Demi Keadilan Korban, Akademisi UI Desak RUU PKS Segera Disahkan

Selasa, 28 Juli 2020 - 00:09 WIB
loading...
Demi Keadilan Korban, Akademisi UI Desak RUU PKS Segera Disahkan
Beragam desakan publik terus muncul meminta RUUg Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) segera disahkan. Salah satu tuntutan itu datang dari kalangan akademisi. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Beragam desakan publik terus muncul untuk meminta Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) segera disahkan. Salah satu tuntutan itu datang dari kalangan akademisi.

(Baca juga: RUU PKS Dihapus, Ini Fakta Kasus Kekerasan Seksual pada Perempuan)

Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia (UI) Sulistyowati Irianto menilai, regulasi yang ada saat ini belum menguatkan pencegahan, penanganan, pemulihan dan penegakan hukum terhadap kasus kekerasan seksual.

Beberapa perisai hukum itu di antaranya yaitu UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

"Makanya perlu supremasi hukum yang lebih kuat. Itulah mengapa pengesahan RUU PKS ini menjadi urgensi yang harus menjadi perhatian bersama, khususnya pemerintah dan DPR," tutur Sulis dalam diskusi daring, Senin (27/7/2020).

(Baca juga: Komisi VIII DPR Akui Prokontra Jadi Alasan Tarik RUU PKS)

Salah satu yang menjadi sorotan, lanjut dia, yaitu KUHP yang sangat konvensional dan sukar menerima perubahan-perubahan. Menurutnya, norma hukum tersebut secara prosedural masih mengacu pada hukum acara yang menyulitkan.

"Bahkan, kadang ini juga merugikan korban. Salah satunya yaitu kesulitan pembuktian. Makanya beban pembuktian itu ada di pundak korban, kalau di anak itu ada di keluarga atau orang tua," ujarnya.

Ketua Program Pasca Sarjana UI periode 2013-2016 itu mengatakan, lantaran beban pembuktian tersebut, masih jarang korban yang mengalami kekerasan seksual langsung memeriksakan dirinya ke rumah sakit untuk melakukan visum fisik yaitu visum et repertum dan visum psikiatrikum. Mereka biasanya takut sehingga sudah terlambat melakukan pemeriksaan.

Di sisi lain, sistem peradilan konvensional itu juga dinilai tidak memastikan keadilan bagi korban kekerasan seksual. Misalnya, dalam proses penyidikan dan penyelidikan, menurut Sulis, anak kerap menghadapi berbagai pertanyaan yang menjadikannya mengalami berkali-kali kekerasan sehingga harus kembali mengingat kejadian yang membuatnya trauma.

"Penegak hukum kita kadang tidak memiliki sensitivitas dan pengetahuan dasar tentang keadilan gender, terutama pada korban perempuan," singgungnya.

Lantaran itu, Sulis menilai reformasi hukum menjadi sebuah keharusan. Salah satunya dengan memasukkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas pada 2021 dan segera disahkan. Seperti diketahui, Badan Legislasi (Baleg) DPR bersama Kementerian Hukum dan HAM sepakat mencabut RUU PKS dari Prolegnas 2020. Hal itu disepakati dalam rapat bersama pada awal Juli lalu.

Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, alasan Komisi VIII sebagai pengusul mencabut RUU PKS lantaran masih menunggu pengesahan RUU KUHP yang ada kaitannya dengan hal penjatuhan sanksi.

"Itu alasannya Komisi VIII menarik RUU PKS. Kita berharap nanti setelah RUU KUHP diselesaikan antara pemerintah dan Komisi III, maka RUU Kekerasan Seksual ini akan kita masukkan lagi dalam Prolegnas 2021," jelas Supratman saat rapat Baleg, Kamis (2/7) lalu.
(maf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1213 seconds (0.1#10.140)