Pada Mulanya Adalah Ide
loading...
A
A
A
Kemala Atmojo
Peminat dan Pemerhati Masalah Filsafat, Hukum, dan Seni
Jangan anggap sepele sebuah ide. Termasuk ide cerita film. Meski hingga saat ini ide yang belum ditulis tidak memiliki hak cipta, tetapi sesungguhnya ia berkaki. Ide itu bisa terus mengalir bagaikan air. Ia meluncur lurus, berkelok, membesar, melewati bebatuan, mengecil sebentar, membesar lagi, mengalir lagi, dan seterusnya.
Ide yang berkembang menjadi gagasan, pemikiran atau konsep, bisa berpengaruh besar pada beberapa sektor kehidupan. Begitulah ketika John Locke (1632-1704) berbicara soal pembagian kekuasaan (legislatif, eksekutif, dan federatif), kemudian dikembangkan oleh Montesquieu (1689-1755) menjadi legislatif; eksekutif; yudikatif.Hasilnya adalah pembagian kekuasaan yang dianggap paling tepat untuk sebuah negara modern, dan diterapkan di banyak negara tak terkecuali Indonesia hingga sekarang.
Demikian pula Magna Charta Libertatum yang mulanya digagas para bangsawan Inggis agar raja tidak melakukan penahanan, penghukuman, dan perampasan benda secara sewenang-wenang terus berkembang, kemudian muncul dokumen Habeas Corpus pada 1679 yang antara lain menetapkan bahwa orang yang ditahan harus dihadapkan dalam waktu tiga hari kepada hakim dan diberi tahu atas tuduhan apa ia ditahan.
Pernyataan dalam Habeas Corpus itu menjadi dasar bahwa orang hanya boleh ditahan atas perintah hakim. Penguasa tidak bisa seenaknya menangkap dan menahan warga negara.Aliran ide itu terus membesar hingga pada 1689 muncul Bill of Rights yang antara lain berisi pengakuan atas hak-hak parlemen, sehingga akhirnya Inggris dikenal sebagai negara pertama di dunia yang memiliki sebuah konstitusi dalam arti modern.
Para akademisi meyakini bahwa apa yang terjadi di Inggis itu banyak dipengaruhi oleh pemikiran John Locke juga. Sebab Locke-lah yang dianggap menggagas bahwa semua orang diciptakan sama dan memiliki hak-hak alamiah yang tidak dapat dilepaskan, di antaranya hak hidup, kemerdekaan, dan hak milik. Gagasan Locke itu berpengaruh besar di Inggris, Amerika, dan Prancis. Bahkan Bill of Rights of Virginia yang muncul pada 1776, yang berisi daftar hak-hak asasi manusia agak lengkap, diangap “hanya” mengumandangkan pandangan John Locke.
Lalu terjadilah Revolusi Prancis (1789-1799) yang antara lain menghasilkan “Declaration de droits des hommes et des Citoyens”, sebuah pernyataan tentang hak-hak manusia dan warga negara. Dikatakan di situ tentang beberapa hak bawaan yang dimiliki manusia dan hak-hak manusia yang diperoleh sebagai warga negara.
Singkat cerita, semua itu terus berkembang, melewati beberapa tahap, melahirkan berbagai pernyataan, dan akhirnya menjadi konsep Hak Asai Manusia (HAM) seperti yang kita kenal sekarang dan mewujud nyata dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lalu kita di sini ramai-ramai mengucapkannya, meskipun tidak selalu konsekuen melaksanakannya.
Dan yang relatif baru di sini adalah soal keadilan restorative (restorative justice). Konsep yang digagas sejak 1960-an di berbagai belahan dunia itu makin terkenal ketika Albert Eglash pada 1977 mendeskripsikan adanya 3 (tiga) pendekatan berbeda untuk mencapai keadilan, yakni retributive justice; distributive justice; dan restorative justice.
Pendekatan ketiga itulah yang tampaknya dianggap baik dan kini menjadi praktek nyata dalam proses penyelesaian tindak pidana ringan di Indonesia. Salah satu tonggak perwujudan keadilan restoratif di Indonesia adalah munculnya Peraturan Kejaksaan Agung No. 15 tahun 2020 tentang Penuntuntan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Peraturan ini mengubah cukup drastis proses penegakan hukum pidana di Indonesia dibanding sebelumnya.
Peminat dan Pemerhati Masalah Filsafat, Hukum, dan Seni
Jangan anggap sepele sebuah ide. Termasuk ide cerita film. Meski hingga saat ini ide yang belum ditulis tidak memiliki hak cipta, tetapi sesungguhnya ia berkaki. Ide itu bisa terus mengalir bagaikan air. Ia meluncur lurus, berkelok, membesar, melewati bebatuan, mengecil sebentar, membesar lagi, mengalir lagi, dan seterusnya.
Ide yang berkembang menjadi gagasan, pemikiran atau konsep, bisa berpengaruh besar pada beberapa sektor kehidupan. Begitulah ketika John Locke (1632-1704) berbicara soal pembagian kekuasaan (legislatif, eksekutif, dan federatif), kemudian dikembangkan oleh Montesquieu (1689-1755) menjadi legislatif; eksekutif; yudikatif.Hasilnya adalah pembagian kekuasaan yang dianggap paling tepat untuk sebuah negara modern, dan diterapkan di banyak negara tak terkecuali Indonesia hingga sekarang.
Demikian pula Magna Charta Libertatum yang mulanya digagas para bangsawan Inggis agar raja tidak melakukan penahanan, penghukuman, dan perampasan benda secara sewenang-wenang terus berkembang, kemudian muncul dokumen Habeas Corpus pada 1679 yang antara lain menetapkan bahwa orang yang ditahan harus dihadapkan dalam waktu tiga hari kepada hakim dan diberi tahu atas tuduhan apa ia ditahan.
Pernyataan dalam Habeas Corpus itu menjadi dasar bahwa orang hanya boleh ditahan atas perintah hakim. Penguasa tidak bisa seenaknya menangkap dan menahan warga negara.Aliran ide itu terus membesar hingga pada 1689 muncul Bill of Rights yang antara lain berisi pengakuan atas hak-hak parlemen, sehingga akhirnya Inggris dikenal sebagai negara pertama di dunia yang memiliki sebuah konstitusi dalam arti modern.
Para akademisi meyakini bahwa apa yang terjadi di Inggis itu banyak dipengaruhi oleh pemikiran John Locke juga. Sebab Locke-lah yang dianggap menggagas bahwa semua orang diciptakan sama dan memiliki hak-hak alamiah yang tidak dapat dilepaskan, di antaranya hak hidup, kemerdekaan, dan hak milik. Gagasan Locke itu berpengaruh besar di Inggris, Amerika, dan Prancis. Bahkan Bill of Rights of Virginia yang muncul pada 1776, yang berisi daftar hak-hak asasi manusia agak lengkap, diangap “hanya” mengumandangkan pandangan John Locke.
Lalu terjadilah Revolusi Prancis (1789-1799) yang antara lain menghasilkan “Declaration de droits des hommes et des Citoyens”, sebuah pernyataan tentang hak-hak manusia dan warga negara. Dikatakan di situ tentang beberapa hak bawaan yang dimiliki manusia dan hak-hak manusia yang diperoleh sebagai warga negara.
Singkat cerita, semua itu terus berkembang, melewati beberapa tahap, melahirkan berbagai pernyataan, dan akhirnya menjadi konsep Hak Asai Manusia (HAM) seperti yang kita kenal sekarang dan mewujud nyata dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lalu kita di sini ramai-ramai mengucapkannya, meskipun tidak selalu konsekuen melaksanakannya.
Dan yang relatif baru di sini adalah soal keadilan restorative (restorative justice). Konsep yang digagas sejak 1960-an di berbagai belahan dunia itu makin terkenal ketika Albert Eglash pada 1977 mendeskripsikan adanya 3 (tiga) pendekatan berbeda untuk mencapai keadilan, yakni retributive justice; distributive justice; dan restorative justice.
Pendekatan ketiga itulah yang tampaknya dianggap baik dan kini menjadi praktek nyata dalam proses penyelesaian tindak pidana ringan di Indonesia. Salah satu tonggak perwujudan keadilan restoratif di Indonesia adalah munculnya Peraturan Kejaksaan Agung No. 15 tahun 2020 tentang Penuntuntan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Peraturan ini mengubah cukup drastis proses penegakan hukum pidana di Indonesia dibanding sebelumnya.