Jelang Pilkada Serentak, Bawaslu Awasi Medsos para Paslon

Kamis, 23 Juli 2020 - 05:05 WIB
loading...
Jelang Pilkada Serentak,...
Foto: Ilustrasi/SINDOnews/Dok
A A A
JAKARTA - Meskipun kampanye pilkada saat pandemi Covid-19 ini memperbanyak kesempatan penggunaan media sosial (medsos) maupun media massa konvensional, pasangan calon (paslon) dan timnya harus tetap berhati-hati dalam berkampanye.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengawasi medsos bahkan bekerja sama dengan penyedia aplikasi medsos, seperti Facebook, Twitter, Google, dan lainnya. Paslon yang terbukti melanggar atau melakukan black campaign, bukan hanya kena sanksi dari UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada, tapi bisa juga dijerat dengan ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

“Sesuai dengan tahapan dalam PKPU (Peraturan Komisi Pemilihan Umum) 5/2020 saat ini belum ada penetapan calon, masih adanya bakal, penetapan calon 23 September 2020. Maka baru 3 hari setelahnya ada masa kampanye. Yang jadi persoalan karena belum pasangan calon (paslon). Jadi, istilah publik bisa mengatakan curi start kampanye, sudah ada penetapan paslon baru bisa disebut kampane melanggar jadwal, kalau belum ada penetapan sulit menyebut kampanye di luar jadwal,” kata Ketua Bawaslu Abhan dalam Fokus SINDO yang bertajuk Kampanye di Masa Pandemi secara virtual, Rabu (22/7/2020).

Abhan menjelaskan, ada beberapa hal yang diatur dalam pilkada di tengah pandemi ini yakni, protokol kesehatan pencegahan Covid-19, termasuk di tahapan kampanye. Sehingga, tim kampaye, paslon, dan masyarakat harus taat prosedur protokol kesehatan, dan PKPU 6/2020 tentang Penyelenggaraan Pilkada Dalam Bencana Non Alam/Covid-19, KPU masih membuka ruang kampanye yang sifatnya konvensional, tatap muka, pertemuan terbatas bahkan rapat umum masih bisa dilakukan dengan protokol Covid-19.

“Melakukan kampanye dalam bentuk rapat umum, maksimal peserta 50% dari kapasitas lapangan, ini kewenangan Bawaslu untuk menghitung kapasitas,” imbuhnya. (Baca juga: Bawaslu Berharap Pilkada 2020 Tak Jadi Klaster Baru Penyebaran Covid-19)

Dalam konteks pelaksaaan pilkada di tengah pandemi, Abhan melanjutkan, butuh kreativitas paslon yang bisa menarik publik dengan tetap mempertimbangkan protokol Covid-19. Karena parameter pilkada yang aman ini tidak hanya bebas dari konflik, tapi juga agar Pilkada 2020 tidak menjadi klaster baru peneybaran Covid-19.

“Kita harus menjunjung tinggi kesejahteraan dan kesehatan masyarakat,” ucap Abhan. (Baca juga: Ketar-ketir karena Hacker, Data e-Rekap KPU Rawan Dibobol)

Abhan melanjutkan, pada dasarnya metode kampanye virtual sudah pernah dilakukan pada Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 dengan frekuensi yang dibatasi. Misalnya, masing-masing tim kampanye menggunakan maksimal 10 akun, dan di masing-masing platform medsos dibatasi berapa akun 5 atau10 akun. Pada Pilkada 2020 ini, akan dibuka ruang kampanye di ruang virtual dan ini menjadi tantangan bagi Bawaslu.

Namun Bawaslu telah membuat nota kesepahaman MoU dengan platform medsos yang ada di Indonesia, yakni Facebook, Twitter, Google, dan flatform lainnya. Inti kerja sama ini adalah Bawaslu bisa mereview kampanye dari paslon atau tim kampanye paslon yang diunggah apakah melanggar atau tidak. Bawaslu juga bisa meminta agar unggahan itu diturunkan.

“Kalau kami melihat kampanye ini ada pelanggaran maka kami akan menentukan atau menilai ini melanggar, kalau hasilnya melanggar kami meminta platform untuk mantakedown. Kalau bandel tidak mentake down maka akan kami laporkan ke Kominfo untuk izinnya di Indonesia dipertimbangkan,” bebernya.

Kemudian, Bawaslu juga bekerja sama dengan Cyber Crime Polri karena dalam pilkada pasti ada potensi pelanggaran siber yang tinggi. Sehingga, Bawaslu juga menunggu adanya PKPU yang mengatur secara teknis kampanye virtual, karena Bawaslu harus masuk ke akun-akun di tiap platform agar bisa melihat situasi, konten apa yang diunggah dan apakah ada pelanggaran hukum atau ujaran kebenciannya.

Abhan menambahkan, dalam UU Pilkada Nomor 10/2016 ada beberapa larangan dalam kampanye, negatif dan black campaign. Bawaslu tentu akan melihat per kasus nantinya apakah suatu kampanye itu masuk kategori black campaign atau negative campaign. Kalau memang black campaign ada ketentuan yang diatur dalam UU Pilkada maupun UU ITE.

“Seandainya tidak masuk UU Pilkada bisa masuk ke UU ITE, pidana umum. Tergantung per case nanti masuk unsur mana,” pungkasnya.
(thm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1038 seconds (0.1#10.140)