Mahkamah Konstitusi Kembali Diuji

Kamis, 09 Februari 2023 - 18:26 WIB
loading...
Mahkamah Konstitusi Kembali Diuji
Ahmad Zairudin (Foto: Ist)
A A A
Ahmad Zairudin
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Nurul Jadid, Peneliti Pusat Kajian dan Konsultasi Hukum (Puskakum) UNUJA

MAHKAMAH Konstitusi (MK) yang lahir pada 13 Agustus 2003, merupakan hasil konfigurasi politik hukum di Indonesia. Pasal 24c ayat 1 dan 2 UUD 1945 dengan tegas mengamanatkan kepada MK sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang memiliki wewenang dalam menegakkan supremasi konstitusi yang berkeadilan dalam menjalankan prinsip hukum.

MK dibentuk dengan harapan ada sebuah lembaga yang mampu menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan konstitualisme di Indonesia.

Baca Juga: koran-sindo.com

Hakim konstitusi adalah jabatan yang menjalankan wewenang MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu figur hakim konstitusi menentukan pelaksanaan wewenang MK yang fungsinya adalah sebagai pengawal konstitusi atau the guardian of the constitution.

Sejatinya hakim konstitusi dilarang memanfaatkan atau memberikan kesempatan kepada orang lain untuk memanfaatkan wibawa Mahkamah bagi kepentingan pribadi hakim konstitusi atau anggota keluarganya, golongan atau kelompok tertentu atau siapa pun juga.

Hakim konstitusi dalam penerapannya harus melaksanakan tugas Mahkamah tanpa prasangka (prejudice), melenceng (bias), dan tidak condong pada salah satu pihak.

Namun dalam perjalanannya, MK mengalami banyak ujian dan dinamika yang luar biasa seperti semakin menipisnya kepercayaan masyarakat, maraknya jual beli kasus seperti yang menimpa para hakim konstitusi, masalah internal yang menjerat para hakim MK, seperti kasus suap ketua MK Akil Mochtar dan Patrialis Akbar.

Setelah mencoba mengembalikan kepercayaan publik, MK lagi-lagi dihadapkan dengan masalah kasus pencopotan Hakim MK Aswanto yang di anggap inkonstitusional, hingga persoalan ini berujung Uji Materi UU Nomor 7 tahun 2020 tentang MK dengan pemohon Zico Leonard Djagardi Simanjuntak dengan perkara nomor 103/PUU-XX/2022.

Permohonan ini berakhir dengan di ujinya kembali MK dengan adanya dugaan pelanggaran dengan pengubahan substansi putusan MK berkaitan dengan pemberhentian Aswanto sebagai hakim konstitusi.

Kasus dugaan pengubahan substansi putusan ini bermula di saat putusan yang dibacakan oleh Hakim MK Saldi Isra di sidang 23 November 2022 yang berbunyi, "Dengan demikian, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat 2 UU MK...".

Sedangkan salinan putusan di situs website MK tidaklah sama di mana frasa "Dengan demikian” telah di ubah menjadi “Ke depan”.

Substansi perubahan inilah tentu akan sangat berpengaruh terhadap putusan yang dikeluarkan oleh MK itu sendiri, dan kita ketahui bahwa putusan MK itu bersifat final. Jika hal seperti ini dibiarkan, maka tidak menutup kemungkinan kasus yang menimpa Aswanto akan terulang kembali. Bisa jadi ada Awanto satu, dua, tiga dan seterusnya.

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang dibentuk secara sigap oleh MK untuk menangani kasus ini kini diharapkan dapat mengungkap apakah ada unsur kelalaian atau memang ada unsur kesengajaan dalam pengubahan makna kata dalam putusan tersebut, ataukah ada kepentingan yang lebih besar, sehingga MK melakukan suatu langkah yang cerobah dan gegabah.

Oleh karena itu kita patut menunggu bagaimana nanti hasil investigasi dari MKMK yang diisi oleh tiga tokoh-tokoh hebat yang sudah tidak diragukan lagi kredibilitas dan integritasnya, mereka adalah I Dewa Gede Palguna (mantan hakim MK dan tokoh masyarakat), ahli pidana UGM Profesor Sudjito, dan Enny Nurbaningsih (hakim aktif MK).

Mereka akan memeriksa soal skandal dugaan perubahan putusan Nomor 103/PUU-XX/2022 tentang uji materi UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK. Jika nanti ditemukan unsur-unsur kesengajaan dan adanya unsur kepentingan di balik pengubahan tersebut, apabila pelakunnya dari internal MK, maka patut kiranya pelaku mendapat sanksi yang tegas, baik pemberhentian secara tidak hormat atau sanksi pidana.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2920 seconds (0.1#10.140)
pixels