Arogansi dan Egoisme yang Radikal

Senin, 11 September 2023 - 11:39 WIB
loading...
Arogansi dan Egoisme yang Radikal
Kemala Atmojo - Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni. Foto/Dok Pribadi
A A A
Kemala Atmojo
Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sudah biasa menyaksikan aneka sifat atau kepribadian manusia yang beraneka jenis. Apalagi di tengah situasi politik menjelang Pemilihan Presiden 2024 yang makin panas sekarang ini. Watak asli mereka keluar dan publik bisa menyaksikan dengan gamblang. Selain tampak mereka yang berkepribadian baik, santun, kalem, rendah hati, humoris; ada juga yang terlihat arogan, egois, individualistis, dan lain-lain.

Bahkan ada juga perilaku yang dapat digolongkan sebagai gangguan kepribadian seperti borderline personality disorder (BPD), yang ditandai dengan ketidakstabilan emosi, hubungan antarpribadi yang bergolak dan impulsivitas; Lalu narcissistic personality disorder (NPD), yang ditandai dengan rasa kepentingan diri yang berlebihan, kurang empati terhadap orang lain, dan kebutuhan untuk dipuja atau diakui secara berlebihan.

Ada juga yang histrionic personality disorder (HPD), ditandai oleh pola berlebihan dalam berbicara, perhatian, dan penampilan fisik yang dramatis. Mereka ini cenderung mencari perhatian terus-menerus, sering berperilaku provokatif atau eksentrik, dan memiliki perasaan yang mendalam akan kebutuhan untuk disukai atau diakui.

Lebih gawat lagi, ada satu-dua orang yang terlihat mengalami gangguan kejiwaan seperti bipolar disorder (BD), yang tampak dengan adanya perubahan mood ekstrem; dan ada pula gangguan skizofrenia, yang ditandai oleh gangguan dalam pemikiran, persepsi, dan perilaku, termasuk delusi, halusinasi, dan gangguan pemikiran.

Lalu apa itu arogansi? Ia memang tidak termasuk dalam gangguan kejiwaan, tetapi tetap saja menyebalkan jika melihat orang arogan. Arogansi adalah sikap atau perilaku yang ditandai oleh perasaan superioritas, keangkuhan, atau ketidakpedulian terhadap perasaan, pandangan, atau hak orang lain. Orang yang arogan cenderung merasa bahwa mereka lebih baik atau lebih penting daripada orang lain dan seringkali menunjukkan sikap yang merendahkan atau meremehkan orang lain.

Sifat arogan dapat muncul dalam hubungan sosial, profesional, maupun pribadi. Mereka umumnya sulit bekerja sama dalam tim, sulit menerima masukan atau kritik, dan seringkali cenderung memojokkan atau merendahkan orang lain untuk mendukung pandangan mereka sendiri. Arogansi ini jelas merugikan dalam hubungan interpersonal dan menciptakan ketegangan. Sebaliknya, sikap rendah hati, empati, dan kerendahan hati dihargai dalam interaksi sosial dan membantu membangun hubungan yang sehat dan positif dengan orang lain.

Adakah hubungan antara arogansi itu dengan egoisme? Bisa ada. Jika arogansi adalah sikap atau perilaku yang menunjukkan perasaan superioritas, keangkuhan, dan ketidakmampuan untuk mengakui atau menghargai pandangan, maka egoisme adalah sikap atau perilaku yang menekankan kepentingan diri sendiri di atas kepentingan orang lain. Orang yang egois cenderung fokus pada diri mereka sendiri, kebahagiaan mereka sendiri, dan manfaat pribadi mereka tanpa memperhatikan atau peduli terlalu banyak pada kebutuhan atau perasaan orang lain.

Hubungan antara keduanya terletak dalam fakta bahwa orang yang arogan seringkali memiliki sifat egois. Mereka mungkin merasa bahwa kepentingan dan pandangan mereka adalah yang paling penting dan mengutamakan diri mereka sendiri di atas semua orang lain. Kombinasi arogansi dan egoisme dapat menyebabkan konflik interpersonal, karena individu ini mungkin sulit untuk bekerja sama atau berempati dengan orang lain.

Memang, tidak semua orang yang arogan juga egois, dan sebaliknya. Ada orang yang arogan namun tetap dapat peduli terhadap kepentingan orang lain, dan ada orang yang egois namun tidak terlalu arogan. Kedua konsep ini adalah sifat-sifat kompleks yang dapat bervariasi dari individu ke individu.

Nah, mengenai egoisme dan individualisme ini, ada “kepala suku”-nya di dunia filsafat. Namanya Max Stirner, filosof Jerman yang dikenal punya pemikirian sangat egois. Pemikirannya yang cukup radikal itu kemudian dikenal sebagai egoisme individualis atau egoisme Stirnerian.

Gagasan Stirner yang disebut egoisme individualis itu menyatakan bahwa individu harus mengejar kepentingan dan kebahagiaan pribadi mereka sendiri tanpa terikat oleh otoritas, moralitas, atau norma sosial yang diimposkan oleh masyarakat atau negara. Ia menentang berbagai bentuk otoritas, termasuk agama, pemerintahan, moralitas, dan ideologi politik. Ia mengklaim bahwa individu seharusnya tidak membiarkan diri mereka dikendalikan oleh konsep-konsep abstrak seperti "kebaikan" atau "moralitas" yang tidak sesuai dengan kepentingan pribadi mereka.

Pandangan Stirner ini sangat radikal. Bagi Stirner, saya sama dengan kuasaku. Saya berhak melakukan segala sesuatu yang saya bisa. Hanya saya sendiri yang menentukan apa yang menjadi hak saya. Bukan orang lain. Meskipun seluruh dunia menganggap sesuatu bukan hak saya, namun hal itu adalah hak saya bila saya sendiri menganggapnya demikian dan bisa mewujudkannya. Menurut Stirner, aku sama dengan kuasaku.

Hak dan milik berkaitan erat satu sama lain karena hak saya. Jangkauan hak milik saya sama luasnya seperti kuasa saya. Segalanya yang bisa saya peroleh, termasuk milik saya. Milik saya hanya dibatasi oleh kuasa orang lain untuk mengambilnya. Jadi, segala sesuatu tergantung dari kuasa dan kekerasan saya.

Orang yang egois tak peduli dengan hal ihwal ilahi atau hal-hal yang menusiawi. Kata Stirner, seperti dikutip P.A. Van der Weij, "Yang ilahiah itu urusan Tuhan dan yang manusiawi adalah urusan manusia lain. Perkaraku bukanlah yang ilahiah dan bukanlah yang manusiawi. Urusanku bukanlah yang benar, yang baik, yang lurus, dan sebagainya. Urusanku hanyalah yang aku punya."

Kata si egois, apa yang Anda bisa, untuk itu Anda berhak pula. Segala hak dan pembenarannya itu tergantung dari diri Anda sendiri. Aku berhak untuk melakukan apa saja yang aku bisa. Pendeknya, seorang egois menikmati dirinya sendiri, tenggelam dalam kuasa serta miliknya, merasa tuan atas semua orang dan segala-galanya.

Jadi, individu harus menjadi pusat segala hal dalam kehidupan mereka, dan mereka harus mengutamakan kepentingan dan kebahagiaan pribadi mereka sendiri di atas segala sesuatu. Stirner menganggap bahwa konsep-konsep abstrak seperti moralitas, agama, dan ideologi hanya membatasi individu dan menghambat ekspresi dari keinginan dan ambisi individu. Stirner sangat kritis terhadap otoritas eksternal, baik dalam bentuk pemerintah, agama, maupun moralitas yang diberlakukan oleh masyarakat. Ia menganggap bahwa individu harus membebaskan diri dari kendali eksternal ini dan tidak boleh terikat oleh norma-norma yang ditetapkan oleh masyarakat atau lembaga-lembaga sosial.

Sudah pasti banyak pemikir lain yang tidak sependapat dengan Stirner. Mulai dari yang halus sampai yang lumayan keras. Menurut Emanuel Levinas, filosof Prancis, egoisme begitu saja terkandung dalam keberadaan manusiai karena kegiatan kita yang mentotalisasi. Totalisasi yang dimaksudkan adalah sikap dasar yang kita ambil untuk memandang dan menguasai segala-galanya dengan diri kita sendiri sebagai titik pusatnya. Kita bersikap dan mengubah realitas di sekitar kita menjadi suatu obyek. Dan kita menjadikan diri kita sebagai subyek yang mendominasi segalanya.

Dalam stadium awal, totalisasi ini masih dianggap tak bersalah. Sebab hanya semacam egosentrisme dan egoisme yang naif. Sikap semacam itu juga sering dapat dilihat pada diri anak-anak. Sikap ini tak menjadi soal selama tidak disajikan kemungkinan untuk "berjumpa" dengan orang lain.

Tapi, sikap egois yang radikal itu menjadi salah dan tidak etis bila saya menolak perjumpaan dengan orang lain. Dan orang lain itu juga mengajukan tuntutan untuk diakui. Maka dimensi etis pun muncul. Dan hanya dengan "mendengarkan" orang lain kita mendobrak totalisasi kita. Dengan mendengarkan, maka pemikiran, kebenaran dan hak saya, tidak lagi merupakan satu-satunya pemikiran, kebenaran dan hak untuk saya. Sebab inti keadilan, menurut Levinas, adalah sungguh-sungguh menerima orang serbagai yang lain, mendengarkan dia, dan mengucapkan selamat datang kepadanya – justru karena dia orang lain.

Sementara Karl Max mengertitik Stirner sebagai "Individualisme Borjuis" dan menganggap pemikirannya sebagai ekspresi dari ideologi borjuis yang berusaha mempertahankan status quo kapitalisme. Marx berpendapat bahwa pemikiran Stirner bertentangan dengan tujuan revolusioner untuk menggulingkan kapitalisme dan membebaskan kelas pekerja. Lalu Friedrich Engels, mengkritik Stirner sebagai seorang "petualang mental" yang tidak memiliki dasar materialis dalam analisisnya tentang masyarakat.

Piierre-Joseph Proudhon memandang pemikiran Stirner sebagai "egoisme yang nihilistik" dan menganggapnya tidak memadai sebagai dasar untuk membangun masyarakat yang adil. Intinya, banyak pemikir modern yang menganggap pemikiran Stirner tentang egoisme dan individualisme ekstrem terlalu sempit dan tidak memadai untuk memahami kompleksitas masyarakat modern.

Setuju dengan Levinas, pandangan Stirner itu hanya cocok buat mereka yang belum dewasa alias masih anak-anak. Sebagai bocah cilik (bocil), tentunya mereka belum memahami aneka norma dalam kehidupan orang dewasa. Pandangan Stirner menyiratkan sebuah kepribadian yang tidak berkembang. Nah, apakah Anda sering menyaksikan kepribadian seperti bocil itu di sekitar Anda?
(wur)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0741 seconds (0.1#10.140)