Akhiri Polemik, Terbuka Saja

Kamis, 30 April 2020 - 06:45 WIB
loading...
Akhiri Polemik, Terbuka Saja
Jumlah korban akibat wabah virus korona (Covid-19) kembali menjadi polemik. Foto/SINDOnews
A A A
JUMLAH korban akibat wabah virus korona (Covid-19) kembali menjadi polemik. Apalagi data secara nasional menunjukkan bahwa persebaran kasus banyak terjadi di daerah. Sementara itu, DKI Jakarta yang awalnya menjadi episentrum persebaran virus dengan jumlah korban paling besar kini mulai melandai.

Namun, masyarakat tetap harus meningkatkan kewaspadaan dan tidak menganggap santai datarnya kasus positif Covid-19 di Jakarta. Bukan tidak mungkin lonjakan kembali terjadi jika masyarakat lalai dalam mematuhi protokol yang sudah ditetapkan.

Secara keseluruhan, pasien positif korona di Jakarta per 29 April 2020 mencapai 4.033 orang. Dengan rincian 412 orang sembuh, dan 381 orang meninggal.

Bertambahnya pasien sembuh itu mengakibatkan perubahan tren data. Jika sebelumnya tingkat kematian akibat Covid-19 di Jakarta selalu lebih tinggi dibandingkan tingkat kesembuhan, kini keadaan sudah berbalik.

Per 29 April 2020, untuk pertama kalinya tingkat kesembuhan di Jakarta lebih tinggi dibandingkan tingkat kematian. Dengan rincian tingkat kesembuhan 10,2% dan tingkat kematian 9,4%.

Kasus positif korona di Indonesia per 28 April 2020 mencapai 9.511. Jumlah itu tak lagi terpusat di Jakarta, tetapi menyebar di seluruh Indonesia. Ini jelas berbeda dengan data korona saat pertama kali terdeteksi. Pada awal Maret 2020, kasus korona di Indonesia terpusat di Jakarta. Bahkan, angka kasus di Jakarta saat itu lebih besar jika dibandingkan jumlah kasus di seluruh Indonesia. Itu jika mengacu pada pusat data korona DKI Jakarta, bahwa rasio kasus korona di Jakarta terhadap nasional bahkan pernah mencapai lebih dari 100%.

Data itu sudah pasti sangat mengejutkan. Sebab semestinya, rasio kasus korona di suatu provinsi tak mungkin lebih dari 100%. Meskipun simpang siur soal data sebenarnya masih terjadi, setidaknya warga Jakarta bisa sedikit lega karena kurva wabah mulai melandai.

Sejatinya simpang siur masalah data tak bakal terjadi andai saja semua pihak mau dan bersedia secara kesatria untuk mengungkap semuanya. Toh, tak perlu lagi ditutup-tutupi karena masyarakat sudah mendapat banyak informasi dari sumber lain. Kesengajaan untuk menyembunyikan data, termasuk data korban meninggal, hanya akan memicu bom waktu ketidakpercayaan masyarakat di masa depan.

Berdasarkan tinjauan yang dilakukan kantor berita asing, Reuters, disebut ada lebih dari 2.200 orang Indonesia yang meninggal dengan gejala akut Covid-19, tetapi tidak dicatat sebagai korban meninggal akibat Covid-19. Orang-orang yang meninggal itu masih dikategorikan sebagai pasien dalam pengawasan (PDP) dan hasil tesnya belum keluar.

Media itu menyebut telah meninjau data 16 dari 34 provinsi di Indonesia untuk mendapatkan hasil itu. Ke-16 provinsi tersebut memiliki total penduduk lebih dari tiga perempat penduduk Indonesia.

Reuters juga menyebut bahwa Indonesia memiliki salah satu tingkat pengujian Covid-19 terendah di dunia dan beberapa ahli epidemiologi mengatakan bahwa itu telah mempersulit berbagai pihak untuk mendapatkan gambaran akurat tentang tingkat infeksi di negara terpadat keempat di dunia ini. Yang membuat kaget, data itu tak dibantah oleh pemerintah.

Bahkan, pemerintah merilis 213.644 individu yang masuk kategori orang dalam pemantauan (ODP) dan 20.428 sebagai pasien dalam pengawasan (PDP) di Indonesia. Pemerintah telah mengaktifkan 48 laboratorium untuk pemeriksaan sampel terkait Covid-19. Laboratorium pemeriksaan itu terdiri atas laboratorium yang ada di perguruan tinggi di Indonesia, laboratorium Kementerian Kesehatan, laboratorium kesehatan daerah, dan laboratorium rumah sakit, hingga balai veteriner.

Keberhasilan Jakarta melandaikan kurva tentu perlu dijadikan pengalaman bagi daerah lainnya dalam menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Bagaimana menjaga kedisiplinan masyarakat dan dunia usaha. Adapun hal yang paling penting, masyarakat harus tetap fokus untuk mengikuti protokol dan mengabaikan segala bentuk agitasi dan propaganda yang dilakukan oleh pihak-pihak yang patut diduga sengaja dipasang untuk membuat suasana tidak kondusif.
(cip)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3822 seconds (0.1#10.140)