Wahai MK, Dengarkanlah Suara Rakyat!
loading...
A
A
A
JAKARTA - Isu Pemilu 2024 akan digelar dengan sistem proporsional tertutup seolah menjadi bola salju yang bergerak semakin membesar dan liar. ‘Informasi’ yang disampaikan pakar hukum tata negara Denny Indrayana lewat akun media sosialnya pada Minggu (28/15) memicu pro-kontra tajam di tengah masyarakat, termasuk mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengaku khawatir akan muncul chaos politik bila benar pemilu menggunakan sistem proporsional tertutup.
Chaos politik dimaksud bisa terjadi karena tahapan pemilu telah berjalan. Bahkan parpol-parpol baru saja menyerahkan DCS (Daftar Caleg Sementara) ke KPU. Bisa dibayangkan, bagaimana dampaknya jika benar Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutuskan sistem proporsional tertutup, pasti akan terjadi pertarungan di internal kader parpol untuk memperebutkan nomor urut pertama atau nomor jadi. Upaya meredam dan menuntaskan pertarungan hidup mati tersebut tentu tidak mudah, hingga akan memakan waktu dan bisa mempengaruhi proses pemilu secara keseluruhan, yang rencananya digelar pada Februari 2024. Belum lagi adanya perubahan berbagai peraturan untuk menyesuaikan sistem pemilu baru tersebut.
Pro-kontra juga diikuti dengan ancaman pelaporan pidana. Adalah Menko Polhukam M Mahfud MD yang merespons keras pernyataan Denny Indrayana yang juga Wakil Menkumham era Presiden SBY itu karena dianggap membocorkan rahasia negara. Dalam pernyataannya, Denny Indrayana menyebut mendapatkan informasi penting, bahwa MK akan memutuskan pemilu legislatif diubah menjadi sistem proporsional tertutup.
Dengan sistem ini, pemilih akan kembali mencoblos gambar partai saja di surat suara seperti pada masa Orde Baru — bukan foto calon legislatif secara langsung. Diungkapkan, putusan itu didukung oleh enam hakim MK, dengan tiga hakim berbeda pendapat atau dissenting opinion. “Siapa sumbernya? Orang yang sangat saya percaya kredibilitasnya, yang pasti bukan Hakim Konstitusi,” ujar Denny Indrayana.
Benarkah Pemilu 2024 bakal menggunakan sistem proposional tertutup? Juru bicara MK, Fajar Laksono telah menanggapi kontroversi tersebut. Dia menegaskan, sidang uji materi sistem pemilu yang diajukan enam pemohon belum mencapai pembahasan putusan. Namun baru sampai ke tahap penyerahan kesimpulan dari masing-masing pihak terkait pada tanggal 31 Mei.
Bila menilik ke belakang, isu yang disampaikan Denny Indrayana tentang perubahan sistem pemilu bukanlah hal baru. Sejak sistem proposional terbuka digugat (uji materiil) Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP Cabang Probolinggo), Yuwono Pintadi (anggota Partai NasDem), dan empat orang lainnya pada akhir November 2022, kasak-kusuk sistem pemilu akan berubah menjadi sistem proposional tertutup sudah santer terdengar. Bahkan rumor yang beredar menukik pada terjadinya ‘deal-deal-an’ di antara parpol di parlemen dan parpol dengan Istana. Dalam konteks relasi Istana-MK, Ketua MK Anwar Usman yang dua kali terpilih menduduki jabatan tersebut terseret karena merupakan adik ipar Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Kontroversi juga sejak awal sudah mengiringi munculnya gugatan tersebut. Sebab, sebelumnya MK telah mengeluarkan putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008 tentang sistem proporsional terbuka. Dengan keluarnya putusan tersebut, perdebatan soal konstitusionalitas sistem pemilu semestinya sudah selesai. Apalagi, putusan MK bersifat final and binding bermakna bahwa putusan MK adalah putusan pertama dan terakhir yang tidak ada ruang hukum untuk mengujinya lagi.
Belum lagi, MK juga dianggap tidak memiliki kewenangan menentukan sistem pemilu mana yang digunakan. Seperti disampaikan Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem), UUD 1945 tidak memuat ketentuan apakah pemilu legislatif harus dilakukan secara tertutup atau terbuka. Karena itu, perkara merupakan open legal policy yang diserahkan kepada pembuat kebijakan, yaitu pemerintah dan DPR.
Secara fair, sistem proporsional terbuka menegaskan kekuasaan penuh rakyat dalam menentukan wakilnya yang akan duduk di parlemen. Sistem juga dianggap sejalan UUD 1945 Pasal 22E tentang pelaksanaan pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Melalui pemahaman ini, bila kemudian MK membuat putusan dengan intrepretasi berbeda, maka MK menghadirkan dirinya sebagai peradilan yang tidak konsisten: karena dianggap dianggap membingungkan masyarakat. Prasangka pun muncul: MK membuat putusan berubah-ubah sesuai kepentingan partai politik penguasa.
Chaos politik dimaksud bisa terjadi karena tahapan pemilu telah berjalan. Bahkan parpol-parpol baru saja menyerahkan DCS (Daftar Caleg Sementara) ke KPU. Bisa dibayangkan, bagaimana dampaknya jika benar Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutuskan sistem proporsional tertutup, pasti akan terjadi pertarungan di internal kader parpol untuk memperebutkan nomor urut pertama atau nomor jadi. Upaya meredam dan menuntaskan pertarungan hidup mati tersebut tentu tidak mudah, hingga akan memakan waktu dan bisa mempengaruhi proses pemilu secara keseluruhan, yang rencananya digelar pada Februari 2024. Belum lagi adanya perubahan berbagai peraturan untuk menyesuaikan sistem pemilu baru tersebut.
Pro-kontra juga diikuti dengan ancaman pelaporan pidana. Adalah Menko Polhukam M Mahfud MD yang merespons keras pernyataan Denny Indrayana yang juga Wakil Menkumham era Presiden SBY itu karena dianggap membocorkan rahasia negara. Dalam pernyataannya, Denny Indrayana menyebut mendapatkan informasi penting, bahwa MK akan memutuskan pemilu legislatif diubah menjadi sistem proporsional tertutup.
Dengan sistem ini, pemilih akan kembali mencoblos gambar partai saja di surat suara seperti pada masa Orde Baru — bukan foto calon legislatif secara langsung. Diungkapkan, putusan itu didukung oleh enam hakim MK, dengan tiga hakim berbeda pendapat atau dissenting opinion. “Siapa sumbernya? Orang yang sangat saya percaya kredibilitasnya, yang pasti bukan Hakim Konstitusi,” ujar Denny Indrayana.
Benarkah Pemilu 2024 bakal menggunakan sistem proposional tertutup? Juru bicara MK, Fajar Laksono telah menanggapi kontroversi tersebut. Dia menegaskan, sidang uji materi sistem pemilu yang diajukan enam pemohon belum mencapai pembahasan putusan. Namun baru sampai ke tahap penyerahan kesimpulan dari masing-masing pihak terkait pada tanggal 31 Mei.
Bila menilik ke belakang, isu yang disampaikan Denny Indrayana tentang perubahan sistem pemilu bukanlah hal baru. Sejak sistem proposional terbuka digugat (uji materiil) Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP Cabang Probolinggo), Yuwono Pintadi (anggota Partai NasDem), dan empat orang lainnya pada akhir November 2022, kasak-kusuk sistem pemilu akan berubah menjadi sistem proposional tertutup sudah santer terdengar. Bahkan rumor yang beredar menukik pada terjadinya ‘deal-deal-an’ di antara parpol di parlemen dan parpol dengan Istana. Dalam konteks relasi Istana-MK, Ketua MK Anwar Usman yang dua kali terpilih menduduki jabatan tersebut terseret karena merupakan adik ipar Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Kontroversi juga sejak awal sudah mengiringi munculnya gugatan tersebut. Sebab, sebelumnya MK telah mengeluarkan putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008 tentang sistem proporsional terbuka. Dengan keluarnya putusan tersebut, perdebatan soal konstitusionalitas sistem pemilu semestinya sudah selesai. Apalagi, putusan MK bersifat final and binding bermakna bahwa putusan MK adalah putusan pertama dan terakhir yang tidak ada ruang hukum untuk mengujinya lagi.
Belum lagi, MK juga dianggap tidak memiliki kewenangan menentukan sistem pemilu mana yang digunakan. Seperti disampaikan Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem), UUD 1945 tidak memuat ketentuan apakah pemilu legislatif harus dilakukan secara tertutup atau terbuka. Karena itu, perkara merupakan open legal policy yang diserahkan kepada pembuat kebijakan, yaitu pemerintah dan DPR.
Secara fair, sistem proporsional terbuka menegaskan kekuasaan penuh rakyat dalam menentukan wakilnya yang akan duduk di parlemen. Sistem juga dianggap sejalan UUD 1945 Pasal 22E tentang pelaksanaan pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Melalui pemahaman ini, bila kemudian MK membuat putusan dengan intrepretasi berbeda, maka MK menghadirkan dirinya sebagai peradilan yang tidak konsisten: karena dianggap dianggap membingungkan masyarakat. Prasangka pun muncul: MK membuat putusan berubah-ubah sesuai kepentingan partai politik penguasa.