Beras Mahal, Saatnya Diversifikasi Pangan

Jum'at, 24 Februari 2023 - 11:00 WIB
loading...
A A A
Ketersediaan beras di gudang Bulog acap kali dijadikan sebagai basis ketahanan pangan dan kian memantapkan arah pola konsumsi masyarakat pada beras. Produk olahan padi ini tidak lagi sekadar barang ekonomi, tetapi telah diposisikan sebagai komoditas politik yang memiliki dimensi sosial yang luas.

Politik beras murah digelontorkan sejak rezim Orde Baru untuk membentuk opini no rice no glory. Hal ini mendorong peningkatan konsumsi beras secara signifikan, dari 110 kg/kapita/tahun pada 1967 menjadi 139 kg/kapita/tahun pada 2010 dan menurun ke 90 kg/kapita/tahun tiga tahun belakangan ini. Bandingkan dengan orang Jepang yang hanya mengonsumsi beras 45 kg/kapita/tahun.

Lantas apa langkah pemerintah untuk mengatasi harga beras yang makin mahal? Masyarakat patut didorong untuk mengurangi ketergantungan konsumsi beras yang saat ini produksinya secara global semakin menurun.

Dengan perkiraan produksi padi yang tidak bisa lagi ditingkatkan akibat cuaca yang tak menentu yang menyebabkan munculnya sejumlah penyakit baru tanaman padi, hal itu akan mendorong harga beras naik secara signifikan di masa datang.

Melihat ketersediaan beras di tingkat global yang kian defisit, setiap negara akan memprioritaskan kebijakan pangan untuk mencukupi kebutuhan negara masing-masing. Negara dengan surplus pangan pun tidak akan serta-merta melakukan ekspor, mereka akan memperkuat cadangan pangannya.

Kearifan Lokal
Hobi pemerintah yang suka mengimpor beras telah membawa implikasi bias pada apresiasi kita terhadap pangan lokal. Ubi jalar dan singkong menjadi komoditas pangan inferior.

Ketika ada sejumlah orang di suatu daerah yang mengonsumsi singkong atau tiwul, mereka disebut miskin dan mengalami kelaparan. Inilah ganjalan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan nonberas berbasis sumber daya lokal sebagai pilar kedaulatan pangan.

Perkembangan menarik pada pola konsumsi pangan pokok sumber karbohidrat adalah kecenderungan menurunnya kontribusi energi dari umbi-umbian seiring peningkatan pendapatan.

Hasil analisis data Susenas pada rentang 10 tahun terakhir menunjukkan pola konsumsi pangan pokok pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah, terutama di perdesaan, kian mengarah pada beras dan bahan pangan berbasis tepung terigu, khususnya mi instan.

Berasisasi dan miinstanisasi di tengah keluarga akibat dampak ekonomi kapitalistik telah menggeser pola makan berbasis kearifan lokal. Apabila mau melihat kondisi riil pola makan Nusantara pada masa lalu, tidak sulit menemukan hal yang (tidak) lazim di tengah keluarga semisal ulat sagu goreng dan belalang bakar.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1686 seconds (0.1#10.140)