Wahai MK, Dengarkanlah Suara Rakyat!
loading...
A
A
A
Alasan yang disampaikan pihak yang mengajukan uji materiil memang masuk akal. Misalnya disebutkan sistem proporsional terbuka didasarkan pada Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tanggal 23 Desember 2008 menggunakan standar ganda, yakni nomor urut dan suara terbanyak sehingga Mahkamah memutuskan mengabulkan pasal a quo. Padahal berdasarkan UUD 1945, kontestan pemilu legislatif adalah parpol. Dengan pemahaman ini, maka parpol lah yang memiliki peran mutlak untuk menentukan calon legislatif yang mewakili kepentingan partai, bukan kepentingan individu seperti terjadi pada sistem proposional terbuka.
Lebih dari itu, sistem pemilihan calon legislatif secara langsung, melahirkan liberalisme politik dan persaingan bebas dengan menempatkan kemenangan individual dalam pemilu. Dampak yang terjadi pada kondisi tersebut adalah munculnya pertarungan politik uang (money politic) yang massif serta mendorong terjadinya kecurangan terkait kongkalikong dengan penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) terkait jual beli suara, hingga membuat pemilu di Tanah Air menjadi sangat mahal. Dengan populisme menjadi bekal utama untuk memenangkan suara publik, sistem proposional terbuka juga rawan melahirkan politisi atau wakil rakyat yang tidak kapabel karena hanya bermodal tampang atau popularitas.
Namun di sisi lain, argumentasi pihak yang mendukung tetap diimplementasikannya sistem proposional terbuka juga tak kalah kuatnya. Melalui sistem proposional terbuka, rakyat bisa menentukan secara langsung calon wakilnya yang akan duduk di parlemen. Dengan demikian akan muncul ikatan yang kuat antara wakil rakyat dengan masyarakat, terutama yang mendukungnya. Sistem pemilu proposional daftar terbuka juga dianggap mampu meningkatkan jumlah perempuan di parlemen. Penguatan kehadiran perempuan di parlemen strategis mendorong gerakan politik perempuan pada masa mendatang.
Sebaliknya, dalam pandangan pihak yang menentang sistem proposional tertutup, sistem tersebut hanya akan menyuburkan kembali oligarki politik karena memberi kekuasaan mutlak pada parpol, sekaligus akan membunuh partisipasi politik berkualitas yang mulai tumbuh di masyarakat. Dalam akal sehat mereka, sistem proposional bertentangan dengan prinsip kekuasaan ada di tangan rakyat.
Dengan berbagai akal sehat yang dipahami, mayoritas DPR sebenarnya telah menolak rencana pemilu kembali digelar dengan sistem proporsional tertutup. Penolakan tegas ini disampaikan delapan fraksi di DPR RI yang diambil dalam pertemuandi Hotel Dharmawangsa pada 8 Januari 2023. Dengan begitu, praktis hanya menyisakan Fraksi PDIP saja yang berseberangan sikapnya.
Selain menolak rencana pemilu kembali digelar dengan sistem proporsional tertutup, mereka juga mendesak MK menolak gugatan UU Pemilu Nomor No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tersebut. Mereka pun menegaskan akan mengawal setiap proses gugatan di MK agar lembaga tersebut tetap konsisten dengan Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada tanggal 23 Desember 2008 dengan mempertahankan pasal 168 ayat 2 UU No 7 tahun 2017 sebagai wujud ikut menjaga kemajuan demokrasi Indonesia
Sikap sama juga telah disampaikan mayoritas masyarakat. Survei yang dilakukan SMRC menemukan dukungan publik pada sistem proporsional terbuka dalam Pemilu legislatif sangat kuat, yaitu mencapai 72 persen. Sedangkan yang menginginkan sistem proporsional tertutup hanya 19 persen. Sikap mayoritas warga yang menginginkan sistem pemilu proporsional terbuka ini konsisten ditemukan dalam 3 kali survei SMRC (Januari, Februari, dan Mei 2023).
Walaupun putusan akan diambil berdasarkan kaidah dan logika hukum, MK juga harus membuka mata dan telinga lebar-lebar untuk merespons hadirnya berbagai pandangan dan aspirasi masyarakat luas agar putusan tidak bertabrakan dengan akal sehat publik, sebagai manifestasi falsafah demokrasi bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. MK juga harus konsisten dengan prinsip hukum bahwa putusan MK bersifat final and binding, sehingga tidak memunculkan preseden yang berpotensi mengacaukan sistem hukum di Tanah air.
Sebaliknya bila bocoran yang disampaikan Denny Indrayana menjadi kenyataan, karena MK mengabulkan gugatan dan memutuskan sistem pemilu menjadi proposional tertutup, prasangka miring publik terhadap MK pun bisa menjadi kebenaran. Publik akan sulit memahami bahwa putusan yang diambil MK berangkat dari sikap profesional menegakkan hukum dan keadilan, kecuali mengikuti agenda kepentingan dan oligarkhi politik tertentu.Semoga, putusan MK akan menelorkan hasil terbaik untuk demokrasi Indonesia ke depan.(*)
Lebih dari itu, sistem pemilihan calon legislatif secara langsung, melahirkan liberalisme politik dan persaingan bebas dengan menempatkan kemenangan individual dalam pemilu. Dampak yang terjadi pada kondisi tersebut adalah munculnya pertarungan politik uang (money politic) yang massif serta mendorong terjadinya kecurangan terkait kongkalikong dengan penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) terkait jual beli suara, hingga membuat pemilu di Tanah Air menjadi sangat mahal. Dengan populisme menjadi bekal utama untuk memenangkan suara publik, sistem proposional terbuka juga rawan melahirkan politisi atau wakil rakyat yang tidak kapabel karena hanya bermodal tampang atau popularitas.
Namun di sisi lain, argumentasi pihak yang mendukung tetap diimplementasikannya sistem proposional terbuka juga tak kalah kuatnya. Melalui sistem proposional terbuka, rakyat bisa menentukan secara langsung calon wakilnya yang akan duduk di parlemen. Dengan demikian akan muncul ikatan yang kuat antara wakil rakyat dengan masyarakat, terutama yang mendukungnya. Sistem pemilu proposional daftar terbuka juga dianggap mampu meningkatkan jumlah perempuan di parlemen. Penguatan kehadiran perempuan di parlemen strategis mendorong gerakan politik perempuan pada masa mendatang.
Sebaliknya, dalam pandangan pihak yang menentang sistem proposional tertutup, sistem tersebut hanya akan menyuburkan kembali oligarki politik karena memberi kekuasaan mutlak pada parpol, sekaligus akan membunuh partisipasi politik berkualitas yang mulai tumbuh di masyarakat. Dalam akal sehat mereka, sistem proposional bertentangan dengan prinsip kekuasaan ada di tangan rakyat.
Dengan berbagai akal sehat yang dipahami, mayoritas DPR sebenarnya telah menolak rencana pemilu kembali digelar dengan sistem proporsional tertutup. Penolakan tegas ini disampaikan delapan fraksi di DPR RI yang diambil dalam pertemuandi Hotel Dharmawangsa pada 8 Januari 2023. Dengan begitu, praktis hanya menyisakan Fraksi PDIP saja yang berseberangan sikapnya.
Selain menolak rencana pemilu kembali digelar dengan sistem proporsional tertutup, mereka juga mendesak MK menolak gugatan UU Pemilu Nomor No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tersebut. Mereka pun menegaskan akan mengawal setiap proses gugatan di MK agar lembaga tersebut tetap konsisten dengan Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada tanggal 23 Desember 2008 dengan mempertahankan pasal 168 ayat 2 UU No 7 tahun 2017 sebagai wujud ikut menjaga kemajuan demokrasi Indonesia
Sikap sama juga telah disampaikan mayoritas masyarakat. Survei yang dilakukan SMRC menemukan dukungan publik pada sistem proporsional terbuka dalam Pemilu legislatif sangat kuat, yaitu mencapai 72 persen. Sedangkan yang menginginkan sistem proporsional tertutup hanya 19 persen. Sikap mayoritas warga yang menginginkan sistem pemilu proporsional terbuka ini konsisten ditemukan dalam 3 kali survei SMRC (Januari, Februari, dan Mei 2023).
Walaupun putusan akan diambil berdasarkan kaidah dan logika hukum, MK juga harus membuka mata dan telinga lebar-lebar untuk merespons hadirnya berbagai pandangan dan aspirasi masyarakat luas agar putusan tidak bertabrakan dengan akal sehat publik, sebagai manifestasi falsafah demokrasi bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. MK juga harus konsisten dengan prinsip hukum bahwa putusan MK bersifat final and binding, sehingga tidak memunculkan preseden yang berpotensi mengacaukan sistem hukum di Tanah air.
Sebaliknya bila bocoran yang disampaikan Denny Indrayana menjadi kenyataan, karena MK mengabulkan gugatan dan memutuskan sistem pemilu menjadi proposional tertutup, prasangka miring publik terhadap MK pun bisa menjadi kebenaran. Publik akan sulit memahami bahwa putusan yang diambil MK berangkat dari sikap profesional menegakkan hukum dan keadilan, kecuali mengikuti agenda kepentingan dan oligarkhi politik tertentu.Semoga, putusan MK akan menelorkan hasil terbaik untuk demokrasi Indonesia ke depan.(*)