Hari Film Nasional dan Platform Educinema

Kamis, 30 Maret 2023 - 13:58 WIB
loading...
A A A
Bioskop tersebut hasil kolaborasi antara Pemprov DKI Jakarta melalui Perumda Pasar Jaya dengan PT Kreasi Anak Bangsa (Keana Films-Production) dan Badan Ekonomi Kreatif. Bioskop rakyat tersebut berkonsep “Educinema, Ruang Kreatif, Kuliner Indonesia”.

Pemprov DKI Jakarta harus terus berkolaborasi dengan para pemangku kepentingan untuk menghadirkan bioskop rakyat Indiskop lain di tiap wilayah Ibu Kota Jakarta. Pasar Jaya saat ini memiliki 153 pasar di berbagai lokasi strategis Jakarta dengan pengunjung harian sekitar 1-2 juta orang. Pada akhirnya, peran educinema oleh Indiskop membutuhkan platform digital. Seperti contohnya platform Svara yang mampu mendukung ekosistem industri film, musik, dan penyiaran.

Platform tersebut akan menghadirkan teknologi film dan aspek luasnya dalam genggaman. Sebuah keniscayaan menciptakan ekosistem film dengan teknologi digital yang lebih murah. Diharapkan setiap pemerintah daerah bergiat lagi membuat film-film dokumenter tentang budaya dan destinasi unggulan bekerja sama dengan BPI dan lembaga penyiaran publik (RRI dan TVRI). Apalagi kini RRI sudah punya platform RRI Play Go.

Potensi Besar Film Indonesia
Film merupakan produk bernilai tambah tinggi hasil kolaborasi berbagai jenis seni dan sinergi antarprofesi. Kondisi keberagaman di negeri ini adalah potensi besar bagi dunia film yang perlu sentuhan daya kreativitas sehingga menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi. Keragaman budaya adalah zamrud khatulistiwa yang tidak pernah habis jika dijadikan produk yang bernilai ekonomi.

Gedung bioskop mestinya tidak sekadar tempat menonton film. Perlu memperluas fungsi gedung bioskop menjadi pasar dan pelatihan industri kreatif utamanya produk seni dan budaya. Ekonomi kreatif akan terus tumbuh dan menimbulkan lapangan kerja yang luas. Untuk itu dibutuhkan tiga aspek, yakni daya imajinasi, kreativitas, dan inovasi. Jika ketiganya ditumbuhkan bisa menumbuhkan industri kreatif dengan cepat.

Presiden Joko Widodo pernah memperingatkan adanya perbedaan yang signifikan antara film berlatar sejarah dan budaya yang dibuat oleh Korsel dan Indonesia. Ada perbedaan seperti bumi dan langit terkait lembaga perfilman dan penyiaran di Korsel dibandingkan dengan kondisi di Tanah Air yang kondisinya sudah ketinggalan.

Presiden sempat kecewa kenapa Indonesia yang disebut sebagai zamrud khatulistiwa karena keindahan alam dan keragaman budaya, namun untuk pembuatan film sejarah dan drama saja masih belum mampu bersaing secara global. Presiden juga menyatakan bahwa film sejarah di Indonesia juga kerap dibuat sembarangan, tanpa memperhatikan detail. Bahkan, riset sejarah untuk membuat film tersebut dilakukan ala kadarnya.

Padahal Indonesia memiliki potensi sejarah dan budaya yang luar biasa yang terlihat dari eksistensi 148 keraton serta ribuan cerita dan kisah kepahlawanan. Namun belum ada film yang mampu jadi komoditas ekspor yang signifikan.

Kondisi sangat jauh berbeda dengan Munhwa Broadcasting Corporation (MBC) di Korsel yang mampu menjadikan potensi budaya Korsel diproduksi secara digital dengan production value sangat baik sehingga menjadi komoditas ekspor ke 100 negara. Drama televisi telah menjadi produk hiburan penting bagi rakyat Korsel. Produk ini menduduki peringkat pertama yang diekspor dari kluster industri penyiaran.

Drama populer adalah yang bersifat drama romantis dan drama sejarah. Drama-drama ini memperoleh sambutan luar biasa oleh warga dunia. Kebanyakan produksi ini mencapai 60 hingga 70 episode. Setiap episode berdurasi 50 menit. Harga produksi drama meningkat tahun demi tahun. Pada 2000 stasiun televisi Taiwan, Gala TV, membayar USD1.000 untuk tiap episode drama Korsel. Saat itu produksi yang sama dari Jepang berharga USD15.000 dan USD20.000. Dewasa ini harga tiap episode drama Korea mencapai USD6.000 hingga USD12.000.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1308 seconds (0.1#10.140)