Penguatan Antibodi Perbankan terhadap Serangan Covid-19

Kamis, 30 April 2020 - 06:15 WIB
loading...
Penguatan Antibodi Perbankan terhadap Serangan Covid-19
Dr.Ir. Sahat M.Sihombing, MM, CERG Pengamat Keuangan, Akademisi. Foto/ist
A A A
Dr.Ir. Sahat M.Sihombing, MM, CERG
Pengamat Keuangan, Akademisi

DUA puluh dua tahun telah berlalu, namun masih segar dalam ingatan kita, krisis moneter dan perbankan yang menghantam Indonesia pada 1998, ditandai dengan likuidasi 16 bank, menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan. Untuk mengatasi krisis yang terjadi, pemerintah melakukan bail-out, yaitu skema bantuan yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank (BLBI) yang mengalami masalah likuiditas hingga Rp147,7 triliun kepada 48 bank. Hingga kini, kisah Bail-out masih masih menyisakan luka batin bagi pengambil kebijakan.

Pascakrisis 1998, pemerintah memperkuat lembaga yang memelihara stabilitas sistem keuangan dan perbankan, yaitu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), yang didirikan berdasarkan UU No 24 Tahun 2004, serta terbentuknya OJK dengan payung hukum UU No 21 Tahun 2011. pemerintah menerbitkan UU No 9 Tahun 2016 yang mengubah opsi bail-out menjadi bail-in dalam penanganan bank bermasalah.

Maret 2020, terjadilah serangan Covid-19 di Indonesia. Untuk meredam dampaknya terhadap ekonomi Indonesia, Presiden Jokowi menerbitkan Perppu No 1 Tahun 2020. Sebelumnya OJK melahirkan POJK Nomor 11/POJK.03/2020 yang mengatur seluruh bank dapat merestrukturisasi utang debitur sehingga dapat menunda cicilan hingga 12 bulan.

Pertanyaan filosofis adalah, apakah krisis perbankan 1998 akan terulang dengan serangan Covid-19? Kita harus ingat tahun 1998, OJK dan LPS belum ada. Krisis 1998 menghantam keuangan dan perbankan, sementara Covid-19 menghantam pelaku ekonomi yaitu manusia dibuat tidak berdaya. Marilah kita kalkulasi dampak buruk Covid-19, khususnya terhadap perbankan dengan melihat bahwa Covid-19 sanggup merontokkan ekonomi negara adidaya USA, China, dan negara-negara Eropa, sementara krisis 1998 dipicu oleh krisis keuangan di Asia pada 1997-1998.

Dampak bagi Perbankan

Penundaan cicilan kredit ini, ibarat air di tengah gurun pasir, sangat memuaskan dahaga rakyat karena dunia usaha banyak yang megap-megap siap gulung tikar. Buruh pabrik mulai limbung karena kehilangan uang lembur. Kemampuan mencicilnya menurun. Risiko kredit meningkat. Proses penundaan cicilan debitur secara teknis terkendala pembatasan sosial skala besar (PSBB). Bank harus selektif dan prudent, jangan sampai ada “penumpang gelap” yang menikmati kebijakan ini. OJK sdh mencium adanya kemungkinan moral hazard tersebut.

Restrukturisasi ini dapat memicu berbagai risiko bagi bank, antara lain risiko likuiditas, permodalan, kredit, dan profitabilitas. Menunda cicilan (deffered payment) akan berdampak pada peningkatan risiko likuiditas. Meskipun Bank telah melakukan profiling debitur dengan baik, sulit meramalkan setelah Covid-19 pendapatan/usaha debitur akan pulih, ketika memburuk terjadilah peningkatan nonperforming loan (NPL) yang akan mempercepat penurunan capital adequacy ratio (CAR) bank. Peningkatan NPL akan menurunkan pendapatan bank, sekaligus akan menurunkan pemupukan modal dari retained earning tahun berjalan. Di sisi lain, bank tetap harus mengeluarkan dana untuk membayar bunga dana deposan.

Sejak Januari 2020, PSAK 71 diimplementasikan di perbankan. Cicilan kredit yang ditunda cicilannya digolongkan peningkatan signifikan risiko kredit (PSRK), artinya terjadi peningkatan biaya CKPN dari 12 bulan menjadi sepanjang usia kredit. Hal ini sempat menjadi dilema bagi para perbankan, karena dengan menunda cicilan sama artinya meningkatkan biaya CKPN yang mengurangi laba bank. DSAK IAI telah mengeluarkan pers releasebahwa atas penundaan cicilan kredit, tidak tepat jika bank langsung beranggapan terjadi peningkatan biaya CKPN, karena sudah ada payung POJK 11, namun bank tetap dihadapkan ketidakpastian apakah kemampuan debitur akan pulih pascarestrukturisasi 12 bulan. Apabila debitur gagal bayar, bank harus siap-siap membentuk biaya CKPN, karena sesuai regulasi PSAK71 maka bank tetap diminta menghitung dampak nilai uang (net present value) penundaan cicilan kredit, sehingga bank perlu melihat kembali metodologi PSAK eksisting.

Akibat Covid-19, BI merevisi turun pertumbuhan kredit pada 2020 menjadi 6% sampai 8%. Sesuai Statistik OJK per Januari 2020, total penyaluran kredit perbankan bank umum sebesar Rp5.567 triliun tumbuh 6,05% year on year dengan ratio NPL 2,77%.

Dengan PSBB, mayoritas kegiatan kantor dan bisnis akan tutup, pergerakan masyarakat sangat dibatasi. Proses pemberian kredit mulai terhambat. Risk acceptance criteria perbankan akan semakin ketat. Bank akan membatasi diri dalam ekspansi kredit. Hal ini akan menekan pendapatan bank yang mayoritas bank di Indonesia didominasi pendapatan bunga kredit dibandingkan pendapatan transaksional (fee based income).

Likuiditas bank sesuai Basel III diukur dengan liquidity coverage ratio (LCR) dan net stable funding ratio (NSFR) minimal 100%. LCR untuk menilai kemampuan bank memenuhi kebutuhan jangka pendek 30 (tiga puluh hari) ke depan. Salah satu komponen cash in adalah cicilan debitur lancar.Kebijakan penundaan angsuran berpotensi menekan ratio LCR di bawah ketentuan minimal. NSFR adalah likuiditas stabil yang dimiliki bank untuk meng-cover aset stabil jangka panjang (tahunan). Salah satu komponennya adalah modal, menurunnya laba bank berpotensi menekan permodalan bank dan menurunkan ratio NSFR.

Penguatan Antibodi Perbankan

Ibarat menyerang daya tahan tubuh manusia, Covid-19 juga akan menyerang daya tahan tubuh perbankan yaitu likuiditas, permodalan, kualitas kredit, dan profitabilitas, sehingga perlu obat untuk penguatan antibodi perbankan, agar krisis perbankan 1998 tidak terulang.

Resep obat telah diterbitkan pemerintah melalui Perppu No 1 Tahun 2020 yang diikuti oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 38/PMK.02/2020 dan PMK 33/PMK.010/2020. Menteri Keuangan mengatur pelaksanaan kebijakan keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 untuk menghadapi ancaman yang membahayakan stabilitas keuangan dan perekonomian nasional, serta tata cara pemberian pinjaman kepada LPS.

Melalui Perppu Nomor 1, pemerintah memberikan wewenang BI dalam memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek kepada bank sistemik atau bank selain bank sistemik, bahkan memberikan pinjaman likuiditas khusus kepada bank sistemik yang mengalami kesulitan likuiditas dan tidak memenuhi persyaratan pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek yang dijamin oleh pemerintah dan diberikan berdasarkan Keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

Beberapa antibodi yang disiapkan oleh pemerintah adalah melalui pemberian kewenangan kepada LPS bersama OJK untuk penanganan permasalahan likuiditas bank berupa penjualan/repo surat berharga negara yang dimiliki kepada Bank Indonesia (BI), penerbitan surat utang, pinjaman kepada pihak lain, dan atau pinjaman kepada pemerintah, dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank gagal.

Kita berharap, dengan adanya OJK, LPS, BI, KSSK dengan payung hukum Perppu Nomor 1 Tahun 2020, serangan Covid-19 tidak akan merontokkan perbankan seperti tahun 1998, meskipun ada yang melontarkan kritik bahwa kebijakan ini mengembalikan kebijakan bail-out yang telah dihapus. Namun berbeda dengan 1998, OJK sudah memiliki penyangga berupa recovery plan bank sistemik yang merupakan kebijakan bail-in mencakup permodalan, likuiditas, kualitas aset, dan profitabilitas.
(cip)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1641 seconds (0.1#10.140)