Pengamat Sebut Klaim Kerugian Negara Rp300 Triliun dalam Kasus Timah Tidak Didukung Bukti Kuat
loading...

Pakar Hukum Pidana Universitas Mataram, Ufran Trisa mengatakan hingga saat ini belum ada argumentasi kuat untuk menyatakan bahwa kerugian ekologis termasuk sebagai kerugian keuangan negara. FOTO/IST
A
A
A
JAKARTA - Klaim kerugian negara sebesar Rp300 triliun dalam kasus korupsi tata niaga timah di Bangka Belitung dinilai tidak didukung alat bukti yang kuat. Hingga saat ini belum ada argumentasi kuat yang menyatakan bahwa kerugian ekologis termasuk kerugian keuangan negara.
Pandangan ini disampaikan Pakar Hukum Pidana Universitas Mataram, Ufran Trisa. "Jaksa kukuh dengan praduganya, tetapi sayangnya praduga ini tidak didukung alat bukti yang membenarkan nilai kerugian negara sebanyak itu," katanya, Minggu (5/1/2025).
Lebih jauh, Ufran menyoroti perihal penghitungan kerugian negara dalam kasus ini yang didasarkan pada kerugian ekologis, dengan mengacu pada Laporan Hasil Kajian (LHK) Nomor VII Tahun 2014. Menurutnya, hingga saat ini belum ada argumentasi kuat yang menyatakan bahwa kerugian ekologis termasuk sebagai kerugian keuangan negara. Ia memandang kerugian ekologis lebih merupakan pencemaran atau kerusakan lingkungan, yang tidak bisa langsung ditarik sebagai akibat adanya korupsi.
Penghitungan kerugian negara semestinya menjadi kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diamanatkan oleh konstitusi meski setelah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 31 Tahun 2012 kewenangan ini terdesentralisasi ke berbagai lembaga, termasuk Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
"Hanya saja sering kali hasil audit BPK yang dibentuk berdasarkan konstitusi justru dikesampingkan oleh audit BPKP, yang hanya dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden. Ini sangat janggal secara konstitusional," katanya.
Pandangan ini disampaikan Pakar Hukum Pidana Universitas Mataram, Ufran Trisa. "Jaksa kukuh dengan praduganya, tetapi sayangnya praduga ini tidak didukung alat bukti yang membenarkan nilai kerugian negara sebanyak itu," katanya, Minggu (5/1/2025).
Lebih jauh, Ufran menyoroti perihal penghitungan kerugian negara dalam kasus ini yang didasarkan pada kerugian ekologis, dengan mengacu pada Laporan Hasil Kajian (LHK) Nomor VII Tahun 2014. Menurutnya, hingga saat ini belum ada argumentasi kuat yang menyatakan bahwa kerugian ekologis termasuk sebagai kerugian keuangan negara. Ia memandang kerugian ekologis lebih merupakan pencemaran atau kerusakan lingkungan, yang tidak bisa langsung ditarik sebagai akibat adanya korupsi.
Penghitungan kerugian negara semestinya menjadi kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diamanatkan oleh konstitusi meski setelah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 31 Tahun 2012 kewenangan ini terdesentralisasi ke berbagai lembaga, termasuk Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
"Hanya saja sering kali hasil audit BPK yang dibentuk berdasarkan konstitusi justru dikesampingkan oleh audit BPKP, yang hanya dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden. Ini sangat janggal secara konstitusional," katanya.
Lihat Juga :