Dehidrasi Demokrasi dan Politik
loading...
A
A
A
Jamsari
Pengamat Perilaku Politik, Alumni FISIP Universitas Muhammadiyah Malang
PENGELOLAAN anggaran politik Pemilu 2024 sejak tahap perencanaan, penguasaan hingga pertanggungjawaban, sudah seharusnya transparan, sehingga manfaatnya berdampak baik untuk pertumbuhan ekonomi masyarakat luas sebagaimana tertuang dalam Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Sumberdaya publik yang dikelola untuk melanjutkan jenjang demokratisasi menuju kematangan Demokrasi Pancasila dan bernegara hukum adalah akuntabilisasi, efisiensi, dan efektivitas menuju capaian kerja-kerja politik kebangsaan yang kredibel. Kini demokrasi kita masih mandek di tahap 'lato-lato' anggaran politik menuju Pemilu 2024, yaitu hampir minimalis transparansinya dan terdistorsi oleh isu-isu praksis politik, sehingga mengaburkan anggaran politik itu sendiri nyaris tanpa berita.
Akibatnya adalah tertutup tanpa ekspose, cenderung ke arah privatisasi kekuasaan yang memicu lahirnya kapitalisasi anggaran demokrasi oleh penguasa dan penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Pemilu 2024 sebentar lagi, pembiayaan dana politik yang bersumber dari negara atau tersalurkan oleh partai politik itu sendiri belum nampak menggelontor dan belum bisa dirasakan serapannya untuk sebagian besar masyarakat kita sebagaimana pesta demokrasi Pemilu 2019. Apakah disebabkan oleh pandemic effect Covid-19 atau sengaja keeped untuk agenda besar kekuasaan tersembunyi, yang salah satunya adalah kepentingan oligarki atau oknum lain dalam agenda Pemilu 14 Februari 2024? Publik sendiri hampir tergiring pada isu penundaan Pemilu pascagugatan Partai Prima dikabulkan oleh PN Jakarta Pusat dan makin ramai diperbincangkan.
Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, berbunyi: "Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dan dalam menyelenggarakan pemilu, penyelenggara pemilu harus melaksanakan Pemilu berdasarkan pada asas-asas sebagaimana dimaksud, dan penyelenggaraannya harus memenuhi prinsip: (a) mandiri; (b) jujur; (c) adil; (d) berkepastian hukum; (e) tertib; (f) terbuka; (g) proporsional; (h) profesional; (i) akuntabel; (j) efektif; dan (k) efisien".
Poin akuntabel, efektif, dan efisien, kita tahu, bahwa negara sudah menganggarkan Pemilu 2024 sebesar Rp76,6 triliun atau meningkat 199,34% dibandingkan pada Pemilu 2019 yang menghabiskan Rp25,59 triliun. Di mana letak transparansinya?
Kepentingan utama dana politik itu sesungguhnya adalah dana taktis negara untuk pengelolaan demokrasi dan politik yang salah satu keuntungan terbesarnya untuk memicu dan memacu pertumbuhan sumber daya ekonomi politik di negara ini pascapandemi sampai pada dampak termatrialisasi di kalangan masyarakat luas. Cost politic hari ini merupakan bagian dari anggaran demokrasi untuk mendewasakan rakyat kita berpikir dan bertindak secara politik yang bijak dalam rangka pemulihan ekonomi ke depan.
Artinya hukum itu untuk mencapai kehidupan yang paling baik (the best life possible) yang dapat dicapai dengan supremasi hukum sebagai wujud kebijaksanaan kolektif warga negara (collective wisdom), sehingga peran warga negara diperlukan dalam pembentukkannya.
Sementara, negara hukum Pancasila kita lebih dipahami sebagai negara hukum yang mendasarkan cita-citanya pada apa yang dikandung Pancasila. Sesuai dalam penjelasan UUD 1945 dikatakan; Pancasila merupakan cita hukum atau rechtsidee. Sebagai cita hukum, Pancasila berada pada posisi yang memayungi hukum dasar yang berlaku. Pancasila sebagai norma tertinggi yang menentukan dasar keabsahan (ligitimacy) suatu norma hukum dalam sistem norma hukum Republik Indonesia (Mahfud MD, 2008).
Seiring perkembangan zaman, gagasan negara hukum dan demokrasi di negara kita adalah bernegara dan perkembangan negara hukum, rule of law, rechtstaat, dan negara hukum Pancasila, unsur-unsur negara hukum dan demokrasi, pengaturan negara hukum dan demokrasi dalam UUD 1945 serta praktik negara hukum dan demokrasi di Indonesia.
Kini, isu demokrasi politik kita akhir-akhir ini cenderung menggunakan eksekusi supremasi hukum atau disebut politisasi hukum; kita lihat wacana penundaan pemilu kian santer setelah PN Jaksel mengabulkan gugatan Partai Prima pada KPU pada 8 Desember 2022 lalu dengan nomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, majelis hakim mengatakan; bahwa tahapan Pemilihan Umum tahun 2024 yang sudah berjalan harus dihentikan dan diulang dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari. Betapa kentalnya putusan tersebut dengan politik hingga menafikan akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi anggaran politik.
Secara makro, PN Jakarta Pusat kewenangannya terbatas untuk memeriksa, mengadili, memutuskan gugatan perdata yang dilayangkan Partai Prima. Kalau kita runut secara yuridiksinya, sesungguhnya yang memproses tuntutan Partai Prima adalah Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Produk hukum yang dipertentangkan Partai Prima adalah soal verifikasi administrasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu sebagai calon peserta kontestasi Pemilu yang akan sahkan oleh KPU.
Dasar argumentasinya adalah pasal 466 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, bahwa kasus Partai Prima ini soal sengketa proses pemilu sesuai rujukan pasal 468 dan pasal 470 Pemilu. Jadi yuridiksi hukumnya bukan PN melainkan Bawaslu. Santernya isu tersebut membuat publik bertanya-tanya apakah benar pemilu jadi dilaksanakan tahun 2024 atau ditunda tahun 2027?
Secara Konstitusi kewenangan putusan hukum UU Pemilu dan kewenangan putusan pengadilan sangat beda ranahnya. Apakah pemilu tetap diselenggarakan pada 14 Februari 2024 sebab putusan PN tersebut dinilai menyalahi langkah konstitusi? Kedua, apakah tergugat KPU berani tegas dan mengambil langkah untuk melanjutkan tahapan dan jadwal Pemilu 2024?
Satu sisi keputusan UU Pemilu harus dilaksanakan oleh KPU sesuai jadwal dan ketetapannya sesuai amanah konstitusi dan UU. Sisi lain, KPU juga harus mengantisipasi secara hukum akibat putusan PN tersebut apakah KPU akan mengajukan banding dan seterusnya? Ketiga, jika sudah ada putusan Pengadilan Tinggi atau kepastian hukum yang bisa membatalkan putusan PN tersebut maka titik terang Pemilu secara hukum sudah dapat dipastikan.
Selain transparansi anggaran Pemilu fenomena pematangan demokrasi yang didukung oleh kepastian hukum kini sedang diuji oleh ambiguitas ketetapan hukum itu sendiri. Jika mampu dilewati maka demokrasi akan semakin mapan dan hukum kita akan menjadi "panglima suci" demokrasi dalam Pemilu ke depan.
Hal ini merefleksikan deskripsi hukum dalam politik sebagai bentuk imunitas demokrasi. Hukum itu anti body kekebalan batang tubuh demokrasi dan politik (Pemilu) dengan para pesertanya (partai politik) terhadap keterwakilan aspirasi rakyat oleh kepentingan rakyat dalam Pemilu yang diselenggarakn oleh (KPU) serta bergulir secara Nasional sesuai mandat UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan juga UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang sudah ditentukan.
Korelasinya adalah hukum dan imunitas politik jadi bagan penting kedewasaan demokratisasi seiring berjalan dengan akuntabilitas, efektif, efisien anggaran politik yang sudah disepakati bersama secara Undang-undang.
Pertama, anggaran negara yang sudah disepakati untuk penyelenggaraan Pemilu 2024 sebesar Rp76,6 triliun apakah mampu terserap sepenuhnya baik bersifat konstitusional maupun berdampak pada kesejahteraan rakyatnya? Sedangkan arah Pemilu 2024 masih terkendala persoalan hukum saling gugat-menggugat antara pihak penyelenggara (KPU) dan Partai Prima yang belum ada kepastian ketetapan hukum mengikat.
Kedua, internal partai politik yang salah satunya dibantu oleh anggaran negara apakah sudah menyalurkan anggaran politik tersebut secara fungsi dan tujuanya hingga merata pada level-level kebijakan partai politik untuk kepentingan partai politik tersebut dan terserap kelapisan sosial masyarakat secara menyeluruh? Tentu muaranya anggaran politik adalah untuk kesejahteraan ekonomi rakyat yang melibatkan kepentingan-kepentingan politik.
Kata kuncinya dari pertanyaan di atas adalah jika anggaran politik tersebut tidak tersalurkan dengan baik untuk mencapai kehidupan yang paling baik (the best life possible), termasuk terjadinya kemandekan pergerakan ekonomi di tingkat lapisan masyarakat paling bawah dalam proses berdemokrasi (Pemilu) maka indikasi tersebut adalah gejala dehidrasi demokrasi politik.
Dalam ilmu kesehatan saat tubuh mengalami dehidrasi, darah cenderung menjadi lebih tebal sehingga menyebabkan tekanan darah tinggi dan saat tidak terkendali bisa menjadi penyebab serangan jantung dan stroke yang berakibat vatal.
Menebalnya ketidak-tranparansian anggaran politik dan menebalnya anggaran Pemilu 2024 (199,34%) atau tertundanya Pemilu di tahun 2027 mendatang adalah gejala serius dehidrasi demokrasi dan politik. Jika serapan dana anggaran politik tidak akuntabel, efisien, dan efektif serta tidak sampai ke dampak yang lebih baik dimasyarakat maka pertumbuhan ekonomi masyarakat kita akan mengalami penurunan daya kekuatan transaksi dan arus ekonomi bawah makin dipastikan melemah.
Jika terjadi hal buruk misalnya, Pemilu tertunda pada 2027 maka akan semakin absurd pertanggungjawaban anggaran politiknya dan bisa memperboros uang negara dalam belanja perencanaan tambahan anggaran Pemilu. Sebab sangat dimungkinkan kebutuhan Pemilu menuju dua tahun ke depan akan naik ongkos-ongkos politiknya.
Kendala menebalnya kemandekan Pemilu dan terjadinya pemborosan anggaran saat terjadi penundaan Pemilu tersebut maka akan berujung pada potensi kemunduran demokrasi dan stroke demokrasi yang berakibat pada "kematian" demokrasi yang disebut; dehidrasi demokrasi politik.
Demokrasi politik yang akuntabel, efektif, efisien adalah terwujudnya transparansi anggaran politik dan kokohnya supremasi hukum, atas keberanian KPU dalam mengambil langkah pasti, tunduk dan patuh pada konstitusi serta memberitakan keterbukaan informasi anggaran Pemilu terhadap publik termasuk langkah kepastian hukum Pemilu yang tetap akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024 atau ditunda pada Jauli 2027 mendatang.
Kini, publik sedang menanti KPU dalam mengambil langkah-langkah upaya hukum yang pasti dengan keterbukaan segala sisik-meliknya anggaran Pemilu 2024 yang akuntabel, efektif, efisien.
Pengamat Perilaku Politik, Alumni FISIP Universitas Muhammadiyah Malang
PENGELOLAAN anggaran politik Pemilu 2024 sejak tahap perencanaan, penguasaan hingga pertanggungjawaban, sudah seharusnya transparan, sehingga manfaatnya berdampak baik untuk pertumbuhan ekonomi masyarakat luas sebagaimana tertuang dalam Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Sumberdaya publik yang dikelola untuk melanjutkan jenjang demokratisasi menuju kematangan Demokrasi Pancasila dan bernegara hukum adalah akuntabilisasi, efisiensi, dan efektivitas menuju capaian kerja-kerja politik kebangsaan yang kredibel. Kini demokrasi kita masih mandek di tahap 'lato-lato' anggaran politik menuju Pemilu 2024, yaitu hampir minimalis transparansinya dan terdistorsi oleh isu-isu praksis politik, sehingga mengaburkan anggaran politik itu sendiri nyaris tanpa berita.
Akibatnya adalah tertutup tanpa ekspose, cenderung ke arah privatisasi kekuasaan yang memicu lahirnya kapitalisasi anggaran demokrasi oleh penguasa dan penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Pemilu 2024 sebentar lagi, pembiayaan dana politik yang bersumber dari negara atau tersalurkan oleh partai politik itu sendiri belum nampak menggelontor dan belum bisa dirasakan serapannya untuk sebagian besar masyarakat kita sebagaimana pesta demokrasi Pemilu 2019. Apakah disebabkan oleh pandemic effect Covid-19 atau sengaja keeped untuk agenda besar kekuasaan tersembunyi, yang salah satunya adalah kepentingan oligarki atau oknum lain dalam agenda Pemilu 14 Februari 2024? Publik sendiri hampir tergiring pada isu penundaan Pemilu pascagugatan Partai Prima dikabulkan oleh PN Jakarta Pusat dan makin ramai diperbincangkan.
Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, berbunyi: "Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dan dalam menyelenggarakan pemilu, penyelenggara pemilu harus melaksanakan Pemilu berdasarkan pada asas-asas sebagaimana dimaksud, dan penyelenggaraannya harus memenuhi prinsip: (a) mandiri; (b) jujur; (c) adil; (d) berkepastian hukum; (e) tertib; (f) terbuka; (g) proporsional; (h) profesional; (i) akuntabel; (j) efektif; dan (k) efisien".
Poin akuntabel, efektif, dan efisien, kita tahu, bahwa negara sudah menganggarkan Pemilu 2024 sebesar Rp76,6 triliun atau meningkat 199,34% dibandingkan pada Pemilu 2019 yang menghabiskan Rp25,59 triliun. Di mana letak transparansinya?
Kepentingan utama dana politik itu sesungguhnya adalah dana taktis negara untuk pengelolaan demokrasi dan politik yang salah satu keuntungan terbesarnya untuk memicu dan memacu pertumbuhan sumber daya ekonomi politik di negara ini pascapandemi sampai pada dampak termatrialisasi di kalangan masyarakat luas. Cost politic hari ini merupakan bagian dari anggaran demokrasi untuk mendewasakan rakyat kita berpikir dan bertindak secara politik yang bijak dalam rangka pemulihan ekonomi ke depan.
Demokrasi Hukum
Ide negara hukum para filsuf dari zaman Yunani Kuno, Plato (The Republic) sangat mungkin mewujudkan negara ideal untuk mencapai kebaikan yang berintikan kebaikan. Oleh karena itu kekuasaan harus dipegang oleh orang yang mengetahui kebaikan (the philosopher king). Sisi lain Plato (The Statesma dan The Law), Plato memilih bentuk paling baik kedua (The Second Best) yang menempatkan supremasi hukum.Artinya hukum itu untuk mencapai kehidupan yang paling baik (the best life possible) yang dapat dicapai dengan supremasi hukum sebagai wujud kebijaksanaan kolektif warga negara (collective wisdom), sehingga peran warga negara diperlukan dalam pembentukkannya.
Sementara, negara hukum Pancasila kita lebih dipahami sebagai negara hukum yang mendasarkan cita-citanya pada apa yang dikandung Pancasila. Sesuai dalam penjelasan UUD 1945 dikatakan; Pancasila merupakan cita hukum atau rechtsidee. Sebagai cita hukum, Pancasila berada pada posisi yang memayungi hukum dasar yang berlaku. Pancasila sebagai norma tertinggi yang menentukan dasar keabsahan (ligitimacy) suatu norma hukum dalam sistem norma hukum Republik Indonesia (Mahfud MD, 2008).
Seiring perkembangan zaman, gagasan negara hukum dan demokrasi di negara kita adalah bernegara dan perkembangan negara hukum, rule of law, rechtstaat, dan negara hukum Pancasila, unsur-unsur negara hukum dan demokrasi, pengaturan negara hukum dan demokrasi dalam UUD 1945 serta praktik negara hukum dan demokrasi di Indonesia.
Kini, isu demokrasi politik kita akhir-akhir ini cenderung menggunakan eksekusi supremasi hukum atau disebut politisasi hukum; kita lihat wacana penundaan pemilu kian santer setelah PN Jaksel mengabulkan gugatan Partai Prima pada KPU pada 8 Desember 2022 lalu dengan nomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, majelis hakim mengatakan; bahwa tahapan Pemilihan Umum tahun 2024 yang sudah berjalan harus dihentikan dan diulang dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari. Betapa kentalnya putusan tersebut dengan politik hingga menafikan akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi anggaran politik.
Secara makro, PN Jakarta Pusat kewenangannya terbatas untuk memeriksa, mengadili, memutuskan gugatan perdata yang dilayangkan Partai Prima. Kalau kita runut secara yuridiksinya, sesungguhnya yang memproses tuntutan Partai Prima adalah Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Produk hukum yang dipertentangkan Partai Prima adalah soal verifikasi administrasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu sebagai calon peserta kontestasi Pemilu yang akan sahkan oleh KPU.
Dasar argumentasinya adalah pasal 466 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, bahwa kasus Partai Prima ini soal sengketa proses pemilu sesuai rujukan pasal 468 dan pasal 470 Pemilu. Jadi yuridiksi hukumnya bukan PN melainkan Bawaslu. Santernya isu tersebut membuat publik bertanya-tanya apakah benar pemilu jadi dilaksanakan tahun 2024 atau ditunda tahun 2027?
Secara Konstitusi kewenangan putusan hukum UU Pemilu dan kewenangan putusan pengadilan sangat beda ranahnya. Apakah pemilu tetap diselenggarakan pada 14 Februari 2024 sebab putusan PN tersebut dinilai menyalahi langkah konstitusi? Kedua, apakah tergugat KPU berani tegas dan mengambil langkah untuk melanjutkan tahapan dan jadwal Pemilu 2024?
Satu sisi keputusan UU Pemilu harus dilaksanakan oleh KPU sesuai jadwal dan ketetapannya sesuai amanah konstitusi dan UU. Sisi lain, KPU juga harus mengantisipasi secara hukum akibat putusan PN tersebut apakah KPU akan mengajukan banding dan seterusnya? Ketiga, jika sudah ada putusan Pengadilan Tinggi atau kepastian hukum yang bisa membatalkan putusan PN tersebut maka titik terang Pemilu secara hukum sudah dapat dipastikan.
Selain transparansi anggaran Pemilu fenomena pematangan demokrasi yang didukung oleh kepastian hukum kini sedang diuji oleh ambiguitas ketetapan hukum itu sendiri. Jika mampu dilewati maka demokrasi akan semakin mapan dan hukum kita akan menjadi "panglima suci" demokrasi dalam Pemilu ke depan.
Imunitas Demokrasi dan Politik
Hukum dan politik adalah dua produk undang-undang yang saling berkesinambungan sebab produk hukum dihasilkan dari proses politik dan politik menjalankan perannya berdasarkan putusan-putusan hukum.Hal ini merefleksikan deskripsi hukum dalam politik sebagai bentuk imunitas demokrasi. Hukum itu anti body kekebalan batang tubuh demokrasi dan politik (Pemilu) dengan para pesertanya (partai politik) terhadap keterwakilan aspirasi rakyat oleh kepentingan rakyat dalam Pemilu yang diselenggarakn oleh (KPU) serta bergulir secara Nasional sesuai mandat UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan juga UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang sudah ditentukan.
Korelasinya adalah hukum dan imunitas politik jadi bagan penting kedewasaan demokratisasi seiring berjalan dengan akuntabilitas, efektif, efisien anggaran politik yang sudah disepakati bersama secara Undang-undang.
Pertama, anggaran negara yang sudah disepakati untuk penyelenggaraan Pemilu 2024 sebesar Rp76,6 triliun apakah mampu terserap sepenuhnya baik bersifat konstitusional maupun berdampak pada kesejahteraan rakyatnya? Sedangkan arah Pemilu 2024 masih terkendala persoalan hukum saling gugat-menggugat antara pihak penyelenggara (KPU) dan Partai Prima yang belum ada kepastian ketetapan hukum mengikat.
Kedua, internal partai politik yang salah satunya dibantu oleh anggaran negara apakah sudah menyalurkan anggaran politik tersebut secara fungsi dan tujuanya hingga merata pada level-level kebijakan partai politik untuk kepentingan partai politik tersebut dan terserap kelapisan sosial masyarakat secara menyeluruh? Tentu muaranya anggaran politik adalah untuk kesejahteraan ekonomi rakyat yang melibatkan kepentingan-kepentingan politik.
Kata kuncinya dari pertanyaan di atas adalah jika anggaran politik tersebut tidak tersalurkan dengan baik untuk mencapai kehidupan yang paling baik (the best life possible), termasuk terjadinya kemandekan pergerakan ekonomi di tingkat lapisan masyarakat paling bawah dalam proses berdemokrasi (Pemilu) maka indikasi tersebut adalah gejala dehidrasi demokrasi politik.
Dalam ilmu kesehatan saat tubuh mengalami dehidrasi, darah cenderung menjadi lebih tebal sehingga menyebabkan tekanan darah tinggi dan saat tidak terkendali bisa menjadi penyebab serangan jantung dan stroke yang berakibat vatal.
Menebalnya ketidak-tranparansian anggaran politik dan menebalnya anggaran Pemilu 2024 (199,34%) atau tertundanya Pemilu di tahun 2027 mendatang adalah gejala serius dehidrasi demokrasi dan politik. Jika serapan dana anggaran politik tidak akuntabel, efisien, dan efektif serta tidak sampai ke dampak yang lebih baik dimasyarakat maka pertumbuhan ekonomi masyarakat kita akan mengalami penurunan daya kekuatan transaksi dan arus ekonomi bawah makin dipastikan melemah.
Jika terjadi hal buruk misalnya, Pemilu tertunda pada 2027 maka akan semakin absurd pertanggungjawaban anggaran politiknya dan bisa memperboros uang negara dalam belanja perencanaan tambahan anggaran Pemilu. Sebab sangat dimungkinkan kebutuhan Pemilu menuju dua tahun ke depan akan naik ongkos-ongkos politiknya.
Kendala menebalnya kemandekan Pemilu dan terjadinya pemborosan anggaran saat terjadi penundaan Pemilu tersebut maka akan berujung pada potensi kemunduran demokrasi dan stroke demokrasi yang berakibat pada "kematian" demokrasi yang disebut; dehidrasi demokrasi politik.
Demokrasi politik yang akuntabel, efektif, efisien adalah terwujudnya transparansi anggaran politik dan kokohnya supremasi hukum, atas keberanian KPU dalam mengambil langkah pasti, tunduk dan patuh pada konstitusi serta memberitakan keterbukaan informasi anggaran Pemilu terhadap publik termasuk langkah kepastian hukum Pemilu yang tetap akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024 atau ditunda pada Jauli 2027 mendatang.
Kini, publik sedang menanti KPU dalam mengambil langkah-langkah upaya hukum yang pasti dengan keterbukaan segala sisik-meliknya anggaran Pemilu 2024 yang akuntabel, efektif, efisien.
(abd)