Mengungkap Polarisasi (di Jakarta)

Senin, 13 Maret 2023 - 09:41 WIB
loading...
Mengungkap Polarisasi (di Jakarta)
Sulfikar Amir. FOTO/DOK SINDO
A A A
Sulfikar Amir
Associate Professor Bidang Sosiologi, Nanyang Technological University, Singapura

Polarisasi adalah fenomena sosial yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Terbelahnya suatu bangsa sebagai konsekuensi polarisasi sudah terbukti terjadi di beberapa negara.

Biasanya polarisasi cenderung merebak di negara demokratis yang menganut sistem dua partai seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Di negara-negara tersebut, kuatnya asosiasi warga kepada partai politik ternyata dapat memunculkan polarisasi ketika muncul isu-isu di mana kedua kelompok saling berbeda pandangan (Westfall et al, 2015).

Sebagai contoh, di Amerika Serikat ketika Donald Trump berkuasa. Juga di Inggris di mana masyarakat mereka terbelah antara yang pro dan kontra-Brexit.

Dalam kondisi demikian, polarisasi berujung pada ketidaksukaan satu kelompok dengan kelompok yang lain (Barber et al, 2015). Masyarakat akhirnya terbelah secara sosial dan ketidaksukaan ini termanifestasi dalam perilaku sehari-hari.

Narasi Polarisasi
Di Indonesia, kekhawatiran akan polarisasi menjadi semakin kuat akhir-akhir ini. Hampir setiap hari kita mendengar narasi polarisasi digaungkan oleh banyak pihak. Mulai dari pembicaraan di media sosial, diskusi dan debat antara pengamat politik dan politisi di televisi dan kanal videoonline, hingga pidato Presiden Joko Widodo.

Kekhawatiran akan polarisasi di Indonesia tidak lepas dari tensi politik yang semakin tinggi khususnya antara kelompok yang senantiasa mengkritik Joko Widodo dan kelompok yang tidak pernah kehabisan waktu untuk membela dan memuji setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah Joko Widodo.

Karena itu wajar rasanya jika banyak pihak yang selalu mengingatkan dampak polarisasi yang mereka percaya sedang terjadi saat ini. Masalahnya apakah polarisasi itu benar-benar sedang terjadi? Jika polarisasi memang sedang membelah bangsa Indonesia, bagaimana caranya kita mengukur pembelahan ini?

Ada dua alasan mengapa pertanyaan yang sangat fundamental ini harus dijawab.Pertama, selama ini narasi polarisasi cenderung bersifat dugaan dan asumsi tanpa basis bukti empirik. Yang selalu dipakai adalah peristiwa-peristiwa anekdotal yang tidak merefleksikan fenomena polarisasi secara sistemik. Tanpa basis empirik yang terukur, maka narasi polarisasi cuma isapan jempol yang menunjukkan kualitas debat politik yang buruk.

Kedua, yang lebih penting lagi, jika kita bisa mengetahui dengan pasti adanya polarisasi, maka kita dapat menyiapkan cara untuk memitigasinya.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1985 seconds (0.1#10.140)