Zonasi dan Tradisi Manipulasi
loading...
A
A
A
Minggu (9/7/2023), Ombudsman RI Perwakilan DI Yogyakarta (ORI DIY) juga menangkap persoalan tak jauh beda. Anehnya, laporan dugaan kecurangan ini rutin setiap tahun terjadi sejak sistem zonasi ini diberlakukan. Uniknya, tahun ini ORI DIY menemukan kasus satu rumah yang memiliki dua KK. Dalam masing-masing satu KK terdapat 10 anak dengan status keluarga lain.
baca juga: KPK Kantongi Informasi Praktik Suap Penerimaan Siswa Masuk SMA Negeri
Praktis, dalam satu rumah itu ada 20 anak calon siswa yang sejatinya berbeda keluarga. Patgulipat ini sengaja dilakukan karena rumah dijadikan basis ‘KK raksasa’ sangat dekat dengan sebuah sekolah favorit incaran para siswa tersebut.
Di luar Kota Bogor dan Yogyakarta, ada ribuan kasus hampir serupa terjadi. Namun umumnya kasus-kasus itu didiamkan atau malah cenderung dimanfaafkan untuk ajang ‘bancakan’ pihak tertentu. Maraknya praktik manipulasi dan seolah perlahan menjadi tradisi ini memang memprihatinkan. Sistem zonasi faktanya belum benar-benar mencapai tujuan yang hakiki.
Memang pada satu sisi, ada banyak perubahan positif dari kebijakan ini. Seperti kualitas pendidikan kian merata, stigma sekolag favorit perlahan hilang, mendekatkan sekolah dengan keluarga, pembelajaran tentang keberagaman dan munculnya kepercayaan diri siswa. Namun, potret kecurangan seperti terungkap di atas seolah menjadi kerikil zonasi yang membuat kebijakan ini belum sepenuhnya kuat terpatri.
Melalui Pendidikan Berkeadilan, benar bahwa sistem zonasi berupaya memberikan jaminan hak kepada semua warga negara untuk mendapatkan akses pendidikan secara adil. Konsekuensi dari sistem ini adalah menghilangkan tren favoritisme sekolah yang telah mengakar puluhan tahun.
baca juga: Ombudsman Jabar Buka Kanal Pengaduan Penerimaan Siswa Baru
Melalui sistem zonasi, sekolah-sekolah favorit pun tak lagi menjadi dominasi calon siswa dengan kemampuan akademik tinggi dan ekonomi kuat. Anak-anak dengan kemampuan biasa atau berkategori dari keluarga miskin dan berdekatan dengan sekolah favorit tersebut akhirnya bisa masuk. Mereka pun mendapat pendidikan yang setara, tanpa ada perasaan dikucilkan, terpinggirkan dan lain sebagainya.
Di sisi lain, harus diakui bahwa kualitas pendidikan perlahan kian merata, tanpa ada sekat lagi mana sekolah favorit, unggulan dan sebutan lainnya. Toh demikian, mengubah mindset atas tren sekolah favorit ini pun tak semudah membalik tangan.
Faktanya, mindset ini masih tertanam dan menjangkar kuat di benak masyarakat. Di sisi lain, terkadang ada pengelola sekolah-sekolah yang sengaja memosisikan institusinya sebagai sekolah favorit dengan berbagai strategi dan narasi. Ini jelas memicu favoritisme sekolah tak mudah untuk dihapus.
baca juga: KPK Kantongi Informasi Praktik Suap Penerimaan Siswa Masuk SMA Negeri
Praktis, dalam satu rumah itu ada 20 anak calon siswa yang sejatinya berbeda keluarga. Patgulipat ini sengaja dilakukan karena rumah dijadikan basis ‘KK raksasa’ sangat dekat dengan sebuah sekolah favorit incaran para siswa tersebut.
Di luar Kota Bogor dan Yogyakarta, ada ribuan kasus hampir serupa terjadi. Namun umumnya kasus-kasus itu didiamkan atau malah cenderung dimanfaafkan untuk ajang ‘bancakan’ pihak tertentu. Maraknya praktik manipulasi dan seolah perlahan menjadi tradisi ini memang memprihatinkan. Sistem zonasi faktanya belum benar-benar mencapai tujuan yang hakiki.
Memang pada satu sisi, ada banyak perubahan positif dari kebijakan ini. Seperti kualitas pendidikan kian merata, stigma sekolag favorit perlahan hilang, mendekatkan sekolah dengan keluarga, pembelajaran tentang keberagaman dan munculnya kepercayaan diri siswa. Namun, potret kecurangan seperti terungkap di atas seolah menjadi kerikil zonasi yang membuat kebijakan ini belum sepenuhnya kuat terpatri.
Melalui Pendidikan Berkeadilan, benar bahwa sistem zonasi berupaya memberikan jaminan hak kepada semua warga negara untuk mendapatkan akses pendidikan secara adil. Konsekuensi dari sistem ini adalah menghilangkan tren favoritisme sekolah yang telah mengakar puluhan tahun.
baca juga: Ombudsman Jabar Buka Kanal Pengaduan Penerimaan Siswa Baru
Melalui sistem zonasi, sekolah-sekolah favorit pun tak lagi menjadi dominasi calon siswa dengan kemampuan akademik tinggi dan ekonomi kuat. Anak-anak dengan kemampuan biasa atau berkategori dari keluarga miskin dan berdekatan dengan sekolah favorit tersebut akhirnya bisa masuk. Mereka pun mendapat pendidikan yang setara, tanpa ada perasaan dikucilkan, terpinggirkan dan lain sebagainya.
Di sisi lain, harus diakui bahwa kualitas pendidikan perlahan kian merata, tanpa ada sekat lagi mana sekolah favorit, unggulan dan sebutan lainnya. Toh demikian, mengubah mindset atas tren sekolah favorit ini pun tak semudah membalik tangan.
Faktanya, mindset ini masih tertanam dan menjangkar kuat di benak masyarakat. Di sisi lain, terkadang ada pengelola sekolah-sekolah yang sengaja memosisikan institusinya sebagai sekolah favorit dengan berbagai strategi dan narasi. Ini jelas memicu favoritisme sekolah tak mudah untuk dihapus.