Kemenkes Diminta Libatkan Partisipasi Publik Susun Aturan Turunan UU Kesehatan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) diminta melibatkan partisipasi publik terkait rencana meringkas aturan turunan Undang-Undang (UU) Kesehatan dari 108 Peraturan Pemerintah (PP) menjadi 1 PP. Partisipasi publik penting untuk meningkatkan efektivitas penyusunan aturan mengingat September 2023 ditargetkan selesai.
Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai partisipasi publik dalam penyusunan aturan turunan UU Kesehatan belum optimal. Kurangnya partisipasi publik ini terlihat dari minimnya informasi yang tersebar mengenai upaya penyusunan aturan turunan UU Kesehatan yang bersifat omnibus law tersebut.
Saat ini, belum diketahui secara jelas seperti apa bentuk PP yang akan menjadi aturan turunan dari UU Kesehatan tersebut. "Jadi, perlu dikritisi terkait dengan partisipasi publik itu. Apakah di dalam perumusannya itu melibatkan pihak-pihak terkait atau tidak? Kalau misalkan jadi satu PP, berarti kan terdiri dari sejumlah klaster. Kalau tanpa klaster kan bisa bikin bingung. Nah, ini seperti apa?" kata Trubus, Rabu (6/9/2023).
Menurut Trubus, keterbukaan informasi dan transparansi dalam proses penyusunan perundang-undangan telah diamanahkan di UU Keterbukaan Informasi Publik. "Aturannya sudah ada. Jangan sampai prinsip kehati-hatian dalam menyusunannya ini terabaikan. Idealnya adalah partisipasi publik harus dikedepankan," katanya.
Baca Juga: Paripurna DPR Setujui UU Kesehatan Jiwa
Lemahnya prinsip kehati-hatian itu, kata Trubus, juga tercermin saat penyusunan draf UU Kesehatan. Waktu itu sempat terdapat pasal yang menimbulkan penafsiran berbeda dan ambigu, misalnya pasal zat adiktif terkait tembakau. “Ketika pemerintah membuka proses penyusunan aturan turunan kepada publik, setidaknya ada tiga hal fundamental yang bisa diraih. Pertama, komunikasi publik; kedua, informasi publik; dan ketiga, edukasi public,” ucapnya.
Di kesempatan berbeda, Direktur Indonesia Center for Legislative Drafting (ICLD) yang juga Pakar Perundang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Fitriani Ahlan Sjarif menyatakan hal yang sama. Partisipasi publik dibutuhkan agar efektivitas peraturan turunan UU Kesehatan bisa tercapai.
"Kalau secara status hukumnya bagus, bisa tercapai dalam waktu cepat. Perintah UU terpenuhi dan ini perlu dihargai. Tapi, efektivitasnya jadi diragukan karena partisipasi masyarakat belum cukup. Jadi, diragukan diterima publik," katanya.
Fitriani menambahkan target penyelesaian aturan turunan UU Kesehatan pada September 2023 akan membuat partisipasi publik secara ideal tidak dapat terpenuhi. "Tapi, setidaknya dibuka saja ruang itu secara partisipatif sehingga sisa waktu yang ada ini bisa terpenuhi partisipasi publiknya," katanya.
UU Kesehatan, kata Fitriani, sebagaimana omnibus law lainnya, memiliki ruang lingkup yang luas. Maka, terdapat tantangan, yaitu Peraturan Pemerintah sebagai aturan turunannya semakin gemuk.
"Jadi, sebenarnya seharusnya PP-nya tidak dalam bentuk omnibus karena akan jadi lebih rumit dari UU Kesehatannya itu sendiri. Semakin gendut PP-nya, maka semakin banyak ruang lingkupnya, maka semakin banyak pula stakeholdersnya. Partisipasi publik ini yang seharusnya lebih besar," katanya.
Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai partisipasi publik dalam penyusunan aturan turunan UU Kesehatan belum optimal. Kurangnya partisipasi publik ini terlihat dari minimnya informasi yang tersebar mengenai upaya penyusunan aturan turunan UU Kesehatan yang bersifat omnibus law tersebut.
Saat ini, belum diketahui secara jelas seperti apa bentuk PP yang akan menjadi aturan turunan dari UU Kesehatan tersebut. "Jadi, perlu dikritisi terkait dengan partisipasi publik itu. Apakah di dalam perumusannya itu melibatkan pihak-pihak terkait atau tidak? Kalau misalkan jadi satu PP, berarti kan terdiri dari sejumlah klaster. Kalau tanpa klaster kan bisa bikin bingung. Nah, ini seperti apa?" kata Trubus, Rabu (6/9/2023).
Menurut Trubus, keterbukaan informasi dan transparansi dalam proses penyusunan perundang-undangan telah diamanahkan di UU Keterbukaan Informasi Publik. "Aturannya sudah ada. Jangan sampai prinsip kehati-hatian dalam menyusunannya ini terabaikan. Idealnya adalah partisipasi publik harus dikedepankan," katanya.
Baca Juga: Paripurna DPR Setujui UU Kesehatan Jiwa
Lemahnya prinsip kehati-hatian itu, kata Trubus, juga tercermin saat penyusunan draf UU Kesehatan. Waktu itu sempat terdapat pasal yang menimbulkan penafsiran berbeda dan ambigu, misalnya pasal zat adiktif terkait tembakau. “Ketika pemerintah membuka proses penyusunan aturan turunan kepada publik, setidaknya ada tiga hal fundamental yang bisa diraih. Pertama, komunikasi publik; kedua, informasi publik; dan ketiga, edukasi public,” ucapnya.
Di kesempatan berbeda, Direktur Indonesia Center for Legislative Drafting (ICLD) yang juga Pakar Perundang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Fitriani Ahlan Sjarif menyatakan hal yang sama. Partisipasi publik dibutuhkan agar efektivitas peraturan turunan UU Kesehatan bisa tercapai.
"Kalau secara status hukumnya bagus, bisa tercapai dalam waktu cepat. Perintah UU terpenuhi dan ini perlu dihargai. Tapi, efektivitasnya jadi diragukan karena partisipasi masyarakat belum cukup. Jadi, diragukan diterima publik," katanya.
Fitriani menambahkan target penyelesaian aturan turunan UU Kesehatan pada September 2023 akan membuat partisipasi publik secara ideal tidak dapat terpenuhi. "Tapi, setidaknya dibuka saja ruang itu secara partisipatif sehingga sisa waktu yang ada ini bisa terpenuhi partisipasi publiknya," katanya.
UU Kesehatan, kata Fitriani, sebagaimana omnibus law lainnya, memiliki ruang lingkup yang luas. Maka, terdapat tantangan, yaitu Peraturan Pemerintah sebagai aturan turunannya semakin gemuk.
"Jadi, sebenarnya seharusnya PP-nya tidak dalam bentuk omnibus karena akan jadi lebih rumit dari UU Kesehatannya itu sendiri. Semakin gendut PP-nya, maka semakin banyak ruang lingkupnya, maka semakin banyak pula stakeholdersnya. Partisipasi publik ini yang seharusnya lebih besar," katanya.
(cip)