FIFA dan Harga Diri Bangsa
loading...
A
A
A
Banyak pihak menyayangkan kejadian ini. Logikanya, event ini merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk turut dalam kegiatan internasional. Lagi pula, meski tidak lolos di tingkat Asia, Indonesia tetap memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam perebutan Piala Dunia di Grup A. Atas dasar pemikiran itupula, publik pantas merasa kecewa karena kehilangan kesempatan dalam event langka itu.
Merendahkan diri
Kendati demikian, suka atau tidak, selama ini prestasi sepakbola Indonesia masih jauh dari harapan sekalipun kesempatan itu terbuka lebar. Terdapat empat fakta penting ini mengapa kekecewaan publik tidak perlu berlarut-larut.
Pertama, penolakan keputusan FIFA mestinya tidak mempengaruhi kedaulatan bangsa yang merdeka dan berdaulat. Idealnya, Erick Thohir tak harus menjalankan misi yang tidak mungkin untuk mengurangi kekecewaan masyarakat. Bangsa ini mewarisi kebesaran semangat para leluhurnya dalam membangun harga diri dan warisan budaya yang besar pada masanya.
Kedua, argumentasi untuk memisahkan olahraga dan politik menyisakan beragam kesulitan karena politik melingkupi setiap aktivitas kelompok maupun langkah tokoh publik. Penolakan oleh sejumlah tokoh dan organisasi keagamaan dianggap sebagai bagian dari politik untuk menarik simpati publik. Mestinya penolakan itu tidak selalu dibaca secara politis alias ambisi kepentingan pribadi semata.
Ketiga, sepakbola adalah olahraga yang sangat populer. Dalam cabang olahraga lain, atlet Israel sempat turut bertanding di Indonesia tetapi tidak menuai kegaduhan seperti Piala Dunia. Karena popularitas itu, potensi gangguan secara ideologis dan politis akan selalu terbuka. Kasus radikalisme, terorisme, dan antisemit bukanlah wacana belaka. Inilah kasus kejahatan aktual yang dihadapi masyarakat pada masa sekarang ini.
Hal yang bisa dilakukan sekarang bukanlah menyesali dan melakukan diplomasi setegah mati terhadap organisasi dunia. Ada baiknya pemerintah Indonesia berbenah dengan kejadian ini. Adalah lebih penting melakukan evaluasi terhadap kemauan dan kemampuan di bidang olahraga sepakbola ketimbang mengemis-ngemis sesuatu yang tidak akan diberikan.
Merendahkan diri
Kendati demikian, suka atau tidak, selama ini prestasi sepakbola Indonesia masih jauh dari harapan sekalipun kesempatan itu terbuka lebar. Terdapat empat fakta penting ini mengapa kekecewaan publik tidak perlu berlarut-larut.
Pertama, penolakan keputusan FIFA mestinya tidak mempengaruhi kedaulatan bangsa yang merdeka dan berdaulat. Idealnya, Erick Thohir tak harus menjalankan misi yang tidak mungkin untuk mengurangi kekecewaan masyarakat. Bangsa ini mewarisi kebesaran semangat para leluhurnya dalam membangun harga diri dan warisan budaya yang besar pada masanya.
Kedua, argumentasi untuk memisahkan olahraga dan politik menyisakan beragam kesulitan karena politik melingkupi setiap aktivitas kelompok maupun langkah tokoh publik. Penolakan oleh sejumlah tokoh dan organisasi keagamaan dianggap sebagai bagian dari politik untuk menarik simpati publik. Mestinya penolakan itu tidak selalu dibaca secara politis alias ambisi kepentingan pribadi semata.
Ketiga, sepakbola adalah olahraga yang sangat populer. Dalam cabang olahraga lain, atlet Israel sempat turut bertanding di Indonesia tetapi tidak menuai kegaduhan seperti Piala Dunia. Karena popularitas itu, potensi gangguan secara ideologis dan politis akan selalu terbuka. Kasus radikalisme, terorisme, dan antisemit bukanlah wacana belaka. Inilah kasus kejahatan aktual yang dihadapi masyarakat pada masa sekarang ini.
Hal yang bisa dilakukan sekarang bukanlah menyesali dan melakukan diplomasi setegah mati terhadap organisasi dunia. Ada baiknya pemerintah Indonesia berbenah dengan kejadian ini. Adalah lebih penting melakukan evaluasi terhadap kemauan dan kemampuan di bidang olahraga sepakbola ketimbang mengemis-ngemis sesuatu yang tidak akan diberikan.
(ynt)