Merawat Merek, Menghindari Sengketa
loading...
A
A
A
Apa sebanrnya Merek itu? Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 20 ahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, sebagaimana diubah dengan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, yang dimaksud Merek adalah: “Tanda yang yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.”
Di dalam undang-undang dibedakan antara Merek Dagang dan Merek Jasa. Merek Dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang sejenis lainnya. Contoh: Samsung, Aqua; Sony; Nokia, dan lain-lain Sedangkan Merek Jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa sejenis lainnya. Contoh: Hotel Hyatt; Ramayana; Carrefour, dan lain-lain.
Ada beberapa perbuatan atau tindakan yang digolongkan sebagai pelanggaran merek. Misalnya, “Persamaan pada Pokoknya”. Maksudnya adalah adanya kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur yang dominan antara Merek yang satu dengan Merek yang lain sehingga menimbulkan kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan, atau kombinasi antara unsur, maupun persamaan bunyi ucapan, yang terdapat dalam Merek tersebut.
Kemiripan itu bisa menimbulkan risiko membingungkan bagi masyarakat (a likelihood of confusion) atau malah benar-benar menimbulkan kebingungan yang nyata (actual confusion). Biasanya, kemiripan (similarity) itu dilihat dari apakah ada persamaan bunyi; persamaan arti; atau persamaan tampilannya.
Selain “Persamaan Pada Pokoknya”, ada juga pelanggaran yang disebut “Persamaan pada Keseluruhan”. Di sini hampir seluruh elemen (termasuk jenis hurufnya) terjadi persamaan antara “yang asli” dan “penirunya”. Jadi mirip sebuah reproduksi saja dari merek milik orang lain. Selain itu, yang biasa digolongkan dalam jenis pelanggaran ini juga karena adanya persamaan jenis dan Kelas barang atau jasa; persamaan wilayah dan segmen pasar; serta persamaan cara pemakaian dan cara pemeliharaan.
Tindakan lain yang --meski belum diatur secara tegas di Indonesia—yang mulai diangap sebagai pelanggaran adalah Dilusi Merek. Pada intinya, delusi merek ini terjadi ketika ada orang lain menggunakan nama terkenal untuk poroduk yang sama sekali berbeda. Meskipun tidak saling berkompetisi, tetapi hal itu bisa mengurangi eksklusivitas mereka yang “ditiru”.
Misalnya saja, merek “Mayora”, lalu dipakai oleh orang lain menjadi nama warung kecil di pinggir jalan atau merek pedagang es kelapa di bawah pohon. Ketiganya mungkin saja tidak satu kelompok atau golongan, antara produsen biskuit, warung nasi, dan pedagang es kelapa, tetapi bisa jadi hal itu mengurangi “nilai” merek yang ditiru. “Mayora” akan menjadi atau dianggap “merek pasaran”. Ide dasar perlindungan dari delusi merek ini adalah bahwa merek perlu diproteksi bukan sekadar untuk menghilangkan kebingunan masyarakat, tetapi juga keunikannya, yang selanjutnya bisa berdampak pada “nilai jualnya”. Hal ini mirip dengan kasus Starbucks Corporation (SC) melawan Sumatra Tobacco Trading Company (STTC) dalam contoh tulisan ini.
Jadi, jika Anda memiliki Merek, lindungilah. Waspadalah, waspadalah, kejahatan bisa muncul kapan saja....
Di dalam undang-undang dibedakan antara Merek Dagang dan Merek Jasa. Merek Dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang sejenis lainnya. Contoh: Samsung, Aqua; Sony; Nokia, dan lain-lain Sedangkan Merek Jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa sejenis lainnya. Contoh: Hotel Hyatt; Ramayana; Carrefour, dan lain-lain.
Ada beberapa perbuatan atau tindakan yang digolongkan sebagai pelanggaran merek. Misalnya, “Persamaan pada Pokoknya”. Maksudnya adalah adanya kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur yang dominan antara Merek yang satu dengan Merek yang lain sehingga menimbulkan kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan, atau kombinasi antara unsur, maupun persamaan bunyi ucapan, yang terdapat dalam Merek tersebut.
Kemiripan itu bisa menimbulkan risiko membingungkan bagi masyarakat (a likelihood of confusion) atau malah benar-benar menimbulkan kebingungan yang nyata (actual confusion). Biasanya, kemiripan (similarity) itu dilihat dari apakah ada persamaan bunyi; persamaan arti; atau persamaan tampilannya.
Selain “Persamaan Pada Pokoknya”, ada juga pelanggaran yang disebut “Persamaan pada Keseluruhan”. Di sini hampir seluruh elemen (termasuk jenis hurufnya) terjadi persamaan antara “yang asli” dan “penirunya”. Jadi mirip sebuah reproduksi saja dari merek milik orang lain. Selain itu, yang biasa digolongkan dalam jenis pelanggaran ini juga karena adanya persamaan jenis dan Kelas barang atau jasa; persamaan wilayah dan segmen pasar; serta persamaan cara pemakaian dan cara pemeliharaan.
Tindakan lain yang --meski belum diatur secara tegas di Indonesia—yang mulai diangap sebagai pelanggaran adalah Dilusi Merek. Pada intinya, delusi merek ini terjadi ketika ada orang lain menggunakan nama terkenal untuk poroduk yang sama sekali berbeda. Meskipun tidak saling berkompetisi, tetapi hal itu bisa mengurangi eksklusivitas mereka yang “ditiru”.
Misalnya saja, merek “Mayora”, lalu dipakai oleh orang lain menjadi nama warung kecil di pinggir jalan atau merek pedagang es kelapa di bawah pohon. Ketiganya mungkin saja tidak satu kelompok atau golongan, antara produsen biskuit, warung nasi, dan pedagang es kelapa, tetapi bisa jadi hal itu mengurangi “nilai” merek yang ditiru. “Mayora” akan menjadi atau dianggap “merek pasaran”. Ide dasar perlindungan dari delusi merek ini adalah bahwa merek perlu diproteksi bukan sekadar untuk menghilangkan kebingunan masyarakat, tetapi juga keunikannya, yang selanjutnya bisa berdampak pada “nilai jualnya”. Hal ini mirip dengan kasus Starbucks Corporation (SC) melawan Sumatra Tobacco Trading Company (STTC) dalam contoh tulisan ini.
Jadi, jika Anda memiliki Merek, lindungilah. Waspadalah, waspadalah, kejahatan bisa muncul kapan saja....
(wur)