Zonasi dan Tradisi Manipulasi
loading...
A
A
A
Abdul Hakim
Jurnalis SINDOnews
WALI Kota Bogor Bima Arya kaget bukan kepalang kala menemukan data ada sejumlah pendaftar sekolah di wilayahnya yang terindikasi kuat melakukan kecurangan demi bisa lolos pada penerimaan peserta didik baru ( PPDB ) sistem zonasi tahun ini.
baca juga: Saatnya Evaluasi Zonasi PPDB
Bima begitu geram dan tak asal bicara. Pekan lalu, saat meng-cross check sejumlah rumah di sekitar sekolah yang menjadi alamat calon peserta didik, dia menemukan fakta mencengangkan. Banyak pemilik rumah justru tak tahu rumah mereka ternyata dimanfaatkan oleh pendaftar untuk dijadikan alamat kartu keluarga (KK) baru.
Temuan lainnya, sejumlah calon peserta didik menjadi anggota keluarga dadakan. Demi bisa masuk sekolah incaran, mereka menyiasati dengan mengubah (update) KK yang menjadi basis utama persyaratan.
Berita seputar data fiktif persyaratan untuk sekolah via jalur zonasi sejatinya bukan hanya terjadi di Kota Bogor. Manipulasi data ini adalah fenomena umum yang marak terjadi sejak sistem zonasi berlaku pada 2017 silam. Selain modus alamat fiktif, dan numpang KK, praktik kotor lain zonasi yang masih terjadi hingga kini adalah manipulasi data kemiskinan, dan perjokian wali.
baca juga: P2G Desak Kemendikbudristek Evaluasi Total Sistem PPDB
Begitu berderetnya praktik haram PPDB dari jalur zonasi ini kian membuat sistem ini jauh dari makna inti. Padahal ditilik dari latar belakangnya yang dikuatkan dengan Permendikbud No 17/2017 dan disempurnakan lewat Permendikbud No 14/2018, zonasi memiliki tujuan mulia untuk mewujudkan pendidikan yang berkeadilan.
Namun, akibat tidak dipikirkan secara matang, sistem baru ini tak henti menyisakan nada sumbang. Kecurangan, pemalsuan, ketimpangan, dan berbagai bentuk pelanggaran kasat mata terlihat. Uniknya sudah lima tahun berselang, hal itu seolah dibiarkan tanpa menyentuh persoalan inti.
Langkah Wali Kota Bima Arya yang terjun melalui Tim Verifikasi ke lapangan adalah bentuk keberanian sekaligus terobosan. Namun potret di Kota Bogor ini hanyalah secuil persoalan pendidikan Indonesia hari ini, tepatya di institusi yang seharusnya menjadi basis penggemblengan kejujuran, kedisiplinan dan kepatuhan.
Minggu (9/7/2023), Ombudsman RI Perwakilan DI Yogyakarta (ORI DIY) juga menangkap persoalan tak jauh beda. Anehnya, laporan dugaan kecurangan ini rutin setiap tahun terjadi sejak sistem zonasi ini diberlakukan. Uniknya, tahun ini ORI DIY menemukan kasus satu rumah yang memiliki dua KK. Dalam masing-masing satu KK terdapat 10 anak dengan status keluarga lain.
baca juga: KPK Kantongi Informasi Praktik Suap Penerimaan Siswa Masuk SMA Negeri
Praktis, dalam satu rumah itu ada 20 anak calon siswa yang sejatinya berbeda keluarga. Patgulipat ini sengaja dilakukan karena rumah dijadikan basis ‘KK raksasa’ sangat dekat dengan sebuah sekolah favorit incaran para siswa tersebut.
Di luar Kota Bogor dan Yogyakarta, ada ribuan kasus hampir serupa terjadi. Namun umumnya kasus-kasus itu didiamkan atau malah cenderung dimanfaafkan untuk ajang ‘bancakan’ pihak tertentu. Maraknya praktik manipulasi dan seolah perlahan menjadi tradisi ini memang memprihatinkan. Sistem zonasi faktanya belum benar-benar mencapai tujuan yang hakiki.
Memang pada satu sisi, ada banyak perubahan positif dari kebijakan ini. Seperti kualitas pendidikan kian merata, stigma sekolag favorit perlahan hilang, mendekatkan sekolah dengan keluarga, pembelajaran tentang keberagaman dan munculnya kepercayaan diri siswa. Namun, potret kecurangan seperti terungkap di atas seolah menjadi kerikil zonasi yang membuat kebijakan ini belum sepenuhnya kuat terpatri.
Melalui Pendidikan Berkeadilan, benar bahwa sistem zonasi berupaya memberikan jaminan hak kepada semua warga negara untuk mendapatkan akses pendidikan secara adil. Konsekuensi dari sistem ini adalah menghilangkan tren favoritisme sekolah yang telah mengakar puluhan tahun.
baca juga: Ombudsman Jabar Buka Kanal Pengaduan Penerimaan Siswa Baru
Melalui sistem zonasi, sekolah-sekolah favorit pun tak lagi menjadi dominasi calon siswa dengan kemampuan akademik tinggi dan ekonomi kuat. Anak-anak dengan kemampuan biasa atau berkategori dari keluarga miskin dan berdekatan dengan sekolah favorit tersebut akhirnya bisa masuk. Mereka pun mendapat pendidikan yang setara, tanpa ada perasaan dikucilkan, terpinggirkan dan lain sebagainya.
Di sisi lain, harus diakui bahwa kualitas pendidikan perlahan kian merata, tanpa ada sekat lagi mana sekolah favorit, unggulan dan sebutan lainnya. Toh demikian, mengubah mindset atas tren sekolah favorit ini pun tak semudah membalik tangan.
Faktanya, mindset ini masih tertanam dan menjangkar kuat di benak masyarakat. Di sisi lain, terkadang ada pengelola sekolah-sekolah yang sengaja memosisikan institusinya sebagai sekolah favorit dengan berbagai strategi dan narasi. Ini jelas memicu favoritisme sekolah tak mudah untuk dihapus.
Pada saat yang sama, sistem zonasi ini seolah cepat berpuas diri. Padahal harus diakui sistem ini sejatinya belum benar-benar sempurna. Di wilayah perkotaan misalnya dengan jumlah penduduk yang tinggi, kerap kali jumlah sekolah negeri belum sebanding dengan tingkat minat calon siswa. Akhirnya, calon siswa justru ‘terbuang’ di sekolah swasta yang pengajar, fasilitas dan sarana pendukung lainnya belum memadai.
baca juga: Mencari Format PPDB yang Berkeadilan
Zonasi belum sepenuhnya diikuti dengan akselerasi ekosistemnya. Baik itu infrastrukur, guru, tenaga pendidikan, sarana pembelajaran dan lain sebagainya. Imbasnya, kisruh zonasi muter-muter terus setiap tahun seolah tanpa ada solusi.
Keruwetan zonasi pun sejatinya menjadi masalah kompleks. Tak hanya faktor siswa. Karena di balik itu ada peran besar orang tua yang tak ingin anaknya atau generasi penerusnya mendapatkan pendidikan alakadarnya. Acakadut zonasi juga tak lepas dari kelambatan pemerintah merespons persoalan yang muncul di tengah masyarakat. Rantai persoalan ini harus cermat diurai agar benar-benar mendapat solusi yang tepat.
Kekisruhan zonasi pun sejatinya tak berhenti dengan aksi berani Wali Kota Bogor Bima Arya yang lewat tim verifikasi lapangannya berhasil mengungkap sedikitnya 155 data calon peserta didik bermasalah. Temuan Bima Arya adalah bersifat kasuistis di Bogor dan masih ada ribuan kasus lain terjadi di pelosok negeri ini.
Pengungkapan-pengungkapan itu tak akan banyak arti jika solusi yang dicari belum menyentuh faktor inti. Untuk itu, solusi yang dilakukan harus memakai pendekatan sistemik dan komprehensif. Lewat pendekatan sistemik seperti antara lain dikatakan Aminullah (2016), maka akan terpotret sejauhmana berbagai unsur dalam sistem bekerja (operational thinking), berubahnya perilaku sistem (dynamic thinking) dan pengaruh struktur terhadap sebuah sistem (feedback thinking).
Sekali lagi, zonasi telah menjadi kebijakan pemerintah yang telah, sedang dan terus berlaku sampai kapan yang kita tidak tahu ujungnya. Tujuan mulia sistem ini harus dijaga dan dikawal bersama demi mewujudkan pendidikan di Indonesia yang sesuai cita-cita pendiri bangsa.
Sebagai sebuah sistem, tentu ikhtiar perbaikan adalah sebuah keniscayaan demi terwujudnya model yang diharapkan mendekati kesempurnaan. Berpijak dari kesadaran ini, saatnya semua pihak untuk mengedepankan aspek keterbukaan sekaligus responsif atas berbagai dinamika di lapangan.
Zonasi harus kita akui telah memuarakan berbagai prestasi dan atensi positif. Namun, kerikil-kerikil yang muncul dan melingkupinya harus benar-benar dibersihkan. Jangan sampai itu dibiarkan sehingga seolah menjadi tradisi dan pembenaran. (*)
Jurnalis SINDOnews
WALI Kota Bogor Bima Arya kaget bukan kepalang kala menemukan data ada sejumlah pendaftar sekolah di wilayahnya yang terindikasi kuat melakukan kecurangan demi bisa lolos pada penerimaan peserta didik baru ( PPDB ) sistem zonasi tahun ini.
baca juga: Saatnya Evaluasi Zonasi PPDB
Bima begitu geram dan tak asal bicara. Pekan lalu, saat meng-cross check sejumlah rumah di sekitar sekolah yang menjadi alamat calon peserta didik, dia menemukan fakta mencengangkan. Banyak pemilik rumah justru tak tahu rumah mereka ternyata dimanfaatkan oleh pendaftar untuk dijadikan alamat kartu keluarga (KK) baru.
Temuan lainnya, sejumlah calon peserta didik menjadi anggota keluarga dadakan. Demi bisa masuk sekolah incaran, mereka menyiasati dengan mengubah (update) KK yang menjadi basis utama persyaratan.
Berita seputar data fiktif persyaratan untuk sekolah via jalur zonasi sejatinya bukan hanya terjadi di Kota Bogor. Manipulasi data ini adalah fenomena umum yang marak terjadi sejak sistem zonasi berlaku pada 2017 silam. Selain modus alamat fiktif, dan numpang KK, praktik kotor lain zonasi yang masih terjadi hingga kini adalah manipulasi data kemiskinan, dan perjokian wali.
baca juga: P2G Desak Kemendikbudristek Evaluasi Total Sistem PPDB
Begitu berderetnya praktik haram PPDB dari jalur zonasi ini kian membuat sistem ini jauh dari makna inti. Padahal ditilik dari latar belakangnya yang dikuatkan dengan Permendikbud No 17/2017 dan disempurnakan lewat Permendikbud No 14/2018, zonasi memiliki tujuan mulia untuk mewujudkan pendidikan yang berkeadilan.
Namun, akibat tidak dipikirkan secara matang, sistem baru ini tak henti menyisakan nada sumbang. Kecurangan, pemalsuan, ketimpangan, dan berbagai bentuk pelanggaran kasat mata terlihat. Uniknya sudah lima tahun berselang, hal itu seolah dibiarkan tanpa menyentuh persoalan inti.
Langkah Wali Kota Bima Arya yang terjun melalui Tim Verifikasi ke lapangan adalah bentuk keberanian sekaligus terobosan. Namun potret di Kota Bogor ini hanyalah secuil persoalan pendidikan Indonesia hari ini, tepatya di institusi yang seharusnya menjadi basis penggemblengan kejujuran, kedisiplinan dan kepatuhan.
Minggu (9/7/2023), Ombudsman RI Perwakilan DI Yogyakarta (ORI DIY) juga menangkap persoalan tak jauh beda. Anehnya, laporan dugaan kecurangan ini rutin setiap tahun terjadi sejak sistem zonasi ini diberlakukan. Uniknya, tahun ini ORI DIY menemukan kasus satu rumah yang memiliki dua KK. Dalam masing-masing satu KK terdapat 10 anak dengan status keluarga lain.
baca juga: KPK Kantongi Informasi Praktik Suap Penerimaan Siswa Masuk SMA Negeri
Praktis, dalam satu rumah itu ada 20 anak calon siswa yang sejatinya berbeda keluarga. Patgulipat ini sengaja dilakukan karena rumah dijadikan basis ‘KK raksasa’ sangat dekat dengan sebuah sekolah favorit incaran para siswa tersebut.
Di luar Kota Bogor dan Yogyakarta, ada ribuan kasus hampir serupa terjadi. Namun umumnya kasus-kasus itu didiamkan atau malah cenderung dimanfaafkan untuk ajang ‘bancakan’ pihak tertentu. Maraknya praktik manipulasi dan seolah perlahan menjadi tradisi ini memang memprihatinkan. Sistem zonasi faktanya belum benar-benar mencapai tujuan yang hakiki.
Memang pada satu sisi, ada banyak perubahan positif dari kebijakan ini. Seperti kualitas pendidikan kian merata, stigma sekolag favorit perlahan hilang, mendekatkan sekolah dengan keluarga, pembelajaran tentang keberagaman dan munculnya kepercayaan diri siswa. Namun, potret kecurangan seperti terungkap di atas seolah menjadi kerikil zonasi yang membuat kebijakan ini belum sepenuhnya kuat terpatri.
Melalui Pendidikan Berkeadilan, benar bahwa sistem zonasi berupaya memberikan jaminan hak kepada semua warga negara untuk mendapatkan akses pendidikan secara adil. Konsekuensi dari sistem ini adalah menghilangkan tren favoritisme sekolah yang telah mengakar puluhan tahun.
baca juga: Ombudsman Jabar Buka Kanal Pengaduan Penerimaan Siswa Baru
Melalui sistem zonasi, sekolah-sekolah favorit pun tak lagi menjadi dominasi calon siswa dengan kemampuan akademik tinggi dan ekonomi kuat. Anak-anak dengan kemampuan biasa atau berkategori dari keluarga miskin dan berdekatan dengan sekolah favorit tersebut akhirnya bisa masuk. Mereka pun mendapat pendidikan yang setara, tanpa ada perasaan dikucilkan, terpinggirkan dan lain sebagainya.
Di sisi lain, harus diakui bahwa kualitas pendidikan perlahan kian merata, tanpa ada sekat lagi mana sekolah favorit, unggulan dan sebutan lainnya. Toh demikian, mengubah mindset atas tren sekolah favorit ini pun tak semudah membalik tangan.
Faktanya, mindset ini masih tertanam dan menjangkar kuat di benak masyarakat. Di sisi lain, terkadang ada pengelola sekolah-sekolah yang sengaja memosisikan institusinya sebagai sekolah favorit dengan berbagai strategi dan narasi. Ini jelas memicu favoritisme sekolah tak mudah untuk dihapus.
Pada saat yang sama, sistem zonasi ini seolah cepat berpuas diri. Padahal harus diakui sistem ini sejatinya belum benar-benar sempurna. Di wilayah perkotaan misalnya dengan jumlah penduduk yang tinggi, kerap kali jumlah sekolah negeri belum sebanding dengan tingkat minat calon siswa. Akhirnya, calon siswa justru ‘terbuang’ di sekolah swasta yang pengajar, fasilitas dan sarana pendukung lainnya belum memadai.
baca juga: Mencari Format PPDB yang Berkeadilan
Zonasi belum sepenuhnya diikuti dengan akselerasi ekosistemnya. Baik itu infrastrukur, guru, tenaga pendidikan, sarana pembelajaran dan lain sebagainya. Imbasnya, kisruh zonasi muter-muter terus setiap tahun seolah tanpa ada solusi.
Keruwetan zonasi pun sejatinya menjadi masalah kompleks. Tak hanya faktor siswa. Karena di balik itu ada peran besar orang tua yang tak ingin anaknya atau generasi penerusnya mendapatkan pendidikan alakadarnya. Acakadut zonasi juga tak lepas dari kelambatan pemerintah merespons persoalan yang muncul di tengah masyarakat. Rantai persoalan ini harus cermat diurai agar benar-benar mendapat solusi yang tepat.
Kekisruhan zonasi pun sejatinya tak berhenti dengan aksi berani Wali Kota Bogor Bima Arya yang lewat tim verifikasi lapangannya berhasil mengungkap sedikitnya 155 data calon peserta didik bermasalah. Temuan Bima Arya adalah bersifat kasuistis di Bogor dan masih ada ribuan kasus lain terjadi di pelosok negeri ini.
Pengungkapan-pengungkapan itu tak akan banyak arti jika solusi yang dicari belum menyentuh faktor inti. Untuk itu, solusi yang dilakukan harus memakai pendekatan sistemik dan komprehensif. Lewat pendekatan sistemik seperti antara lain dikatakan Aminullah (2016), maka akan terpotret sejauhmana berbagai unsur dalam sistem bekerja (operational thinking), berubahnya perilaku sistem (dynamic thinking) dan pengaruh struktur terhadap sebuah sistem (feedback thinking).
Sekali lagi, zonasi telah menjadi kebijakan pemerintah yang telah, sedang dan terus berlaku sampai kapan yang kita tidak tahu ujungnya. Tujuan mulia sistem ini harus dijaga dan dikawal bersama demi mewujudkan pendidikan di Indonesia yang sesuai cita-cita pendiri bangsa.
Sebagai sebuah sistem, tentu ikhtiar perbaikan adalah sebuah keniscayaan demi terwujudnya model yang diharapkan mendekati kesempurnaan. Berpijak dari kesadaran ini, saatnya semua pihak untuk mengedepankan aspek keterbukaan sekaligus responsif atas berbagai dinamika di lapangan.
Zonasi harus kita akui telah memuarakan berbagai prestasi dan atensi positif. Namun, kerikil-kerikil yang muncul dan melingkupinya harus benar-benar dibersihkan. Jangan sampai itu dibiarkan sehingga seolah menjadi tradisi dan pembenaran. (*)
(hdr)