Terungkap, Almas Tidak Tanda Tangan Dokumen Perbaikan Perkara di MK
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perhimpunan Bantuan Hukum dan Indonesia (PBHI) melampirkan bukti baru dalam sidang lanjutan laporan pelanggaran kode etik Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) , Anwar Usman Cs dalam putusan batas usia capres cawapres.
Di mana, dokumen perbaikan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut ternyata tidak ditandatangani oleh pemohon Almas Tsaqibbirru Re A dan kuasa hukumnya.
Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI Julius Ibrani pun berharap agarMajelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) juga memeriksa dokumen tersebut.
"Kami khawatir apabila dokumen ini tidak pernah ditandatangani sama sekali, maka seharusnya dianggap tidak pernah ada perbaikan permohonan atau bahkan batal permohonannya," ujarnya dalam sidang pemeriksaan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/11/2023).
Julius mengatakan, dokumen tersebut didapatkan langsung dari situs MK. Kata dia, setelah dokumen tersebut diunggah ternyata tidak terdapat tanda tangan yang dimaksud.
"MK adalah role model pemeriksaan persidangan yang begitu tertib begitu disiplin dalam berbagai macam konteks termasuk salah satunya administrasi. Kami mendapatkan satu catatan dokumen ini tidak pernah ditandatangani dan ini yg dipublikasikan secara resmi oleh MK melalui situsnya," jelasnya.
Untuk diketahui, laporan pelanggaran kode etik Anwar Usman ini bermula ketika, para hakim MK menangani perkara soal uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Tepatnya, soal batas usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres Cawapres), dari 11 gugatan hanya 1 saja yang dikabulkan oleh MK.
Yakni gugatan yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 itu, Almas meminta MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah baik tingkat provinsi, kabupaten atau kota.
Gugatan tersebut ditengarai untuk memuluskan Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres. Sebab, dia baru berusia 36 tahun namun memiliki pengalaman menjadi Wali kota Solo.
Di mana, dokumen perbaikan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut ternyata tidak ditandatangani oleh pemohon Almas Tsaqibbirru Re A dan kuasa hukumnya.
Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI Julius Ibrani pun berharap agarMajelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) juga memeriksa dokumen tersebut.
"Kami khawatir apabila dokumen ini tidak pernah ditandatangani sama sekali, maka seharusnya dianggap tidak pernah ada perbaikan permohonan atau bahkan batal permohonannya," ujarnya dalam sidang pemeriksaan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/11/2023).
Julius mengatakan, dokumen tersebut didapatkan langsung dari situs MK. Kata dia, setelah dokumen tersebut diunggah ternyata tidak terdapat tanda tangan yang dimaksud.
"MK adalah role model pemeriksaan persidangan yang begitu tertib begitu disiplin dalam berbagai macam konteks termasuk salah satunya administrasi. Kami mendapatkan satu catatan dokumen ini tidak pernah ditandatangani dan ini yg dipublikasikan secara resmi oleh MK melalui situsnya," jelasnya.
Untuk diketahui, laporan pelanggaran kode etik Anwar Usman ini bermula ketika, para hakim MK menangani perkara soal uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Tepatnya, soal batas usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres Cawapres), dari 11 gugatan hanya 1 saja yang dikabulkan oleh MK.
Yakni gugatan yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 itu, Almas meminta MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah baik tingkat provinsi, kabupaten atau kota.
Gugatan tersebut ditengarai untuk memuluskan Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres. Sebab, dia baru berusia 36 tahun namun memiliki pengalaman menjadi Wali kota Solo.