Ujian Kenegarawanan Megawati

Kamis, 26 Oktober 2023 - 17:43 WIB
loading...
Ujian Kenegarawanan Megawati
Arifi Saiman - Konsul Jenderal RI New York (2019-2022) dan penulis buku Diplomasi Santri. Foto/Dok pribadi
A A A
Arifi Saiman
Konsul Jenderal RI New York (2019-2022) dan penulis buku “Diplomasi Santri”

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) merupakan partai politik dengan raihan suara terbanyak dalam penyelenggaraan Pemilu di era reformasi. Secara ideologi partai massa pendukung PDIP sudah tidak diragukan laginya soliditas dan loyalitasnya terhadap partai dan sang pemimpinnya Ibu Megawati Soekarnoputri. Massa PDIP selain sebagai massa militan juga sempat dikenal sebagai massa bertemperamen ‘sumbu pendek’ khususnya pada masa-masa awal perjalanan politik PDIP. Militansi massa PDIP dalam membela kehormatan partai terekam dalam dokumen sejarah peristiwa 27 Juli 1996 atau yang popular dikenal dengan sebutan Peristiwa Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli) atau Peristiwa Sabtu Kelabu.

Peristiwa Kudatuli memperlihatkan kepada kita betapa solidnya massa pro Megawati dalam menghadapi kekuatan massa pro Soerjadi, Ketua Umum PDI versi Kongres Medan, yang ingin mengambil alih secara paksa kantor DPP PDI yang dikuasi oleh massa pro Megawati saat itu. Soliditas kalangan loyalis Megawati juga dibuktikan dalam menyikapi kekalahan Megawati oleh Poros Tengah pada Pilpres di Sidang MPR 1999. Hasil Pilpres tersebut mengusik kesabaran massa pendukung Megawati dan bahkan berujung kericuhan seperti yang terjadi di Surakarta sebagai ungkapan protes mereka atas kekalahan Megawati.

Partai King Maker

PDIP sebagai partai politik yang memiliki dukungan massa ideologis yang cukup besar memberikan pembelajaran politik tersendiri bagi masyarakat Indonesia khususnya kalangan generasi muda yang notabene calon penerus kepemimpinan bangsa di masa mendatang. Pembelajaran politik di sini terkait kebesaran jiwa PDIP yang tercermin melalui penerimaan dan dukungannya terhadap sosok kader partai naturalisasi pada ajang kontestasi politik seperti Pilkada, Pilgub, dan bahkan Pilpres. Kebesaran jiwa PDIP dalam hal ini tercermin melalui sikap dukungannya mengantarkan Jokowi menjadi Walikota Surakarta, Gubernur DKI Jakarta, dan kemudian Presiden RI. Fasilitasi dukungan politik PDIP juga diberikan untuk mengantarkan putra dan menantu Presiden Jokowi menjadi Walikota Surakarta dan Walikota Medan.

Jiwa besar PDIP juga ditunjukkan melalui keputusan partai Banteng moncong putih ini untuk mengusung Ganjar Pranowo sebagai Capres pada Pilpres 2024. Memang, Ganjar Pranowo adalah kader tulen PDIP yang secara DNA kepartaian sudah tidak diragukan lagi jiwa Soekarnois dan jiwa marhaenismenya. Namun, sikap Megawati yang lebih memilih Ganjar Pranowo yang bukan trah Soekarno daripada putrinya sendiri Puan Maharani yang selama ini sempat digadang-gadang sebagai Capres potensial PDIP merupakan bukti lain dari sikap kenegarawanan Megawati dan PDIP yang dipimpinnya. Tanpa restu dan sikap legowo Megawati, tidak mudah bagi seorang Ganjar Pranowo untuk melenggang maju sebagai Capres PDIP sekalipun elektabilitas Ganjar lebih tinggi daripada elektabilitas Puan Maharani. Di level ini, Megawati diakui berhasil melewati dengan baik ujian kenegarawanannya.

Efek Gibranian

Kenegarawanan Megawati kembali diuji dengan pendeklarasian Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres Prabowo Subianto dan didukung salah satunya oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pimpinan Kaesang Pangarep. Kehadiran Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres Prabowo Subianto dalam kancah Pilpres 2024 memiliki pengaruh tersendiri pada peta persaingan kontestasi Pilpres khususnya terkait misi penggalangan dukungan massa. Kelompok Gibranian atau komunitas pendukung Gibran menjadi amunisi baru untuk meraih dukungan suara bagi pasangan Prabowo-Gibran di luar dukungan organ relawan pro Jokowi lainnya seperti kelompok relawan PROJO.

Efek Gibranian (Gibranian effect) secara nyata diakui berjasa membuka jalan bagi Gibran untuk dapat terjun mengikuti kontestasi Pilpres 2024. Melalui Mahkamah Konstitusi (MK), gugatan uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dengan nomor perkara 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh seorang Gibranian asal Surakarta bernama Almas Tsaqib Birru akhirnya dikabulkan. Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa syarat batas usia Capres dan Cawapres minimal 40 tahun, tetapi membuka peluang bagi orang yang sudah pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah melalui Pilkada. Putusan MK ini memicu pro-kontra di kalangan masyarakat, namun demikian secara legalitas formal Putusan MK ini dinilai final dan mengikat.

Pendeklarasian Gibran sebagai Cawapres Prabowo setidaknya mempengaruhi strategi pemenangan Pilpres PDIP yang mengusung duet Ganjar Pranowo-Mahfud MD sebagai Capres dan Cawapres. Harapan untuk mengkonsolidasikan kekuatan semua organ relawan pendukung Jokowi untuk mendukung kemenangan Ganjar-Mahfud tampaknya mesti dikalkulasi ulang kembali. Komitmen dukungan sejumlah organ relawan pro Jokowi terhadap pasangan Prabowo-Gibran tidak dapat dilepaskan dari pengaruh sosok Jokowi yang dalam hal ini terrepresentasikan melalui sosok Gibran. Situasi ini tentunya mempertaruhkan peluang Ganjar-Mahfud untuk dapat meraup dukungan suara penuh dari kubu organ relawan pro Jokowi.

Perebutan dukungan suara potensial juga diperkirakan terjadi di kalangan pemilih muda yang secara kuantitas cukup besar. Gibran yang berusia muda dibandingkan kontestan pesaingnya tentunya memiliki peluang lebih terbuka untuk engaging, winning the heart, dan winning the mind kalangan swing voters dan undecided voters yang rata-rata berusia muda. Belajar dari pengalaman Pilkada, Pilgub dan Pilpres, kemenangan kontestan tidak mutlak ditentukan oleh seberapa banyak jumlah parpol pengusungnya mengingat parpol pengusung tidak dapat menjamin penuh untuk mengarahkan suara simpatisannya sesuai pilihan parpol bersangkutan. Dalam arti, pilihan rasional pemilih individual (the rational choices of individual voters) yang berada di luar jangkauan pengaruh parpol pengusung pasangan calon (paslon) diakui turut memberikan andil besar bagi kemenangan seorang paslon.

Politik Elegan Megawati

Megawati dan PDIP adalah pihak yang dipandang berjasa membesarkan dan menjadi pelindung setia Jokowi sejak pertama kali masuk dunia pemerintahan hingga sekarang. Karena itu, Megawati dan PDIP dinilai pantas untuk merasa kecewa saat dihadapkan pada sebuah kenyataan terkait manuver politik Jokowi dan keluarganya, seperti bergabungnya Kaesang Pangarep ke PSI dan pendeklarasian Gibran sebagai Cawapres Prabowo.

Namun, Megawati dan PDIP justru menafikan semua persepsi publik dengan mengambil sikap berbeda. Dalam arti, Megawati dan PDIP tampak tenang dan tidak emosional termasuk dalam menyikapi manuver politik Gibran yang masih berstatus resmi sebagai anggota PDIP. Tidak hanya Megawati, kedewasaan sikap dalam menyikapi pencawapresan Gibran juga ditunjukkan oleh kalangan tokoh senior PDIP lainnya seperti F.X. Hadi Rudyatmo yang menyikapi pencawapresan Gibran sebagai “hak” yang bersangkutan sebagai warga negara yang dijamin Undang-Undang. Kedewasaan perilaku politik Megawati dan PDIP ini memberikan keteladanan politik bagi masyarakat. Ini merupakan modal penting bagi bangsa ini menuju sebuah peradaban politik yang cerdas dan santun dalam menyikapi perbedaan sikap politik.

Di sisi lain, Megawati dan PDIP tampaknya sadar betul bahwa manuver politik harus dihadapi dengan manuver politik, bukan dengan sikap emosional. Sikap Megawati dan PDIP ini dapat diterjemahkan sebagai strategi politik untuk meredam narasi-narasi politik seperti “penzaliman politik” terhadap keluarga Jokowi yang dapat merugikan PDIP dan paslon yang diusungnya.

Perilaku politik Megawati dan PDIP yang elegan ini setidaknya dapat berkontribusi meredam potensi konflik di tataran akar rumput yang kecewa terhadap Jokowi dan politik dinastinya. Dengan terkendalinya potensi konflik di tataran akar rumput, Pemilu 2024 niscaya dapat berlangsung kondusif, aman dan damai meski diwarnai perbedaan kepentingan di kalangan kontestan. Pepatah mengatakan “There are no permanent friends or permanent enemies, but only permanent interests”.

Adagium tersebut berlaku pula dalam konstelasi politik domestik. Karena itu, keributan terkait Pemilu merupakan sesuatu yang sama sekali tidak perlu terjadi dan bahkan sebisa mungkin dihindari. Istilah “sekarang lawan besok bisa menjadi kawan, sekarang kawan besok bisa menjadi lawan” merupakan sesuatu yang lazim dijumpai atau didengar dalam kehidupan politik. Karena itu, pertikaian karena perbedaan politik sudah semestinya dihindari, dan sebaliknya saatnya kita mulai membiasakan diri dengan perbedaan politik dan menyikapinya secara dewasa dan cerdas, serta dengan kepala dingin tanpa memasukkannya ke dalam hati. Salam Demokrasi !!!
(wur)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2673 seconds (0.1#10.140)