Mengungkap Polarisasi (di Jakarta)
loading...
A
A
A
Mengukur Polarisasi
Dalam ilmu sosial, polarisasi relatif dapat diukur. Pengukuran ini tergantung pada variabel yang digunakan serta faktor penyebab. Polarisasi memiliki berbagai bentuk, antara lain polarisasi politik, polarisasi sosial, polarisasi ekonomi, polarisasi agama, dan sebagainya (Bauer, 2019).
Intinya masyarakat dapat mengalami polarisasi ketika ada dua entitas yang menarik para warga/pendukung ke dalam salah satu entitas tersebut sebagai polar (kutub). Ada dua faktor yang dapat dimasukkan ke dalam model pengukuran polarisasi.
Pertamaadalah faktoraffectionatau kesukaan terhadap satu tokoh, partai politik, atau pemikiran (Iyengar et al. 2019). Ketika seseorang suka terhadap satu tokoh, partai politik, atau pemikiran, maka orang tersebut sudah bergabung ke dalam satu kutub. Tapi itu belum cukup membentuk polarisasi. Karena polarisasi selalu ditandai oleh resistensi atau penolakan antara satu kutub dengan kutub lainnya (Abramowitz dan McCoy, 2019). Karena itu faktor kedua pengukuran polarisasi adalahresentment(ketidaksukaan).
Dalam kerangka sosiologis, faktor ketidaksukaan ini terjadi antara para pendukung tokoh, partai politik, dan pemikiran yang berseberangan. Kenapa? Karena di situlah pembelahan sosial itu terjadi. Pembelahan antarteman, tetangga, saudara, dan sebagainya. Pengukuran dua faktor ini dapat menghasilkan dua kurva polarisasi.
Kurva pertama berbentuk huruf “U” yang menandakan terjadinya polarisasi sempurna karena semua warga berada pada salah satu kutub. Kurva kedua berbentuk huruf “U terbalik” yang artinya mayoritas masyarakat berada di tengah atau zona netral. Kondisi ini menandakan tidak terjadinya polarisasi.
Polarisasi di Jakarta
Dengan menggunakan model pengukuran di atas, kami melakukan studi kecil untuk mengukur polarisasi di Jakarta. Dua alasan mengapa Jakarta.Pertama, selama ini Jakarta dianggap sebagai episentrum polarisasi sebagai akibat kontestasi politik pasca-Pemilihan Gubernur DKI 2017.
Kedua, faktor penyebab polarisasi di Jakarta relatif dapat diidentifikasi, yakni antara sosok Anies R Baswedanvis-à-visBasuki T Purnama dan Joko Widodo. Kedua pihak ini dianggap mewakili ideologi, pemikiran, dan arah kebijakan yang cenderung berseberangan.
Untuk mengukur polarisasi antara dua kutub politik ini, kami melakukan survei dengan menggunakan instrumen sederhana dengan dua pertanyaan: (1) sejauh mana Anda suka dengan salah satu tokoh/pasangan tokoh politik dan (2) sejauh mana ketidaksukaan Anda dengan pendukung tokoh/pasangan tokoh yang berseberangan?
Dengan bekerja sama dengan Indikator Politik Indonesia, survei kami lakukan di Jakarta dari tanggal 26 Januari hingga 4 Februari. Survei dilakukan melalui telepon di mana responden dipilih melaluistratified random samplingsebanyak 800 orang. Jumlah responden di setiap kecamatan disesuaikan dengan proporsi total populasi Jakarta.
Metode ini menghasilkan pengukuran dengan tingkatconfidence95% danmargin of errorsebesar ± 3,5%. Dari pengukuran faktoraffectiondanresentment, kita mendapatkan satu kurva di mana 83% responden berada di titik nol. Ini adalah zona netral di mana seseorang mungkin saja suka dengan salah satu pihak, tetapi tanpa rasa ketidaksukaan dengan pendukung pihak yang lainnya.
Dalam ilmu sosial, polarisasi relatif dapat diukur. Pengukuran ini tergantung pada variabel yang digunakan serta faktor penyebab. Polarisasi memiliki berbagai bentuk, antara lain polarisasi politik, polarisasi sosial, polarisasi ekonomi, polarisasi agama, dan sebagainya (Bauer, 2019).
Intinya masyarakat dapat mengalami polarisasi ketika ada dua entitas yang menarik para warga/pendukung ke dalam salah satu entitas tersebut sebagai polar (kutub). Ada dua faktor yang dapat dimasukkan ke dalam model pengukuran polarisasi.
Pertamaadalah faktoraffectionatau kesukaan terhadap satu tokoh, partai politik, atau pemikiran (Iyengar et al. 2019). Ketika seseorang suka terhadap satu tokoh, partai politik, atau pemikiran, maka orang tersebut sudah bergabung ke dalam satu kutub. Tapi itu belum cukup membentuk polarisasi. Karena polarisasi selalu ditandai oleh resistensi atau penolakan antara satu kutub dengan kutub lainnya (Abramowitz dan McCoy, 2019). Karena itu faktor kedua pengukuran polarisasi adalahresentment(ketidaksukaan).
Dalam kerangka sosiologis, faktor ketidaksukaan ini terjadi antara para pendukung tokoh, partai politik, dan pemikiran yang berseberangan. Kenapa? Karena di situlah pembelahan sosial itu terjadi. Pembelahan antarteman, tetangga, saudara, dan sebagainya. Pengukuran dua faktor ini dapat menghasilkan dua kurva polarisasi.
Kurva pertama berbentuk huruf “U” yang menandakan terjadinya polarisasi sempurna karena semua warga berada pada salah satu kutub. Kurva kedua berbentuk huruf “U terbalik” yang artinya mayoritas masyarakat berada di tengah atau zona netral. Kondisi ini menandakan tidak terjadinya polarisasi.
Polarisasi di Jakarta
Dengan menggunakan model pengukuran di atas, kami melakukan studi kecil untuk mengukur polarisasi di Jakarta. Dua alasan mengapa Jakarta.Pertama, selama ini Jakarta dianggap sebagai episentrum polarisasi sebagai akibat kontestasi politik pasca-Pemilihan Gubernur DKI 2017.
Kedua, faktor penyebab polarisasi di Jakarta relatif dapat diidentifikasi, yakni antara sosok Anies R Baswedanvis-à-visBasuki T Purnama dan Joko Widodo. Kedua pihak ini dianggap mewakili ideologi, pemikiran, dan arah kebijakan yang cenderung berseberangan.
Untuk mengukur polarisasi antara dua kutub politik ini, kami melakukan survei dengan menggunakan instrumen sederhana dengan dua pertanyaan: (1) sejauh mana Anda suka dengan salah satu tokoh/pasangan tokoh politik dan (2) sejauh mana ketidaksukaan Anda dengan pendukung tokoh/pasangan tokoh yang berseberangan?
Dengan bekerja sama dengan Indikator Politik Indonesia, survei kami lakukan di Jakarta dari tanggal 26 Januari hingga 4 Februari. Survei dilakukan melalui telepon di mana responden dipilih melaluistratified random samplingsebanyak 800 orang. Jumlah responden di setiap kecamatan disesuaikan dengan proporsi total populasi Jakarta.
Metode ini menghasilkan pengukuran dengan tingkatconfidence95% danmargin of errorsebesar ± 3,5%. Dari pengukuran faktoraffectiondanresentment, kita mendapatkan satu kurva di mana 83% responden berada di titik nol. Ini adalah zona netral di mana seseorang mungkin saja suka dengan salah satu pihak, tetapi tanpa rasa ketidaksukaan dengan pendukung pihak yang lainnya.