Beberapa Isu Kontrak Pekerja Film

Jum'at, 26 Mei 2023 - 11:45 WIB
loading...
Beberapa Isu Kontrak Pekerja Film
Kemala Atmojo - Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni. Foto/Dok Pribadi
A A A
Kemala Atmojo
Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni

Di antara sekian banyak isu atau persoalan dalam kontrak pekerja (crew) film, salah satu yang masih kerap dibicarakan adalah soal jam kerja. Apakah pekerja film hanya wajib bekerja, misalnya, delapan jam per hari atau tidak? Padahal, kita tahu, dalam pembuatan sebuah film atau sinetron, para pekerja itu bisa bekerja “dari pagi ketemu pagi”, dalam kurun waktu tertentu. Hal ini bisa jadi mempengaruhi kesehatan para pekerja dan sangat mungkin berdampak pada kualitas produk yang dihasilkan.

Secara umum, kontrak perdata, termasuk kontrak kerja, bisa disebut sebagai kontrak “suka-suka” atau kontrak bebas. Para pihak diperkenankan untuk membuat kontrak tentang apa saja, isinya apa saja, sejauh dilandasi dengan itikad baik dan tidak melanggar undang-undang. Prinsip yang dipakai dalam kontrak perdata ini adalah kebebasan berkontrak. Dasar hukumnya adalah Buku Ketiga KUH Perdata (Pasal 1313-1351).

Dalam aturan kontrak baku (Pasal 1320 KUH Perdata), memang sudah ditetapkan adanya 4 (empat) syarat sahnya sebuah perjanjian. Pertama, kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya (Pasal 1321); Kedua, kecakapan untuk membuat sebuah perikatan alias legal capacity (Pasal 1329-1330); Ketiga, suatu pokok persoalan tertentu (Pasal 1332); dan keempat, suatu sebab yang tidak dilarang undang-undang alias harus lawful object (Pasal 1337).

Sebuah perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas, misalnya karena pembuatnya masih anak-anak, mabuk, atau sakit jiwa, dapat dibatalkan oleh hakim (voidable). Atau batal demi hukum (null and void), misalnya, karena tidak terpenuhinya sebab yang halal.

Prinsip “kebebasan berkontrak” (freedom of contract) inilah yang sekarang banyak digugat dalam diskursus mutakhir mengenai hukum kontrak. Sebab, dengan hanya menyandarkan pada prinsip kebebasan berkontrak, asas proporsionalitas, kesataraan, dan keadilan bisa saja tidak terpenuhi dalam isi keseluruhan kontrak.

Nah, ada yang unik dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman sebagaimana diubah dengan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Dalam Pasal 47 mengenai hak dan kewajiban insan perfilman, pada huruf (e) dinyatakan bahwa setiap insan perfilman berhak “menjadi mitra kerja yang sejajar dengan pelaku usaha perfilman”. Siapa yang dimaksud dengan “pelaku usaha” perfilman itu? Menurut saya, salah satunya adalah produser atau pemilik perusahaan film.

Jika benar demikian, maka pekerja film bukan sekadar pekerja waktu tertentu (PKWT) layaknya pekerja pabrik, misalnya. Kontrak kerja antara pelaku usaha perfilman dengan insan perfilman ini lebih cocok jika disebut sebagai “kontrak profesi”. Kontrak profesi adalah kontrak yang biasanya digunakan dalam konteks hubungan antara seorang profesional seperti pilot, dokter, pengacara, akuntan, arsitek, atau konsultan, dengan klien atau pihak yang menggunakan jasa profesional tersebut. Kontrak ini mengatur hak, kewajiban, tanggung jawab masing-masing pihak, yakni mereka yang menyediakan jasa profesional dan pihak yang menerima jasa tersebut.

Tentu saja “kontrak profesi” ini memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dari kontrak pada umumnya. Misalnya, kontrak itu berisi standar profesional yang mencerminkan standar yang berlaku dalam bidang tertentu. Para professional yang dikontrak harus mengikuti kode etik dan aturan praktik profesional dalam memberikan jasa mereka kepada klien. Lalu, kontrak profesi bersifat spesifik serta menjelaskan secara rinci jasa profesional yang akan disediakan oleh pihak profesional kepada klien. Ini mencakup lingkup pekerjaan, tujuan, dan hasil yang diharapkan.

Biasanya, batasan mengenai tanggung jawab serta pengecualian dalam situasi tertentu juga dicantumkan. Misalnya, batasan tanggung jawab atas kerugian atau kesalahan profesional. Kemudian, biaya jasa, durasi kontrak, jadwal pembayaran, metode pembayaran, dalam kontrak profesi juga disebut secara jelas. Intinya, kontrak profesi berperan penting dalam memastikan keterlibatan yang jelas, adil, dan saling menguntungkan antara profesional dan klien mereka. Kontrak ini membantu mengatur ekspektasi, melindungi hak dan kewajiban masing-masing pihak, dan menyediakan landasan hukum yang kuat dalam hubungan profesional.

Dari pengalaman membaca beberapa kontrak antara perusahaan film dengan pekerja, saya menemukan beberapa pasal yang terkesan sadis atau lucu-lucu. Misalnya, ada kontak yang tidak mencantumkan jangka waktu perjanjian. Malah ada kontrak dalam bentuk perjanjian kerja waktu tertentu untuk satu judul film yang ditulis 4 (empat) tahun. Lama sekali, mirip seperti bikin jalan tol atau gedung pertunjukan. Maka, ada baiknya masalah kepastian waktu (certainty of time) kontrak ini dibikin lebih masuk akal demi kepentingan bersama.

Mengenai pemutusan kerja juga nampak tidak memenuhi asas keseimbangan. Ada sebuah kontrak dari perusahaan film besar yang mencantumkan bahwa pihak perusahaan berhak mengakhiri perjanjian secara sepihak sebelum jangka waktu kerjasama berakhir apabila pekerjaan crew dianggap tidak memenuhi syarat dan crew tidak diperkenankan untuk menuntut ganti rugi.

Sebaliknya, pengakhiran perjanjian sepihak oleh crew dengan alasan apapun, maka crew wajib membayar ganti rugi sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta) atau sejumlah nilai yang akan ditentukan kemudian oleh perusahaan. Jadi sangat mungkin juga akan ditentukan lebih dari seratus juta nilainya. Ganti rugi sejumlah itu diberlakukan pula bagi seorang pencatat script yang honornya mungkin tidak lebih dari dua juta rupiah.

Nuansa ketidakseimbangan juga sangat terasa dalam klausul Hak dan Kewajiban Para Pihak. Ketika menyangkut “hak produser”, terdapat sederet daftar hak produser yang dicantumkan. Sementara “kewajibannya” cuma ada satu ayat, yakni memberikan honorarium sejumlah yang disepakati. Sementara menyangkut hak crew, hanya ada satu ayat, yakni menerima honorarium yang sudah disepakat. Ayat selebihnya isinya adalah kewajiban. Maka, bisa dimaklumi apabila ada crew yang merasa bahwa perjanjian itu tidak seimbang atau tidak adil.

Inti certita, ada baiknya mulai sekarang para pihak yang akan membuat perjanjian memperhatikan hukum yang berlaku. Jangan sampai kontrak yang sudah dibuat nantinya dibatalkan atau batal demi hukum. Lebih dari itu, niat baik patut menjadi pertimbangan utama demi kemajuan bersama.
(wur)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1856 seconds (0.1#10.140)