Mendesak: Revisi UU Hak Cipta (1)
loading...
A
A
A
Selanjutnya dalam Pasal 6 diuraikan tugas kedua LMKN (yang mewakili Pencipta dan yang mewakili Pihak Terkait), yakni: a. menyusun kode etik LMK di bidang lagu dan/atau musik; b. melakukan pengawasan terhadap LMK di bidang lagu dan/atau musik; c. memberikan rekomendasi kepada Menteri untuk menjatuhkan sanksi atas pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh pengurus LMK; d. memberikan rekomendasi kepada Menteri terkait dengan perizinan LMK di bidang lagu dan/atau musik yang berada di bawah koordinasinya; e. menetapkan sistem dan tata cara penghitungan pembayaran Royalti oleh Pengguna kepada LMK; f. menetapkan tata cara pendistribusian Royalti dan besaran Royalti untuk Pencipta, pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait; g. melakukan mediasi atas sengketa Hak Cipta dan Hak Terkait; h. memberikan laporan kinerja dan laporan keuangan kepada Menteri.
Pemenkumham No. 29 Tahun 2014 ini kemudian dianggap tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat, dan diganti dengan Permenkumham No. 36 Tahun 2018 tentang Tata Cara Permohonan dan penerbitan Izin Operasional Serta Evaluasi Lembaga Manajemen Kolektif.
Dalam Permenkumham yang baru, rumusan mengenai LMKN kemudian diubah menjadi: “Lembaga Manajemen Kolektif Nasional yang selanjutnya disingkat LMKN adalah lembaga bantu pemerintah non APBN yang mendapatkan kewenangan atribusi dari Undang-Undang Hak Cipra untuk menarik, menghimpun dan mendistribusikan Royalti serta mengelola kepentingan hak ekonomi Pencipta dan pemilik Hak Terkait di bidang lagu dan/atau musik.”
Rumusan yang sama muncul dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Rumusan itu ada di Pasal 1 Angka (11). Kata kuncinya: “lembaga bantu pemerintah non APBN” dan “kewenangan atribusi dari undang-undang”. Sekali lagi, menurut saya, sebaiknya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menyebutkan pasal mana dalam undang-undang yang memberikan kewenangan atribusi pembentukan LMKN itu.
Jika dilihat dari pasal-pasal mengenai LMKN, sekilas memang terlihat identik dengan LMK. Padahal, menurut PP No. 56 Tahun 2021, Pasal 12 Ayat (1) dan Ayat (2), LMKN ini selain melakukan penarikan Royalti dari Orang atau Pengguna secara komersial musik dan lagu untuk Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait yang telah menjadi anggota dari suatu LMK, ia juga berhak menarik Royalti untuk Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait yang belum menjadi anggota dari suatu LMK.
Jadi, LMK ini memang mirip LMK, tetapi kewenangannya diperluas. Maka, menurut saya, ke depan sebaiknya kemampuan menarik royalti dari Pencipta, pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait yang “belum” menjadi anggota dari suatu LMK tertentu inilah yang menjadi fokus dari LMKN. Sebab bagi mereka yang sudah menjadi anggota suatu LMK tertentu, maka organisasi itulah yang sudah diberi kewenangan menarik royaltinya. Selain itu, LMKN lebih berkonsentrasi untuk penarikan royalti lagu atau musik asing. Dengan demikian kebingungan bisa lebih dihindari (Bersambung).
Pemenkumham No. 29 Tahun 2014 ini kemudian dianggap tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat, dan diganti dengan Permenkumham No. 36 Tahun 2018 tentang Tata Cara Permohonan dan penerbitan Izin Operasional Serta Evaluasi Lembaga Manajemen Kolektif.
Dalam Permenkumham yang baru, rumusan mengenai LMKN kemudian diubah menjadi: “Lembaga Manajemen Kolektif Nasional yang selanjutnya disingkat LMKN adalah lembaga bantu pemerintah non APBN yang mendapatkan kewenangan atribusi dari Undang-Undang Hak Cipra untuk menarik, menghimpun dan mendistribusikan Royalti serta mengelola kepentingan hak ekonomi Pencipta dan pemilik Hak Terkait di bidang lagu dan/atau musik.”
Rumusan yang sama muncul dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Rumusan itu ada di Pasal 1 Angka (11). Kata kuncinya: “lembaga bantu pemerintah non APBN” dan “kewenangan atribusi dari undang-undang”. Sekali lagi, menurut saya, sebaiknya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menyebutkan pasal mana dalam undang-undang yang memberikan kewenangan atribusi pembentukan LMKN itu.
Jika dilihat dari pasal-pasal mengenai LMKN, sekilas memang terlihat identik dengan LMK. Padahal, menurut PP No. 56 Tahun 2021, Pasal 12 Ayat (1) dan Ayat (2), LMKN ini selain melakukan penarikan Royalti dari Orang atau Pengguna secara komersial musik dan lagu untuk Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait yang telah menjadi anggota dari suatu LMK, ia juga berhak menarik Royalti untuk Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait yang belum menjadi anggota dari suatu LMK.
Jadi, LMK ini memang mirip LMK, tetapi kewenangannya diperluas. Maka, menurut saya, ke depan sebaiknya kemampuan menarik royalti dari Pencipta, pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait yang “belum” menjadi anggota dari suatu LMK tertentu inilah yang menjadi fokus dari LMKN. Sebab bagi mereka yang sudah menjadi anggota suatu LMK tertentu, maka organisasi itulah yang sudah diberi kewenangan menarik royaltinya. Selain itu, LMKN lebih berkonsentrasi untuk penarikan royalti lagu atau musik asing. Dengan demikian kebingungan bisa lebih dihindari (Bersambung).
(wur)