tidur kita berdoa, isinya adalah ikrar bersiap mati. Ketika bangun tidur, kita bersyukur pada Tuhan yang memberikan kehidupan setelah kematian, karena tidur itu memang mirip peristiwa kematian.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.8230 seconds (0.1#10.140)