Vonis Hakim Terhadap Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi Lebih Tinggi dari Tuntutan, Apakah itu Ultra Petita?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan hukuman lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada terdakwa Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi . Diketahui, Ferdy Sambo divonis hukuman mati dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Sedangkan tuntutan JPU terhadap Ferdy Sambo adalah hukuman penjara seumur hidup. Sementara itu, Putri Candrawathi divonis hukuman 20 tahun penjara.
Sedangkan tuntutan JPU terhadap Putri adalah hukuman penjara selama delapan tahun. Pasangan suami istri itu dianggap telah melanggar Pasal 340 KUHP juncto pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Lalu, apa Majelis Hakim menerapkan ultra petita dalam vonis Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi tersebut?
Adapun Ultra Petita berasal dari bahasa latin. Ultra merupakan lebih, melampaui, dan ekstrim. Sedangkan petita adalah permohonan.
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menjelaskan bahwa Ultra Petita hanya ada dalam perkara perdata dan tata usaha negara. Dia mengatakan, Majelis Hakim sangat bisa menjatuhkan putusan yang melebihi dari tuntutan JPU.
Dia menuturkan, Hakim memiliki kewenangan dan kebebasan untuk memutus suatu perkara pidana. “Batasannya adalah ancaman hukumannya ada di dalam pasal,” kata Abdul Fickar Hadjar kepada SINDOnews, Senin (13/2/2023).
Dia melanjutkan, Jaksa sekadar menyimpulkan fakta persidangan yang terjadi di dalam persidangan. Jika Jaksa bisa menilai terdakwa terbukti dan berat, penasihat hukum bisa mengklaim kliennya tidak terbukti dan harus diringankan.
“Nah hakimlah yang punya kewenangan menyimpulkan itu. Nah batasan hakim tidak terikat pada tuntutan Jaksa. Kalau masih dalam dakwaan, maka batasan tertingginya adalah ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang itu. UU yang didakwakan,” jelasnya.
Maka itu, kata Fickar, vonis hakim yang melebihi tuntutan Jaksa terhadap Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi itu bukan ultra petita. “Bukan ultra petita itu, enggak ada ultra petita dalam pidana sepanjang putusan hakim itu mengikuti ancaman hukuman dalam dakwaan,” ungkapnya.
Dia memberikan contoh ultra petita adalah seseorang didakwa mencuri, namun hakim memutuskan melakukan pembunuhan. “Nah itu namanya ultra petita, didakwa lain, dihukum lain. Tapi kalau dia dituntut dalam satu tindak pidana, hukumannya tidak maksimal, tapi hakim menjatuhkan maksimal, itu enggak masalah, batasannya adalah ketentuan Undang-Undangnya,” tuturnya.
“Tapi kalau dalam kasus pidana yang pasti itu ketentuan pasalnya, jaksa boleh nuntut berapa saja, tapi hakim bebas menjatuhkan putusan. Jadi, kalau ada perbedaan tuntutan jaksa dengan putusan hakim, itu hanya perbedaan memandang dan menangkap rasa keadilan saja,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Ferdy Sambo divonis hukuman mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakim menyampaikan bahwa tidak ada hal yang meringankan Ferdy Sambo dalam kasus tersebut.
Ada tujuh hal yang memberatkan hukuman Ferdy Sambo. Salah satunya, perbuatan Ferdy Sambo dilakukan terhadap ajudan sendiri yang telah mengabdi selama tiga tahun.
Kedua, perbuatannya mengakibatkan duka mendalam bagi keluarga Brigadir J. Sedangkan yang ketiga adalah perbuatan Ferdy Sambo menyebabkan kegaduhan di masyarakat.
Lalu, keempat, perbuatannya dianggap tidak pantas dalam kedudukannya sebagai aparat penegak hukum, dalam hal ini Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri.
Selanjutnya, yakni kelima bahwa Ferdy Sambo dianggap telah mencoreng institusi Polri di mata Indonesia dan dunia. Keenam, perbuatannya menyebabkan anggota Polri lainnya terlibat.
Ketujuh, Ferdy Sambo dianggap berbelit-belit dan tidak mengakui perbuatannya. Sementara itu, Putri Candrawathi divonis hukuman 20 tahun penjara.
Majelis Hakim juga menilai tidak ada hal yang meringankan Putri Candrawathi. Salah satu hal yang memberatkannya adalah Putri dianggap berbelit-belit dan tidak berterus terang dalam persidangan sehingga menyulitkan jalannya persidangan.
Hal yang memberatkan lainnya karena Putri tidak mengakui kesalahannya. Kemudian, perbuatannya mencoreng nama baik organisasi para istri Bhayangkari.
Selain itu, perbuatannya dianggap telah berdampak dan menimbulkan kerugian yang besar berbagai pihak baik materil maupun moril, bahkan memutus masa depan banyak personel anggota kepolisian.
Sedangkan tuntutan JPU terhadap Ferdy Sambo adalah hukuman penjara seumur hidup. Sementara itu, Putri Candrawathi divonis hukuman 20 tahun penjara.
Sedangkan tuntutan JPU terhadap Putri adalah hukuman penjara selama delapan tahun. Pasangan suami istri itu dianggap telah melanggar Pasal 340 KUHP juncto pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Baca Juga
Lalu, apa Majelis Hakim menerapkan ultra petita dalam vonis Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi tersebut?
Adapun Ultra Petita berasal dari bahasa latin. Ultra merupakan lebih, melampaui, dan ekstrim. Sedangkan petita adalah permohonan.
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menjelaskan bahwa Ultra Petita hanya ada dalam perkara perdata dan tata usaha negara. Dia mengatakan, Majelis Hakim sangat bisa menjatuhkan putusan yang melebihi dari tuntutan JPU.
Dia menuturkan, Hakim memiliki kewenangan dan kebebasan untuk memutus suatu perkara pidana. “Batasannya adalah ancaman hukumannya ada di dalam pasal,” kata Abdul Fickar Hadjar kepada SINDOnews, Senin (13/2/2023).
Dia melanjutkan, Jaksa sekadar menyimpulkan fakta persidangan yang terjadi di dalam persidangan. Jika Jaksa bisa menilai terdakwa terbukti dan berat, penasihat hukum bisa mengklaim kliennya tidak terbukti dan harus diringankan.
“Nah hakimlah yang punya kewenangan menyimpulkan itu. Nah batasan hakim tidak terikat pada tuntutan Jaksa. Kalau masih dalam dakwaan, maka batasan tertingginya adalah ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang itu. UU yang didakwakan,” jelasnya.
Maka itu, kata Fickar, vonis hakim yang melebihi tuntutan Jaksa terhadap Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi itu bukan ultra petita. “Bukan ultra petita itu, enggak ada ultra petita dalam pidana sepanjang putusan hakim itu mengikuti ancaman hukuman dalam dakwaan,” ungkapnya.
Dia memberikan contoh ultra petita adalah seseorang didakwa mencuri, namun hakim memutuskan melakukan pembunuhan. “Nah itu namanya ultra petita, didakwa lain, dihukum lain. Tapi kalau dia dituntut dalam satu tindak pidana, hukumannya tidak maksimal, tapi hakim menjatuhkan maksimal, itu enggak masalah, batasannya adalah ketentuan Undang-Undangnya,” tuturnya.
“Tapi kalau dalam kasus pidana yang pasti itu ketentuan pasalnya, jaksa boleh nuntut berapa saja, tapi hakim bebas menjatuhkan putusan. Jadi, kalau ada perbedaan tuntutan jaksa dengan putusan hakim, itu hanya perbedaan memandang dan menangkap rasa keadilan saja,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Ferdy Sambo divonis hukuman mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakim menyampaikan bahwa tidak ada hal yang meringankan Ferdy Sambo dalam kasus tersebut.
Ada tujuh hal yang memberatkan hukuman Ferdy Sambo. Salah satunya, perbuatan Ferdy Sambo dilakukan terhadap ajudan sendiri yang telah mengabdi selama tiga tahun.
Kedua, perbuatannya mengakibatkan duka mendalam bagi keluarga Brigadir J. Sedangkan yang ketiga adalah perbuatan Ferdy Sambo menyebabkan kegaduhan di masyarakat.
Lalu, keempat, perbuatannya dianggap tidak pantas dalam kedudukannya sebagai aparat penegak hukum, dalam hal ini Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri.
Selanjutnya, yakni kelima bahwa Ferdy Sambo dianggap telah mencoreng institusi Polri di mata Indonesia dan dunia. Keenam, perbuatannya menyebabkan anggota Polri lainnya terlibat.
Ketujuh, Ferdy Sambo dianggap berbelit-belit dan tidak mengakui perbuatannya. Sementara itu, Putri Candrawathi divonis hukuman 20 tahun penjara.
Baca Juga
Majelis Hakim juga menilai tidak ada hal yang meringankan Putri Candrawathi. Salah satu hal yang memberatkannya adalah Putri dianggap berbelit-belit dan tidak berterus terang dalam persidangan sehingga menyulitkan jalannya persidangan.
Hal yang memberatkan lainnya karena Putri tidak mengakui kesalahannya. Kemudian, perbuatannya mencoreng nama baik organisasi para istri Bhayangkari.
Selain itu, perbuatannya dianggap telah berdampak dan menimbulkan kerugian yang besar berbagai pihak baik materil maupun moril, bahkan memutus masa depan banyak personel anggota kepolisian.
(rca)