Soal Turunan UU Kesehatan, DPI Minta Dilibatkan dan Ada Sosialisasi

Senin, 11 September 2023 - 13:11 WIB
loading...
Soal Turunan UU Kesehatan, DPI Minta Dilibatkan dan Ada Sosialisasi
Pembahasan aturan UU Kesehatan dinilai masih minim sosialisasi dan minim pelibatan pihak-pihak terkait. Foto/Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pembahasan aturan Undang-Undang (UU) Kesehatan dinilai masih minim sosialisasi dan minim pelibatan pihak-pihak terkait. Pandangan ini terungkap saat Dewan Periklanan Indonesia (DPI) mempertanyakan rencana pelarangan iklan produk tembakau di ruang publik maupun internet dalam draf Peraturan Pemerintah (PP) yang sedang disusun Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Sebagai salah satu pihak yang berkaitan erat dengan industri hasil tembakau, pihaknya mengaku belum pernah dilibatkan dalam pembahasan aturan turunan UU Kesehatan tersebut.

"Padahal, dampak aturan soal tembakau pada periklanan nasional sangat besar, seperti dalam aspek tenaga kerja hingga pemasukan," kata Ketua Badan Musyawarah Regulasi DPI sekaligus Anggota Tim Perumus Etika Pariwara Indonesia, Herry Margono, Senin (11/9/2023).



Herry Margono mengatakan, setelah UU Kesehatan diundangkan pada 8 Agustus 2023, industri periklanan dikagetkan dengan munculnya wacana pelarangan total iklan produk tembakau di ruang publik dan internet yang tertuang dalam draf PP UU Kesehatan.

Hal ini dinilainya akan menuai banyak protes dari berbagai pihak karena menimbulkan ketidakadilan.
"Pihak periklanan seharusnya dilibatkan dalam perumusan aturan turunan iklan produk tembakau tersebut," tegasnya.

"Dewan Periklanan Indonesia juga layak didengarkan pertimbangannya. Minimal adalah Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) juga dilibatkan. Ini kami belum mengetahui sama sekali informasinya," tambahnya.

Selain itu kata dia, disebutkan bahwa Rancangan PP turunan UU Kesehatan tersebut turut menyertakan pelarangan mengiklankan produk tembakau di tempat penjualan dan ruang publik. "Ini juga perlu diperjuangkan. Kenapa kok enggak boleh sama sekali ada promosi rokok di ruang publik?" ujarnya.

Herry melanjutkan, draf PP ini perlu disosialisasikan kepada publik, terutama mengenai wacana pelarangan-pelarangan tersebut. "Apa acuannya dari masing-masing larangan itu? Reason dan why-nya apa? Ini perlu sosialisasi dan justifikasi ke masyarakat," tuturnya.

Ia juga mengingatkan pemerintah bahwa wacana pelarangan iklan produk tembakau akan berdampak buruk tidak hanya bagi industri hasil tembakau, tapi juga termasuk industri ekonomi kreatif, termasuk di dalamnya industri periklanan, pertunjukan, media, dan hiburan.

Padahal, menurutnya, saat ini mayoritas industri tersebut sedang berupaya pulih pasca terdampak pandemi Covid-19 yang imbasnya berlangsung cukup lama.

"Pembatasannya kan sudah baik selama ini. Jadi, kenapa harus ada pengetatan lagi? Ini perlu dijelaskan kepada publik," ungkapnya.

"Yang penting adalah harmonisasi regulasi saja. PP-nya tidak bertentangan dengan UU-nya, sehingga kalau di UU-nya tidak dilarang, ya semestinya di aturan turunannya juga tidak dilarangnya," tutupnya.

Sementara Anggota Komisi IX DPR, Abidin Fikri mengatakan, pentingnya keterbukaan informasi publik dalam penyusunan PP sebagai aturan turunan UU Kesehatan.

"Prinsipnya, keterbukaan informasi publik itu penting dikedepankan. Ini harus menjadi perhatian. Keterbukaan informasi publik bertujuan supaya publik menjadi tahu dan tidak menimbulkan polemik," jelasnya.

Selain itu, politisi PDIP ini juga memberikan pendapat terkait wacana pelarangan iklan dan promosi produk tembakau sebagai bagian dari aturan turunan UU Kesehatan. Ia menyatakan bahwa pengaturan itu memang penting untuk dilakukan, tetapi bukan pelarangan.

"Jangan sampai ini menjadi pengekang industri kreatif," pungkasnya.
(maf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2472 seconds (0.1#10.140)