Janji Kemerdekaan dan Pembangunan Kebudayaan
loading...
A
A
A
Bambang Asrini
Pengamat Sosial dan Budaya
Koordinator Forum Alumni Unej untuk Perubahan, Anies Cadas
“Kelahiran suatu pikiran sering menyamai kelahiran seorang anak. Ia didahului dengan penderitaan-penderitaan pembawaan kelahirannya. “
-Tan Malaka
SALAH seorang pengembara revolusioner, yang satu saat mengaku tiga-perempat hidupnya dipertaruhkan di dalam bui—seperti kata pengantarnya pada buku Naar de ‘Republiek Indonesia'- ‘Menuju Indonesia Merdeka’ yang dicetak di Kanton, Tiongkok pada 1925-- dalam penderitaan-penderitaan, ia bersandar harapannya selalu pada peran nalar.
Puncak Tan berseberangan dengan PKI, yang sudah terjadi sejak 1922, dan kekeraskepalaannya pada gerakan Pan-Islamisme yang bertentangan dengan gerakan komunis dunia menuntunnya untuk akhirnya “berlabuh secara intelektual” di Kanton. Sebuah kota kosmopolit, sekarang provinsi Guangzhou, China Selatan yang seturut sejarah, salah satu kota terbesar di dunia di awal abad ke-19.
Seperti ditulis dalam pengantar Naar de ‘Republiek Indonesia' , yang merupakan buku babon, yakni hulu dari para pemikir dan tokoh perintis tentang yang “Indonesia” dan yang “Merdeka” dilantangkan secara global, Tan mengakui bahwa fakta-fakta pergerakan dan perubahan zaman itu diinspirasi selalu oleh kelas menengah dan para intelektual.
“Mulai tumbuhnya perhatian besar atas kemajuan perkembangan pergerakan revolusioner di antara orang intelektuil” tulis Tan Malaka berapi-api.
Tujuhpuluh delapan tahun kemudian, hari ini, tatkala bulan sakral siap digelar —jika Tan Malaka masih hidup, dia tentu menangis meraung-raung meyaksikan para intelektual dan pejabat negara atau anggota parlemen yang mungkin dulunya seorang akademisi, telah nyaman mendapatkan sejumlah gelar tertinggi.
Mereka tak harus melakoni kisah harus dibui dahulu, malahan menikmati materi dan kekuasaan yang cukup bahkan mencicipi pendidikan di manca negara. Namun, jarang terdengar daya kritisnya di ruang-ruang publik.
Kelas menengah dan intelektual kita malahan berdiam diri, tatkala seorang akademisi yang ingin menegakkan demokrasi dengan menyebut penguasa sebagai sebutan tak patut sebab mencederai konstitusi dipersekusi oleh relawan dan kader partai politik tertentu sebagai penghina lambang negara.
Para akademisi dan kelas menengah kita telah benar-benar abai, kalau tak dibilang khilaf untuk menjadi intelektual publik, gagal paham terhadap makna terdalam kalimat-kalimat janji kemerdekaan. Yakni, tujuan berdirinya negara Republik Indonesia yang termaktub pada Pembukaan UUD 1945 di alinea ke-4, disebutkan mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut mewujudkan keadilan sosial.
Pengamat Sosial dan Budaya
Koordinator Forum Alumni Unej untuk Perubahan, Anies Cadas
“Kelahiran suatu pikiran sering menyamai kelahiran seorang anak. Ia didahului dengan penderitaan-penderitaan pembawaan kelahirannya. “
-Tan Malaka
SALAH seorang pengembara revolusioner, yang satu saat mengaku tiga-perempat hidupnya dipertaruhkan di dalam bui—seperti kata pengantarnya pada buku Naar de ‘Republiek Indonesia'- ‘Menuju Indonesia Merdeka’ yang dicetak di Kanton, Tiongkok pada 1925-- dalam penderitaan-penderitaan, ia bersandar harapannya selalu pada peran nalar.
Puncak Tan berseberangan dengan PKI, yang sudah terjadi sejak 1922, dan kekeraskepalaannya pada gerakan Pan-Islamisme yang bertentangan dengan gerakan komunis dunia menuntunnya untuk akhirnya “berlabuh secara intelektual” di Kanton. Sebuah kota kosmopolit, sekarang provinsi Guangzhou, China Selatan yang seturut sejarah, salah satu kota terbesar di dunia di awal abad ke-19.
Seperti ditulis dalam pengantar Naar de ‘Republiek Indonesia' , yang merupakan buku babon, yakni hulu dari para pemikir dan tokoh perintis tentang yang “Indonesia” dan yang “Merdeka” dilantangkan secara global, Tan mengakui bahwa fakta-fakta pergerakan dan perubahan zaman itu diinspirasi selalu oleh kelas menengah dan para intelektual.
“Mulai tumbuhnya perhatian besar atas kemajuan perkembangan pergerakan revolusioner di antara orang intelektuil” tulis Tan Malaka berapi-api.
Tujuhpuluh delapan tahun kemudian, hari ini, tatkala bulan sakral siap digelar —jika Tan Malaka masih hidup, dia tentu menangis meraung-raung meyaksikan para intelektual dan pejabat negara atau anggota parlemen yang mungkin dulunya seorang akademisi, telah nyaman mendapatkan sejumlah gelar tertinggi.
Mereka tak harus melakoni kisah harus dibui dahulu, malahan menikmati materi dan kekuasaan yang cukup bahkan mencicipi pendidikan di manca negara. Namun, jarang terdengar daya kritisnya di ruang-ruang publik.
Kelas menengah dan intelektual kita malahan berdiam diri, tatkala seorang akademisi yang ingin menegakkan demokrasi dengan menyebut penguasa sebagai sebutan tak patut sebab mencederai konstitusi dipersekusi oleh relawan dan kader partai politik tertentu sebagai penghina lambang negara.
Para akademisi dan kelas menengah kita telah benar-benar abai, kalau tak dibilang khilaf untuk menjadi intelektual publik, gagal paham terhadap makna terdalam kalimat-kalimat janji kemerdekaan. Yakni, tujuan berdirinya negara Republik Indonesia yang termaktub pada Pembukaan UUD 1945 di alinea ke-4, disebutkan mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut mewujudkan keadilan sosial.