Beras Mahal, Saatnya Diversifikasi Pangan
loading...
A
A
A
Posman Sibuea
Guru Besar Ilmu Pangan Unika Santo Thomas, Medan, Pengurus Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI), Anggota Pokja Ahli Pangan di Badan Pangan Nasional
DI TENGAH harga beras yang makin mahal dan diperkirakan terus berlanjut, kinerja pemerintah mengawal ketahanan pangan dilaporkan sangat baik.
Produksi beras disebut surplus. Berdasarkan data produksi beras tiga tahun terakhir, rata-rata 32 juta ton, maka kebutuhan beras penduduk Indonesia sejatinya masih tercukupi dengan tingkat konsumsi beras nasional 90 kg/kapita/tahun.
Baca Juga: koran-sindo.com
Kebutuhan beras untuk jumlah penduduk 274 juta jiwa mencapai 24,7 juta ton. Maka produksi beras nasional ini masih bisa digunakan untuk cadangan beras pemerintah (CBP) dan kebutuhan nonpangan seperti pakan ternak, bahan industri maupun untuk bibit/benih.
Jika kinerja pemerintah ini bisa dipercaya, Indonesia tidak perlu melakukan impor beras. Namun arus beras impor yang kian membuih – diperkirakan sudah masuk sebanyak 500.000 ton hingga akhir Februari 2023 – membuktikan kondisi ketahanan pangan kian rapuh.
Sejumlah indikator lain menunjukkan fenomena itu, mulai dari realitas produksi yang menurun karena gagal panen sebagai dampak perubahan iklim hingga percepatan alih fungsi lahan pertanian.
Signifikansi Solusi
Pemerintah patut segera mencari solusi yang memiliki signifikansi terukur mengatasi impor beras. Warga harus mulai didorong melakukan penurunan konsumsi beras. Jika tidak, Indonesia tidak lepas dari jebakan pangan impor.
Pertambahan jumlah penduduk yang tinggi, sekitar 1,4% per tahun, memerlukan pertambahan beras sebanyak 3,5 juta ton setiap tahun. Sementara negara eksportir beras seperti Thailand dan Vietnam tidak lagi mengobral ekspor guna mengantisipasi kebutuhan dalam negeri yang kian meningkat dan dampak Covid-19 yang sepenuhnya belum teratasi.
Pemahaman yang menyamakan swasembada beras dengan ketahanan pangan harus dikoreksi ulang untuk tidak terus direproduksi guna mengukur keberhasilan pembangunan pertanian.
Ketersediaan beras di gudang Bulog acap kali dijadikan sebagai basis ketahanan pangan dan kian memantapkan arah pola konsumsi masyarakat pada beras. Produk olahan padi ini tidak lagi sekadar barang ekonomi, tetapi telah diposisikan sebagai komoditas politik yang memiliki dimensi sosial yang luas.
Politik beras murah digelontorkan sejak rezim Orde Baru untuk membentuk opini no rice no glory. Hal ini mendorong peningkatan konsumsi beras secara signifikan, dari 110 kg/kapita/tahun pada 1967 menjadi 139 kg/kapita/tahun pada 2010 dan menurun ke 90 kg/kapita/tahun tiga tahun belakangan ini. Bandingkan dengan orang Jepang yang hanya mengonsumsi beras 45 kg/kapita/tahun.
Lantas apa langkah pemerintah untuk mengatasi harga beras yang makin mahal? Masyarakat patut didorong untuk mengurangi ketergantungan konsumsi beras yang saat ini produksinya secara global semakin menurun.
Dengan perkiraan produksi padi yang tidak bisa lagi ditingkatkan akibat cuaca yang tak menentu yang menyebabkan munculnya sejumlah penyakit baru tanaman padi, hal itu akan mendorong harga beras naik secara signifikan di masa datang.
Melihat ketersediaan beras di tingkat global yang kian defisit, setiap negara akan memprioritaskan kebijakan pangan untuk mencukupi kebutuhan negara masing-masing. Negara dengan surplus pangan pun tidak akan serta-merta melakukan ekspor, mereka akan memperkuat cadangan pangannya.
Kearifan Lokal
Hobi pemerintah yang suka mengimpor beras telah membawa implikasi bias pada apresiasi kita terhadap pangan lokal. Ubi jalar dan singkong menjadi komoditas pangan inferior.
Ketika ada sejumlah orang di suatu daerah yang mengonsumsi singkong atau tiwul, mereka disebut miskin dan mengalami kelaparan. Inilah ganjalan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan nonberas berbasis sumber daya lokal sebagai pilar kedaulatan pangan.
Perkembangan menarik pada pola konsumsi pangan pokok sumber karbohidrat adalah kecenderungan menurunnya kontribusi energi dari umbi-umbian seiring peningkatan pendapatan.
Hasil analisis data Susenas pada rentang 10 tahun terakhir menunjukkan pola konsumsi pangan pokok pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah, terutama di perdesaan, kian mengarah pada beras dan bahan pangan berbasis tepung terigu, khususnya mi instan.
Berasisasi dan miinstanisasi di tengah keluarga akibat dampak ekonomi kapitalistik telah menggeser pola makan berbasis kearifan lokal. Apabila mau melihat kondisi riil pola makan Nusantara pada masa lalu, tidak sulit menemukan hal yang (tidak) lazim di tengah keluarga semisal ulat sagu goreng dan belalang bakar.
Hal serupa dijumpai di tengah masyarakat Sumatera Utara, khususnya suku Batak Toba yang memiliki kearifan lokal untuk mengurangi tingkat konsumsi beras.
Di era awal kemerdekaan, bahkan sebelumnya, mengonsumsi singkong atau ubi jalar rebus sebagai makanan “pembuka” menjadi pilihan yang amat populer untuk penguatan ketahanan pangan. Pola konsumsi demikian dikenal dengan istilah manggadong (mengonsumsi gadong/ubisingkong sebelum makan nasi).
Pola makan manggadong bisa dibangkitkan kembali sebagai basis kekuatan ketahanan pangan di masa datang mengingat kandungan gizi singkong dan ubi jalar sangat baik.
Kedua jenis pangan lokal ini selain sebagai sumber karbohidrat, juga memiliki kandungan serat dan sumber antioksidan yang andal menangkal sejumlah penyakit degeneratif.
Inilah roh dari kebijakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan yang mampu menumbuhkan kesadaran dari sudut pandang gizi bahwa manusia untuk dapat hidup aktif dan sehat tidak hanya tergantung dari satu jenis bahan pangan saja, tetapi memerlukan tidak kurang dari 40 jenis zat gizi yang bisa diperoleh dari berbagai jenis makanan.
Mengurangi impor beras harus terus dilakukan seiring dengan makin membaiknya program percepatan diversifikasi konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal.
Secara teroretis, pencetakan sawah dengan memanfaatkan lahan tidur atau membuka food estate diharapkan dapat menjadi solusi atas gejolak harga beras dan pangan lainnya. Namun sejarah kedaulatan pangan nasional mencatat kegagalan sejuta hektare sawah baru di lahan gambut di Kalimantan Tengah pada 1995.
Bahkan food estate di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara dan di beberapa daerah lainnya yang saat ini sudah memasuki tahun ketiga belum berhasil seperti yang diharapkan.
Indonesia yang kini dikepung makanan olahan berbasis terigu yang sarat impor harus juga dikurangi. Industri pangan lokal harus mampu menyubstitusi bahan baku donat, roti, pizza, hingga mi instan dari tepung-tepung lokal. Pasalnya, berbagai produk pangan ini kini dengan mudah ditemukan tidak hanya di perkotaan, tetapi juga di perdesaan. Konsumsi terigu menunjukkan tren peningkatan setiap tahun.
Pertumbuhan konsumsi terigu nasional juga telah menempatkan Indonesia menjadi salah satu importir gandum terbesar di dunia (Sibuea, 2022).
Membumikan diversifikasi konsumsi pangan harus menjadi program prioritas pemerintah mulai dari pusat hingga kabupaten/kota. Hal ini seiring dengan harapan Wakil Presiden Ma’ruf Amin saat membuka Rapat Kerja Nasional Pembangunan Pertanian Tahun 2023 di Jakarta yang mengatakan upaya menjaga ketahanan pangan perlu diikuti penggalakan kembali diversifikasi pangan.
.
Guru Besar Ilmu Pangan Unika Santo Thomas, Medan, Pengurus Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI), Anggota Pokja Ahli Pangan di Badan Pangan Nasional
DI TENGAH harga beras yang makin mahal dan diperkirakan terus berlanjut, kinerja pemerintah mengawal ketahanan pangan dilaporkan sangat baik.
Produksi beras disebut surplus. Berdasarkan data produksi beras tiga tahun terakhir, rata-rata 32 juta ton, maka kebutuhan beras penduduk Indonesia sejatinya masih tercukupi dengan tingkat konsumsi beras nasional 90 kg/kapita/tahun.
Baca Juga: koran-sindo.com
Kebutuhan beras untuk jumlah penduduk 274 juta jiwa mencapai 24,7 juta ton. Maka produksi beras nasional ini masih bisa digunakan untuk cadangan beras pemerintah (CBP) dan kebutuhan nonpangan seperti pakan ternak, bahan industri maupun untuk bibit/benih.
Jika kinerja pemerintah ini bisa dipercaya, Indonesia tidak perlu melakukan impor beras. Namun arus beras impor yang kian membuih – diperkirakan sudah masuk sebanyak 500.000 ton hingga akhir Februari 2023 – membuktikan kondisi ketahanan pangan kian rapuh.
Sejumlah indikator lain menunjukkan fenomena itu, mulai dari realitas produksi yang menurun karena gagal panen sebagai dampak perubahan iklim hingga percepatan alih fungsi lahan pertanian.
Signifikansi Solusi
Pemerintah patut segera mencari solusi yang memiliki signifikansi terukur mengatasi impor beras. Warga harus mulai didorong melakukan penurunan konsumsi beras. Jika tidak, Indonesia tidak lepas dari jebakan pangan impor.
Pertambahan jumlah penduduk yang tinggi, sekitar 1,4% per tahun, memerlukan pertambahan beras sebanyak 3,5 juta ton setiap tahun. Sementara negara eksportir beras seperti Thailand dan Vietnam tidak lagi mengobral ekspor guna mengantisipasi kebutuhan dalam negeri yang kian meningkat dan dampak Covid-19 yang sepenuhnya belum teratasi.
Pemahaman yang menyamakan swasembada beras dengan ketahanan pangan harus dikoreksi ulang untuk tidak terus direproduksi guna mengukur keberhasilan pembangunan pertanian.
Ketersediaan beras di gudang Bulog acap kali dijadikan sebagai basis ketahanan pangan dan kian memantapkan arah pola konsumsi masyarakat pada beras. Produk olahan padi ini tidak lagi sekadar barang ekonomi, tetapi telah diposisikan sebagai komoditas politik yang memiliki dimensi sosial yang luas.
Politik beras murah digelontorkan sejak rezim Orde Baru untuk membentuk opini no rice no glory. Hal ini mendorong peningkatan konsumsi beras secara signifikan, dari 110 kg/kapita/tahun pada 1967 menjadi 139 kg/kapita/tahun pada 2010 dan menurun ke 90 kg/kapita/tahun tiga tahun belakangan ini. Bandingkan dengan orang Jepang yang hanya mengonsumsi beras 45 kg/kapita/tahun.
Lantas apa langkah pemerintah untuk mengatasi harga beras yang makin mahal? Masyarakat patut didorong untuk mengurangi ketergantungan konsumsi beras yang saat ini produksinya secara global semakin menurun.
Dengan perkiraan produksi padi yang tidak bisa lagi ditingkatkan akibat cuaca yang tak menentu yang menyebabkan munculnya sejumlah penyakit baru tanaman padi, hal itu akan mendorong harga beras naik secara signifikan di masa datang.
Melihat ketersediaan beras di tingkat global yang kian defisit, setiap negara akan memprioritaskan kebijakan pangan untuk mencukupi kebutuhan negara masing-masing. Negara dengan surplus pangan pun tidak akan serta-merta melakukan ekspor, mereka akan memperkuat cadangan pangannya.
Kearifan Lokal
Hobi pemerintah yang suka mengimpor beras telah membawa implikasi bias pada apresiasi kita terhadap pangan lokal. Ubi jalar dan singkong menjadi komoditas pangan inferior.
Ketika ada sejumlah orang di suatu daerah yang mengonsumsi singkong atau tiwul, mereka disebut miskin dan mengalami kelaparan. Inilah ganjalan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan nonberas berbasis sumber daya lokal sebagai pilar kedaulatan pangan.
Perkembangan menarik pada pola konsumsi pangan pokok sumber karbohidrat adalah kecenderungan menurunnya kontribusi energi dari umbi-umbian seiring peningkatan pendapatan.
Hasil analisis data Susenas pada rentang 10 tahun terakhir menunjukkan pola konsumsi pangan pokok pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah, terutama di perdesaan, kian mengarah pada beras dan bahan pangan berbasis tepung terigu, khususnya mi instan.
Berasisasi dan miinstanisasi di tengah keluarga akibat dampak ekonomi kapitalistik telah menggeser pola makan berbasis kearifan lokal. Apabila mau melihat kondisi riil pola makan Nusantara pada masa lalu, tidak sulit menemukan hal yang (tidak) lazim di tengah keluarga semisal ulat sagu goreng dan belalang bakar.
Hal serupa dijumpai di tengah masyarakat Sumatera Utara, khususnya suku Batak Toba yang memiliki kearifan lokal untuk mengurangi tingkat konsumsi beras.
Di era awal kemerdekaan, bahkan sebelumnya, mengonsumsi singkong atau ubi jalar rebus sebagai makanan “pembuka” menjadi pilihan yang amat populer untuk penguatan ketahanan pangan. Pola konsumsi demikian dikenal dengan istilah manggadong (mengonsumsi gadong/ubisingkong sebelum makan nasi).
Pola makan manggadong bisa dibangkitkan kembali sebagai basis kekuatan ketahanan pangan di masa datang mengingat kandungan gizi singkong dan ubi jalar sangat baik.
Kedua jenis pangan lokal ini selain sebagai sumber karbohidrat, juga memiliki kandungan serat dan sumber antioksidan yang andal menangkal sejumlah penyakit degeneratif.
Inilah roh dari kebijakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan yang mampu menumbuhkan kesadaran dari sudut pandang gizi bahwa manusia untuk dapat hidup aktif dan sehat tidak hanya tergantung dari satu jenis bahan pangan saja, tetapi memerlukan tidak kurang dari 40 jenis zat gizi yang bisa diperoleh dari berbagai jenis makanan.
Mengurangi impor beras harus terus dilakukan seiring dengan makin membaiknya program percepatan diversifikasi konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal.
Secara teroretis, pencetakan sawah dengan memanfaatkan lahan tidur atau membuka food estate diharapkan dapat menjadi solusi atas gejolak harga beras dan pangan lainnya. Namun sejarah kedaulatan pangan nasional mencatat kegagalan sejuta hektare sawah baru di lahan gambut di Kalimantan Tengah pada 1995.
Bahkan food estate di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara dan di beberapa daerah lainnya yang saat ini sudah memasuki tahun ketiga belum berhasil seperti yang diharapkan.
Indonesia yang kini dikepung makanan olahan berbasis terigu yang sarat impor harus juga dikurangi. Industri pangan lokal harus mampu menyubstitusi bahan baku donat, roti, pizza, hingga mi instan dari tepung-tepung lokal. Pasalnya, berbagai produk pangan ini kini dengan mudah ditemukan tidak hanya di perkotaan, tetapi juga di perdesaan. Konsumsi terigu menunjukkan tren peningkatan setiap tahun.
Pertumbuhan konsumsi terigu nasional juga telah menempatkan Indonesia menjadi salah satu importir gandum terbesar di dunia (Sibuea, 2022).
Membumikan diversifikasi konsumsi pangan harus menjadi program prioritas pemerintah mulai dari pusat hingga kabupaten/kota. Hal ini seiring dengan harapan Wakil Presiden Ma’ruf Amin saat membuka Rapat Kerja Nasional Pembangunan Pertanian Tahun 2023 di Jakarta yang mengatakan upaya menjaga ketahanan pangan perlu diikuti penggalakan kembali diversifikasi pangan.
.
(bmm)