Zonasi dan Tradisi Manipulasi
loading...
A
A
A
Pada saat yang sama, sistem zonasi ini seolah cepat berpuas diri. Padahal harus diakui sistem ini sejatinya belum benar-benar sempurna. Di wilayah perkotaan misalnya dengan jumlah penduduk yang tinggi, kerap kali jumlah sekolah negeri belum sebanding dengan tingkat minat calon siswa. Akhirnya, calon siswa justru ‘terbuang’ di sekolah swasta yang pengajar, fasilitas dan sarana pendukung lainnya belum memadai.
baca juga: Mencari Format PPDB yang Berkeadilan
Zonasi belum sepenuhnya diikuti dengan akselerasi ekosistemnya. Baik itu infrastrukur, guru, tenaga pendidikan, sarana pembelajaran dan lain sebagainya. Imbasnya, kisruh zonasi muter-muter terus setiap tahun seolah tanpa ada solusi.
Keruwetan zonasi pun sejatinya menjadi masalah kompleks. Tak hanya faktor siswa. Karena di balik itu ada peran besar orang tua yang tak ingin anaknya atau generasi penerusnya mendapatkan pendidikan alakadarnya. Acakadut zonasi juga tak lepas dari kelambatan pemerintah merespons persoalan yang muncul di tengah masyarakat. Rantai persoalan ini harus cermat diurai agar benar-benar mendapat solusi yang tepat.
Kekisruhan zonasi pun sejatinya tak berhenti dengan aksi berani Wali Kota Bogor Bima Arya yang lewat tim verifikasi lapangannya berhasil mengungkap sedikitnya 155 data calon peserta didik bermasalah. Temuan Bima Arya adalah bersifat kasuistis di Bogor dan masih ada ribuan kasus lain terjadi di pelosok negeri ini.
Pengungkapan-pengungkapan itu tak akan banyak arti jika solusi yang dicari belum menyentuh faktor inti. Untuk itu, solusi yang dilakukan harus memakai pendekatan sistemik dan komprehensif. Lewat pendekatan sistemik seperti antara lain dikatakan Aminullah (2016), maka akan terpotret sejauhmana berbagai unsur dalam sistem bekerja (operational thinking), berubahnya perilaku sistem (dynamic thinking) dan pengaruh struktur terhadap sebuah sistem (feedback thinking).
Sekali lagi, zonasi telah menjadi kebijakan pemerintah yang telah, sedang dan terus berlaku sampai kapan yang kita tidak tahu ujungnya. Tujuan mulia sistem ini harus dijaga dan dikawal bersama demi mewujudkan pendidikan di Indonesia yang sesuai cita-cita pendiri bangsa.
Sebagai sebuah sistem, tentu ikhtiar perbaikan adalah sebuah keniscayaan demi terwujudnya model yang diharapkan mendekati kesempurnaan. Berpijak dari kesadaran ini, saatnya semua pihak untuk mengedepankan aspek keterbukaan sekaligus responsif atas berbagai dinamika di lapangan.
Zonasi harus kita akui telah memuarakan berbagai prestasi dan atensi positif. Namun, kerikil-kerikil yang muncul dan melingkupinya harus benar-benar dibersihkan. Jangan sampai itu dibiarkan sehingga seolah menjadi tradisi dan pembenaran. (*)
Lihat Juga: PPDB SMA Taruna Nusantara 2025 Dibuka Besok, Syarat, Link Pendaftaran, dan Biaya Sekolahnya
baca juga: Mencari Format PPDB yang Berkeadilan
Zonasi belum sepenuhnya diikuti dengan akselerasi ekosistemnya. Baik itu infrastrukur, guru, tenaga pendidikan, sarana pembelajaran dan lain sebagainya. Imbasnya, kisruh zonasi muter-muter terus setiap tahun seolah tanpa ada solusi.
Keruwetan zonasi pun sejatinya menjadi masalah kompleks. Tak hanya faktor siswa. Karena di balik itu ada peran besar orang tua yang tak ingin anaknya atau generasi penerusnya mendapatkan pendidikan alakadarnya. Acakadut zonasi juga tak lepas dari kelambatan pemerintah merespons persoalan yang muncul di tengah masyarakat. Rantai persoalan ini harus cermat diurai agar benar-benar mendapat solusi yang tepat.
Kekisruhan zonasi pun sejatinya tak berhenti dengan aksi berani Wali Kota Bogor Bima Arya yang lewat tim verifikasi lapangannya berhasil mengungkap sedikitnya 155 data calon peserta didik bermasalah. Temuan Bima Arya adalah bersifat kasuistis di Bogor dan masih ada ribuan kasus lain terjadi di pelosok negeri ini.
Pengungkapan-pengungkapan itu tak akan banyak arti jika solusi yang dicari belum menyentuh faktor inti. Untuk itu, solusi yang dilakukan harus memakai pendekatan sistemik dan komprehensif. Lewat pendekatan sistemik seperti antara lain dikatakan Aminullah (2016), maka akan terpotret sejauhmana berbagai unsur dalam sistem bekerja (operational thinking), berubahnya perilaku sistem (dynamic thinking) dan pengaruh struktur terhadap sebuah sistem (feedback thinking).
Sekali lagi, zonasi telah menjadi kebijakan pemerintah yang telah, sedang dan terus berlaku sampai kapan yang kita tidak tahu ujungnya. Tujuan mulia sistem ini harus dijaga dan dikawal bersama demi mewujudkan pendidikan di Indonesia yang sesuai cita-cita pendiri bangsa.
Sebagai sebuah sistem, tentu ikhtiar perbaikan adalah sebuah keniscayaan demi terwujudnya model yang diharapkan mendekati kesempurnaan. Berpijak dari kesadaran ini, saatnya semua pihak untuk mengedepankan aspek keterbukaan sekaligus responsif atas berbagai dinamika di lapangan.
Zonasi harus kita akui telah memuarakan berbagai prestasi dan atensi positif. Namun, kerikil-kerikil yang muncul dan melingkupinya harus benar-benar dibersihkan. Jangan sampai itu dibiarkan sehingga seolah menjadi tradisi dan pembenaran. (*)
Lihat Juga: PPDB SMA Taruna Nusantara 2025 Dibuka Besok, Syarat, Link Pendaftaran, dan Biaya Sekolahnya
(hdr)