Beras Mahal, Saatnya Diversifikasi Pangan
loading...
A
A
A
Hal serupa dijumpai di tengah masyarakat Sumatera Utara, khususnya suku Batak Toba yang memiliki kearifan lokal untuk mengurangi tingkat konsumsi beras.
Di era awal kemerdekaan, bahkan sebelumnya, mengonsumsi singkong atau ubi jalar rebus sebagai makanan “pembuka” menjadi pilihan yang amat populer untuk penguatan ketahanan pangan. Pola konsumsi demikian dikenal dengan istilah manggadong (mengonsumsi gadong/ubisingkong sebelum makan nasi).
Pola makan manggadong bisa dibangkitkan kembali sebagai basis kekuatan ketahanan pangan di masa datang mengingat kandungan gizi singkong dan ubi jalar sangat baik.
Kedua jenis pangan lokal ini selain sebagai sumber karbohidrat, juga memiliki kandungan serat dan sumber antioksidan yang andal menangkal sejumlah penyakit degeneratif.
Inilah roh dari kebijakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan yang mampu menumbuhkan kesadaran dari sudut pandang gizi bahwa manusia untuk dapat hidup aktif dan sehat tidak hanya tergantung dari satu jenis bahan pangan saja, tetapi memerlukan tidak kurang dari 40 jenis zat gizi yang bisa diperoleh dari berbagai jenis makanan.
Mengurangi impor beras harus terus dilakukan seiring dengan makin membaiknya program percepatan diversifikasi konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal.
Secara teroretis, pencetakan sawah dengan memanfaatkan lahan tidur atau membuka food estate diharapkan dapat menjadi solusi atas gejolak harga beras dan pangan lainnya. Namun sejarah kedaulatan pangan nasional mencatat kegagalan sejuta hektare sawah baru di lahan gambut di Kalimantan Tengah pada 1995.
Bahkan food estate di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara dan di beberapa daerah lainnya yang saat ini sudah memasuki tahun ketiga belum berhasil seperti yang diharapkan.
Indonesia yang kini dikepung makanan olahan berbasis terigu yang sarat impor harus juga dikurangi. Industri pangan lokal harus mampu menyubstitusi bahan baku donat, roti, pizza, hingga mi instan dari tepung-tepung lokal. Pasalnya, berbagai produk pangan ini kini dengan mudah ditemukan tidak hanya di perkotaan, tetapi juga di perdesaan. Konsumsi terigu menunjukkan tren peningkatan setiap tahun.
Pertumbuhan konsumsi terigu nasional juga telah menempatkan Indonesia menjadi salah satu importir gandum terbesar di dunia (Sibuea, 2022).
Di era awal kemerdekaan, bahkan sebelumnya, mengonsumsi singkong atau ubi jalar rebus sebagai makanan “pembuka” menjadi pilihan yang amat populer untuk penguatan ketahanan pangan. Pola konsumsi demikian dikenal dengan istilah manggadong (mengonsumsi gadong/ubisingkong sebelum makan nasi).
Pola makan manggadong bisa dibangkitkan kembali sebagai basis kekuatan ketahanan pangan di masa datang mengingat kandungan gizi singkong dan ubi jalar sangat baik.
Kedua jenis pangan lokal ini selain sebagai sumber karbohidrat, juga memiliki kandungan serat dan sumber antioksidan yang andal menangkal sejumlah penyakit degeneratif.
Inilah roh dari kebijakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan yang mampu menumbuhkan kesadaran dari sudut pandang gizi bahwa manusia untuk dapat hidup aktif dan sehat tidak hanya tergantung dari satu jenis bahan pangan saja, tetapi memerlukan tidak kurang dari 40 jenis zat gizi yang bisa diperoleh dari berbagai jenis makanan.
Mengurangi impor beras harus terus dilakukan seiring dengan makin membaiknya program percepatan diversifikasi konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal.
Secara teroretis, pencetakan sawah dengan memanfaatkan lahan tidur atau membuka food estate diharapkan dapat menjadi solusi atas gejolak harga beras dan pangan lainnya. Namun sejarah kedaulatan pangan nasional mencatat kegagalan sejuta hektare sawah baru di lahan gambut di Kalimantan Tengah pada 1995.
Bahkan food estate di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara dan di beberapa daerah lainnya yang saat ini sudah memasuki tahun ketiga belum berhasil seperti yang diharapkan.
Indonesia yang kini dikepung makanan olahan berbasis terigu yang sarat impor harus juga dikurangi. Industri pangan lokal harus mampu menyubstitusi bahan baku donat, roti, pizza, hingga mi instan dari tepung-tepung lokal. Pasalnya, berbagai produk pangan ini kini dengan mudah ditemukan tidak hanya di perkotaan, tetapi juga di perdesaan. Konsumsi terigu menunjukkan tren peningkatan setiap tahun.
Pertumbuhan konsumsi terigu nasional juga telah menempatkan Indonesia menjadi salah satu importir gandum terbesar di dunia (Sibuea, 2022).