FIFA dan Harga Diri Bangsa

Sabtu, 01 April 2023 - 14:31 WIB
loading...
FIFA dan Harga Diri...
Saifur Rohman. FOTO/DOK SINDO
A A A
SAIFUR ROHMAN
Pengajar Program Doktor bidang Filsafat di Universitas Negeri Jakarta.

Banyak pihak menyayangkan keputusan FIFA yang mencabut status Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggaraan Piala Dunia U-20 pada Rabu (29/03) lalu. Keputusan itu menyusul polemik yang berkembang di tanah air.

Polemik dimaksud di antaranya diduga karena adanya penolakan sejumlah pihak yang tidak ingin kedatangan tim Israel di ajang perebutan Piala Dunia U-20 tersebut.

Kendati mencoret Indonesia dari daftar tuan rumah Piala Dunia U-20, dalam keterangan resminya FIFA menyatakan akan terus melakukan pendampingan terhadap persepakbolaan Indonesia yang sedang melakukan transformasi pasca tragedi Oktober 2022 lalu.

Kontroversi pembatalan tuan rumah itu pun lalu menuai tanya, bagaimana pemerintah menyikapi keputusan FIFA? Apa hubungan penolakan itu dengan harga diri dan politik kebangsaan kita?

Ajang olahraga internasional selama ini dianggap sebagai satu media promosi Indonesia sebagai negara-bangsa. Pendeknya, inilah fusi dari kebanggaan, kesenangan, hingga kepentingan politik sehingga tidak perlu mempermasalahkan berapa pun biaya yang dihabiskan.

Pada zaman Orde Lama, ekonomi Indonesia sempat ambruk akibat proyek mercusuar untuk mendanai penyelenggaraan Ganefo (Games of the New Emerging Forces) pada 1962. Ganefo adalah pesta olahraga negara-negara berkembang sebagai respons Presiden Soekarno atas dominasi politik negara-negara Barat dalam keputusan-keputusan keolahragaan.

Akibatnya, organisasi olahraga dunia melakukan skorsing untuk Indonesia sehingga tidak bisa mengikuti Olimpiade Musim Panas 1964 di Tokyo.

Beberapa tahun sebelumnya, Tim Indonesia pernah menolak bertanding dengan Israel pada 1958 dalam rangka kualifikasi Piala Dunia. Kendati pada saat itu konon peluang Indoneia sangat besar, Bung Karno tetap memerintahkan untuk penolakan.

Sebelumnya, Tim Indonesia menang atas China di leg pertama 2-0 dan kalah pada leg kedua 4-3. Jadi Tim Indonesia punya kesempatan dipertemukan dengan Israel yang menjadi juara di kualifikasi zona Asia Barat. Pada 1962 Bung Karno melarang Israel mengikuti Asian Games karena Israel dinilai sebagai penjajah Palestina.

Harga Diri Bangsa
Kasus ini membawa pelajaran penting tentang sikap yang diambil para pendiri bangsa terhadap olahraga yang tidak bisa dipisahkan dari politik. Bila direfleksikan pada kondisi sekarang, sikap penolakan itu persis berdiri dalam alur historis di atas.

Secara deskriptif, Piala Dunia U-20 ini melibatkan 24 tim dari enam konfederasi berbeda, yakni AFC (Asia), UEFA (Eropa), CONMEBOL (Amerika Selatan), CONCACAF (Amerika Utara, Tengah, dan Karibia), CAF (Afrika), dan OFC (Oseania).

Secara kronologis, wacana tuan rumah bagi Indoensia sudah berlangsung sejak empat tahun lalu. Hal itu diawali dalam pengumuman Presiden FIFA di Shanghai, China pada 24 November 2019. Keputusan Indonesia sebagai tuan rumah itu mengalahkan pesaingnya, yakni Brasil dan Peru.

Sejak saat itu, Pemerintah pun menyiapkan lapangan Stadion Jakabaring (Palembang, Sumatera Selatan), Stadion Utama Gelora Bung Karno (Jakarta), Stadion Si Jalak Harupat (Bandung, Jawa Barat), Stadion Manahan (Solo, Jawa Tengah), dan Stadion Kapten I Wayan Dipta (Gianyar, Bali).

Dalam proses perebutan tiket menjadi peserta piala dunia, pada 25 Juni 2022 Israel dinyatakan berhasil lolos ke Piala Dunia setelah Serbia kalah dari Austria melalui skor 2-3.

Saat itu Ketua Umum PSSI menjamin kehadiran Israel di Indonesia. Ini didukung oleh Menteri Pemuda dan Olahraga dengan argumentasi bahwa kita perlu memisahkan politik dan olahraga. Rencana penyelenggaraan itu makin menguat ketika Presiden FIFA Gianni Infantino bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka Jakarta, Selasa (18/10/2022) silam.

Akan tetapi, menjelang penyelenggaraan, pada 14 Maret 2023 Gubernur Bali I Wayan Koster menulis surat ke Menpora yang berisi penolakan untuk kedatangan Israel. Hal itu disusul oleh Gubernur Jateng Ganjar Pranowo yang turut serta menolak Israel.

Argumentasinya didasarkan pada pentingnya melestarikan ideologi Bung Karno. Penolakan itu semakin menguat ketika organisasi keagamaan, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut serta menolak. Ketika dikonfirmasi, Dubes Palestina untuk Indonesia sendiri tidak mempermasalahkan kehadiran Israel di Indonesia.

Atas dasar polemik yang muncul di atas, pihak PSSI pada Minggu (26/03) membatalkan agenda drawing pertandingan Piala Dunia yang sedianya akan dilakukan akhir bulan Maret. Alasannya, karena pihak FIFA sudah membatalkan agenda yang merupakan bagian penyelenggaraan event besar tersebut. FIFA berdalih bahwa Pemerintah ingkar janji dalam pemberian garansi untuk Israel.

Kendati kegagalan sudah di depan mata, pada detik-detik terakhir (29 Maret 2023) Presiden Joko Widodo memerintahkan Erick Thohir menemui Presiden FIA di Doha, Qatar. Pertemuan itu tetap saja tidak membuahkan hasil karena FIFA tetap mencabut status tuan rumah dan bermaksud memberikan sanksi terhadap PSSI.

Banyak pihak menyayangkan kejadian ini. Logikanya, event ini merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk turut dalam kegiatan internasional. Lagi pula, meski tidak lolos di tingkat Asia, Indonesia tetap memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam perebutan Piala Dunia di Grup A. Atas dasar pemikiran itupula, publik pantas merasa kecewa karena kehilangan kesempatan dalam event langka itu.

Merendahkan diri
Kendati demikian, suka atau tidak, selama ini prestasi sepakbola Indonesia masih jauh dari harapan sekalipun kesempatan itu terbuka lebar. Terdapat empat fakta penting ini mengapa kekecewaan publik tidak perlu berlarut-larut.

Pertama, penolakan keputusan FIFA mestinya tidak mempengaruhi kedaulatan bangsa yang merdeka dan berdaulat. Idealnya, Erick Thohir tak harus menjalankan misi yang tidak mungkin untuk mengurangi kekecewaan masyarakat. Bangsa ini mewarisi kebesaran semangat para leluhurnya dalam membangun harga diri dan warisan budaya yang besar pada masanya.

Kedua, argumentasi untuk memisahkan olahraga dan politik menyisakan beragam kesulitan karena politik melingkupi setiap aktivitas kelompok maupun langkah tokoh publik. Penolakan oleh sejumlah tokoh dan organisasi keagamaan dianggap sebagai bagian dari politik untuk menarik simpati publik. Mestinya penolakan itu tidak selalu dibaca secara politis alias ambisi kepentingan pribadi semata.

Ketiga, sepakbola adalah olahraga yang sangat populer. Dalam cabang olahraga lain, atlet Israel sempat turut bertanding di Indonesia tetapi tidak menuai kegaduhan seperti Piala Dunia. Karena popularitas itu, potensi gangguan secara ideologis dan politis akan selalu terbuka. Kasus radikalisme, terorisme, dan antisemit bukanlah wacana belaka. Inilah kasus kejahatan aktual yang dihadapi masyarakat pada masa sekarang ini.

Hal yang bisa dilakukan sekarang bukanlah menyesali dan melakukan diplomasi setegah mati terhadap organisasi dunia. Ada baiknya pemerintah Indonesia berbenah dengan kejadian ini. Adalah lebih penting melakukan evaluasi terhadap kemauan dan kemampuan di bidang olahraga sepakbola ketimbang mengemis-ngemis sesuatu yang tidak akan diberikan.
(ynt)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1616 seconds (0.1#10.140)