Jangan sampai Besar Pasak daripada Tiang
loading...
A
A
A
Madeleine Hart Filiapuspa
Ekonom Junior Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali
Sedikitnya dua dari lima pelangganBuy Now Pay Laterdi Inggris melakukan pinjaman untuk membayar tagihanBuy Now Pay Later-nya. Hasil studi ini dikemukakan oleh Citizens Advice pada Juni 2022.
FenomenaBuy Now Pay Laternyatanya terus berkembang di masyarakat, termasuk Indonesia. MenurutBusinesswire, trenBuy Now Pay Laterdiperkirakan tumbuh 22,9% secara tahunan pada 2023. Tentunya, hal ini merupakan sebuah inovasi pada metode pembayaran yang juga mendukung tercapainya keuangan inklusif.
Terobosan ini perlu disikapi secara bijak agar tepat sasaran dan berdampak positif pada perekonomian Indonesia. Namun, apakah kita sudah siap untuk menyambut metode pembayaran di era digital ini?
Berdasarkan penelitian dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) terkait Profil Internet Indonesia 2022, menarik bahwa ternyata tingkat penetrasi internet di Indonesia kini meningkat menjadi 77,02% dari sebelumnya 73,70%.
Konten yang sangat sering diakses adalah media sosial (89,15%). Temuan lainnya, kontenshopping onlinediakses oleh21,26% dan aplikasi dompet elektronik 1,37%.
Angka ini tentu merupakan peluang emas untuk masuk ke era digital di berbagai aspek kehidupan, khususnya pada sistem dan metode pembayaran. Terlebih sistem pembayaran Indonesia terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Selain itu, kanal pembayaran secara digital juga terus dikembangkan ke berbagai sektor, tidak terkecuali transaksi pemerintah daerah.
Dalam hal ini, Bank Indonesia (BI) terus mendukung upaya pemerintah dalam mempercepat dan memperluas digitalisasi daerah. Itu terwujud dengan keanggotaan BI dalam Satuan Tugas Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (Satgas P2DD).
Berbagai inisiatif terus diluncurkan, termasuk melalui ekstensifikasi kanal pembayaran transaksi untuk mempercepat dan memperluas digitalisasi di tingkat daerah. Seiring berjalannya waktu, diharapkan masyarakat akan terus semakin siap dan berkembang menggunakan sistem pembayaran digital.
Tak dapat dimungkiri, kanal pembayaran digital memberikan manfaat dan kemudahan yang memanjakan penggunanya. Bahkan, kini melakukan pembayaran semudah menambahkan teman di sosial media. Hanya dengan 1 sentuhan, melaluiQuick Response Code(QRCode), misalnya.
QRcodemuncul di saat yang tepat menjelang pandemi Covid-19. Dan pendemi menjadi akselerator dalam sistem pembayaran di Indonesia.
Masih teringat bagaimana maraknya promo yang diberikan saat metode QR baru diluncurkan? Tanpa butuh waktu lama, masyarakat yang sebelumnya masih berpegang sepenuhnya pada uangcashperlahan bergeser menggunakan QRcode.
Metode QRcodemenjadi salah satu senjata untuk mencapai keuangan inklusif yang dapat memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi, baik lokal maupun nasional.
QRcodedapat menyasar seluruh kalangan, baik dari masyarakat yang sudah mengenal bank maupun belum mengenal (biasa kita kenal dengan istilahunbanked). Berbagai QRcodeyang bermunculan kemudian distandardisasi oleh BI menggunakan QRIS (Quick ResponseCode Indonesian Standard) (dibaca: KRIS).
Tidak berhenti di situ, masyarakat kemudian ditawarkan ke metode pembayaran kemudian hari atau biasa kita kenal dengan istilahpay later. Berbagai promo yang sebelumnya diberikan untuk pembayaran QR juga dirasakan penggunapay later.
Metodepay latersebenarnya tidak sepenuhnya baru. Metode ini serupa dengan pembayaran menggunakan kartu kredit yang sudah sejak lama kita kenal, yakni seperti metode ‘berutang’.Pay laterjuga menawarkan opsi pembayaran dengan cara dicicil. Serupa tapi tak sama.
Salah satu perbedaannya terletak pada proses pengajuan menjadi nasabah. Pada kartu kredit, ada persyaratan lain yang dibutuhkan selain KTP, seperti slip gaji misalnya. Tentunya hal ini adalah bagian dari manajemen risiko yang dilakukan oleh perbankan.
Berbeda dengan kartu kredit, penggunapay latertidak harus memiliki suatu rekening khusus untuk dapat menikmati fiturpay laterpada penyedia jasa pembayaran non-bank. Namun, untuk dapat menggunakan fitur cicilan dipay later, ada kriteria khusus yang harus dipenuhi oleh pengguna. Lagi-lagi, hal ini merupakan bagian untuk melakukan manajemen risiko.
Di tataran teknis, kartu kredit menggunakan kartu untuk melakukan transaksi, sedangkanpay latercukup dengan melakukan pemindaian QRcodesaja.
Beragam kemudahan ini tentu perlu diimbangi kesiapan masyarakat agar terhindar dari risiko yang akan terjadi. Bayangkan saja, seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa sedikitnya dua dari lima pelanggan di Inggris melakukan peminjaman untuk melunasi tagihanpay later.
Model ini tak ubahnya seperti gali lubang tutup lubang. Maka, fenomena ini perlu kita waspadai bersama agar tidak terjadi di Indonesia. Apalagi, bila peminjaman tersebut akan dilakukan di pinjaman ilegal.
Risiko gali lubang tutup lubang dan gagal bayar mungkin saja terjadi akibat pengeluaran lebih besar daripada penghasilan. Apalagi, apabila ‘utang’ tersebut hanya untuk memenuhi gaya hidup dan tak sanggup membayarnya.
Harus diperhatikan bahwa metode pembayaranpay lateradalah salah satu cara pembayaran, bukan sebagai ‘uang tambahan’. Hal ini yang perlu menjadi fokus bersama agar metode pembayaran yang ada menjadi tepat sasaran dan dapat digunakan secara bijak.
Sosialisasi dan edukasi tentu menjadi satu hal yang harus terus menerus dilakukan baik oleh otoritas, swasta, serta masyarakat itu sendiri. Tidak cukup hanya sosialisasi mengenai pentingnya mengatur keuangan, namun juga pentingnya menjaga privasi data agar terhindar dari kejahatan sepertiscam,phising, dan lainnya.
Dalam jangka pendek, sosialisasi yang masif dan terus menerus dapat dilakukan oleh berbagai pihak, misalnya melalui media sosial. Hal ini dimungkinkan terjadi mengingat konten media sosial adalah konten yang paling banyak dibuka oleh masyarakat. Dalam jangka panjang, sosialisasi sejak dini dapat dilakukan dengan memasukkan masalah inklusi keuangan pada materi pelajaran di sekolah.
Lantas, sudah siapkan kita masuk ke era digital? Jika dilihat secara inovasi, adanya berbagai sistem pembayaran ini merupakan hal yang sangat baik dalam mencapai inklusi keuangan ke seluruh masyarakat Indonesia. Dari situ diharapkan akan menjadi dasar untuk melakukan peminjaman, investasi, dan asuransi yang ketiganya membutuhkan metode pembayaran untuk mengimplementasikannya.
Nah, pekerjaan rumah kita berikutnya adalah perlunya saling mengingatkan agar tetap bijak dalam menggunakan inovasi metode pembayaran yang ada. Jangan sampai kita terjerumus seperti pada istilah ‘besar pasak daripada tiang’.
*Tulisan ini adalah pandangan pribadi dan tidak mewakili lembaga tempat bekerja
Ekonom Junior Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali
Sedikitnya dua dari lima pelangganBuy Now Pay Laterdi Inggris melakukan pinjaman untuk membayar tagihanBuy Now Pay Later-nya. Hasil studi ini dikemukakan oleh Citizens Advice pada Juni 2022.
FenomenaBuy Now Pay Laternyatanya terus berkembang di masyarakat, termasuk Indonesia. MenurutBusinesswire, trenBuy Now Pay Laterdiperkirakan tumbuh 22,9% secara tahunan pada 2023. Tentunya, hal ini merupakan sebuah inovasi pada metode pembayaran yang juga mendukung tercapainya keuangan inklusif.
Terobosan ini perlu disikapi secara bijak agar tepat sasaran dan berdampak positif pada perekonomian Indonesia. Namun, apakah kita sudah siap untuk menyambut metode pembayaran di era digital ini?
Berdasarkan penelitian dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) terkait Profil Internet Indonesia 2022, menarik bahwa ternyata tingkat penetrasi internet di Indonesia kini meningkat menjadi 77,02% dari sebelumnya 73,70%.
Konten yang sangat sering diakses adalah media sosial (89,15%). Temuan lainnya, kontenshopping onlinediakses oleh21,26% dan aplikasi dompet elektronik 1,37%.
Angka ini tentu merupakan peluang emas untuk masuk ke era digital di berbagai aspek kehidupan, khususnya pada sistem dan metode pembayaran. Terlebih sistem pembayaran Indonesia terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Selain itu, kanal pembayaran secara digital juga terus dikembangkan ke berbagai sektor, tidak terkecuali transaksi pemerintah daerah.
Dalam hal ini, Bank Indonesia (BI) terus mendukung upaya pemerintah dalam mempercepat dan memperluas digitalisasi daerah. Itu terwujud dengan keanggotaan BI dalam Satuan Tugas Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (Satgas P2DD).
Berbagai inisiatif terus diluncurkan, termasuk melalui ekstensifikasi kanal pembayaran transaksi untuk mempercepat dan memperluas digitalisasi di tingkat daerah. Seiring berjalannya waktu, diharapkan masyarakat akan terus semakin siap dan berkembang menggunakan sistem pembayaran digital.
Tak dapat dimungkiri, kanal pembayaran digital memberikan manfaat dan kemudahan yang memanjakan penggunanya. Bahkan, kini melakukan pembayaran semudah menambahkan teman di sosial media. Hanya dengan 1 sentuhan, melaluiQuick Response Code(QRCode), misalnya.
QRcodemuncul di saat yang tepat menjelang pandemi Covid-19. Dan pendemi menjadi akselerator dalam sistem pembayaran di Indonesia.
Masih teringat bagaimana maraknya promo yang diberikan saat metode QR baru diluncurkan? Tanpa butuh waktu lama, masyarakat yang sebelumnya masih berpegang sepenuhnya pada uangcashperlahan bergeser menggunakan QRcode.
Metode QRcodemenjadi salah satu senjata untuk mencapai keuangan inklusif yang dapat memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi, baik lokal maupun nasional.
QRcodedapat menyasar seluruh kalangan, baik dari masyarakat yang sudah mengenal bank maupun belum mengenal (biasa kita kenal dengan istilahunbanked). Berbagai QRcodeyang bermunculan kemudian distandardisasi oleh BI menggunakan QRIS (Quick ResponseCode Indonesian Standard) (dibaca: KRIS).
Tidak berhenti di situ, masyarakat kemudian ditawarkan ke metode pembayaran kemudian hari atau biasa kita kenal dengan istilahpay later. Berbagai promo yang sebelumnya diberikan untuk pembayaran QR juga dirasakan penggunapay later.
Metodepay latersebenarnya tidak sepenuhnya baru. Metode ini serupa dengan pembayaran menggunakan kartu kredit yang sudah sejak lama kita kenal, yakni seperti metode ‘berutang’.Pay laterjuga menawarkan opsi pembayaran dengan cara dicicil. Serupa tapi tak sama.
Salah satu perbedaannya terletak pada proses pengajuan menjadi nasabah. Pada kartu kredit, ada persyaratan lain yang dibutuhkan selain KTP, seperti slip gaji misalnya. Tentunya hal ini adalah bagian dari manajemen risiko yang dilakukan oleh perbankan.
Berbeda dengan kartu kredit, penggunapay latertidak harus memiliki suatu rekening khusus untuk dapat menikmati fiturpay laterpada penyedia jasa pembayaran non-bank. Namun, untuk dapat menggunakan fitur cicilan dipay later, ada kriteria khusus yang harus dipenuhi oleh pengguna. Lagi-lagi, hal ini merupakan bagian untuk melakukan manajemen risiko.
Di tataran teknis, kartu kredit menggunakan kartu untuk melakukan transaksi, sedangkanpay latercukup dengan melakukan pemindaian QRcodesaja.
Beragam kemudahan ini tentu perlu diimbangi kesiapan masyarakat agar terhindar dari risiko yang akan terjadi. Bayangkan saja, seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa sedikitnya dua dari lima pelanggan di Inggris melakukan peminjaman untuk melunasi tagihanpay later.
Model ini tak ubahnya seperti gali lubang tutup lubang. Maka, fenomena ini perlu kita waspadai bersama agar tidak terjadi di Indonesia. Apalagi, bila peminjaman tersebut akan dilakukan di pinjaman ilegal.
Risiko gali lubang tutup lubang dan gagal bayar mungkin saja terjadi akibat pengeluaran lebih besar daripada penghasilan. Apalagi, apabila ‘utang’ tersebut hanya untuk memenuhi gaya hidup dan tak sanggup membayarnya.
Harus diperhatikan bahwa metode pembayaranpay lateradalah salah satu cara pembayaran, bukan sebagai ‘uang tambahan’. Hal ini yang perlu menjadi fokus bersama agar metode pembayaran yang ada menjadi tepat sasaran dan dapat digunakan secara bijak.
Sosialisasi dan edukasi tentu menjadi satu hal yang harus terus menerus dilakukan baik oleh otoritas, swasta, serta masyarakat itu sendiri. Tidak cukup hanya sosialisasi mengenai pentingnya mengatur keuangan, namun juga pentingnya menjaga privasi data agar terhindar dari kejahatan sepertiscam,phising, dan lainnya.
Dalam jangka pendek, sosialisasi yang masif dan terus menerus dapat dilakukan oleh berbagai pihak, misalnya melalui media sosial. Hal ini dimungkinkan terjadi mengingat konten media sosial adalah konten yang paling banyak dibuka oleh masyarakat. Dalam jangka panjang, sosialisasi sejak dini dapat dilakukan dengan memasukkan masalah inklusi keuangan pada materi pelajaran di sekolah.
Lantas, sudah siapkan kita masuk ke era digital? Jika dilihat secara inovasi, adanya berbagai sistem pembayaran ini merupakan hal yang sangat baik dalam mencapai inklusi keuangan ke seluruh masyarakat Indonesia. Dari situ diharapkan akan menjadi dasar untuk melakukan peminjaman, investasi, dan asuransi yang ketiganya membutuhkan metode pembayaran untuk mengimplementasikannya.
Nah, pekerjaan rumah kita berikutnya adalah perlunya saling mengingatkan agar tetap bijak dalam menggunakan inovasi metode pembayaran yang ada. Jangan sampai kita terjerumus seperti pada istilah ‘besar pasak daripada tiang’.
*Tulisan ini adalah pandangan pribadi dan tidak mewakili lembaga tempat bekerja
(ynt)