Peran Kampus Lahirkan Pilpres Berkualitas
loading...
A
A
A
Handi Risza
Wakil Rektor Universitas Paramadina
DEBAT antara Donald Trump dan Hillary Clinton dalam pemilihan presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS) yang ke-45 tahun pada 2016 lalu di Universitas Washington, St Louis, Missouri, masih menjadi perbincangan hangat di tengah-tengah pengamat internasional.
Dalam debat tersebut, terlihat bagaimana Trump memanfaatkan momentum debat untuk menguasai panggung dan menyudutkan Hillary dengan sejumlah isu domestik dan internasional AS terkait kebijakan luar negeri AS, permasalahan imigran, skandal Wikilieaks hingga isu terorisme. Debat tersebut kemudian menjadi perdebatan yang paling dramatis dalam sejarah pilpres di Amerika Serikat.
Baca Juga: koran-sindo.com
Terlepas dari cara berdebat yang ditunjukkan oleh kedua kandidat Presiden AS tersebut, sejarah pelibatan kampus perguruan tinggi di AS sebagai tempat atau lokasi perdebatan, telah menjadi tradisi yang sangat kuat dalam setiap pemilihan Presiden di AS.
Selain sebagai tempat atau lokasi debat, kampus berperan untuk mengawal, mengawasi, dan mengevaluasi setiap pelaksanaan pilpres. Sehingga pemilu tidak lagi semata-mata sebagai peristiwa prosedur demokrasi biasa, tetapi mampu menghasilkan pemimpin yang mumpuni dan berkualitas dalam menjawab setiap ekspektasi publik selama pilpres berlangsung.
Selama ini kampus selalu terkendala dalam hal perizinan untuk terlibat langsung dalam setiap pemilu, baik dalam pemilu legislatif (pileg) maupun pilpres. Sebagaimana yang menjadi tafsir dalam Pasal 280 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selama ini, di mana terdapat larangan untuk menggunakan fasilitas tempat pendidikan untuk berkampanye.
Padahal kalau kita lihat kalimat larangan tersebut hanya berlaku untuk menggunakan fasilitas tempat pendidikan, bukan untuk kegiatan kampanyenya. Dengan kata lain, kawasan kampus seharusnya bisa digunakan untuk memaparkan visi-misi bahkan debat terbuka antarcalon.
Musgrave dalam bukunya Public Finance in Theory and Practice (1989), mengungkapkan bahwa kualitas penyusunan anggaran yang menghasilkan kebijakan publik suatu negara, sangat ditentukan oleh proses pemilihan anggota legislatifnya. Artinya anggota legislatif terpilih akan sangat memengaruhi kualitas anggaran dan kebijakan publik yang dihasilkan.
Dalam konteks Indonesia, salah satu tugas dan fungsi anggota DPR dan DPRD adalah menghasilkan produk legislasi yaitu undang-undang (UU) yang digunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat serta membatasi kekuasaan eksekutif sehingga tercipta kehidupan yang harmoni di tengah-tengah masyarakat.
Begitupula dalam konteks pilpres, presiden adalah aktor utama yang akan mengelola anggaran dan kebijakan publik yang dihasilkan. Walaupun nantinya akan didampingi oleh para birokrat dan teknokrat dalam menjalankan pemerintahanya, kemampuan dan kapasitas yang dimiliki seorang presiden dalam memahami peta permasalahan, melihat potensi dan peluang yang dimiliki serta memberikan solusi dalam setiap persoalan bangsa mutlak diperlukan.
Hal tersebut tercermin dalam setiap rancangan undang-undang (RUU) yang diajukan sebagai dasar dalam menentukan kebijakan pemerintahannya. Semakin baik kualitas UU yang dihasilkan, maka kualitas pembangunan yang dihasilkan juga akan semakin baik.
Debat Capres di Kampus
Keberadaan kampus untuk terlibat dalam proses pemilu sangat penting dan strategis. Sebagai kawah candradimuka para akademisi, ilmuan dan mahasiswa, kampus bisa menjadi tempat untuk menguji “isi kepala” yang dimiliki oleh para calon presiden.
Tidak hanya sebatas dokumen visi-misi yang dikerjakan oleh para-tim sukses yang relatif sama dengan setiap calon presiden (capres) yang lain, akan tetapi langsung memberikan ide, gagasan dan solusi dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Mimik dan gestur tubuh para capres sangat penting untuk mengetahui respons mereka terhadap sebuah persoalaam, sebagaimana yang selalu kita saksikan dalam debat calon presiden AS di kampus-kampus yang sudah ditentukan, mulai saat konvensi calon dari partai, hingga debat capres yang sesungguhnya.
Maruah kampus sebagai salah satu pilar demokrasi yang penting perlu terus dijaga. Jangan sampai kampus hanya menjadi penonton di ujung stadion ketika pertandingan berlangsung. Kampus juga tidak hanya sekadar menjadi menara gading yang berjarak dengan agenda-agenda demokrasi penting seperti pemilu. Sehingga tujuan untuk menghadirkan demokrasi yang substantif bisa segera diwujudkan.
Oleh sebab itu, kampus harus mengambil peran untuk memastikan kualitas capres yang akan bertanding layak untuk memimpin bangsa dan negara besar seperti Indonesia.
Netralitas kampus dalam proses politik tetap bisa terjaga denga baik, dalam koridor yang dilindungi oleh konstitusi. Kampus memiliki kebebasan akademik dan otonomi keilmuan yang harus tetap terlindungi.
Bahkan, dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi disebutkan bahwa perguruan tinggi sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendidikan tinggi, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat harus memiliki otonomi dalam mengelola sendiri lembaganya. Hal itu diperlukan agar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan mimbar akademik serta otonomi keilmuan.
Untuk mewujudkan peran kampus dalam proses menghasilkan kontestasi pilpres yang berkualitas, kampus dapat menyiapkan agenda diskusi dan debat yang bermartabat dalam kerangka membangun kesadaran berpolitik dengan pendekatan ilmiah, mengundang capres-cawapres menyampaikan ide dan gagasannya di dalam kampus, dalam koridor keilmuan dan pendidikan politik, bukan hanya sekadar politik praktis yang bersifat partisan.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Forum Rektor Indonesia (FRI) bisa mengagendakan debat capres-cawapres yang diselenggarakan di beberapa kampus yang ditunjuk, mewakili beberapa wilayah di Indonesia, melibatkan seluruh sivitas akademika sebagai panelis tanpa dihalangi oleh aturan yang kaku dan membosankan.
Tradisi konvensi capres dan cawapres perlu terus dilakukan oleh partai politik di Indonesia. Pemilihan capres yang dilakukan oleh partai politik tidak hanya sebatas mempertimbangkan aspek keturunan, popularitas atau dukungan logistik semata, tetapi juga lahir dalam proses konvensi yang teruji terhadap kemampuan intelektul para kandidat.
Koalisi partai politik dalam menentukan capres-cawapres juga perlu dikritisi, sampai saat ini koalisi partai politik masih berkutat dengan transaksi politik yang tidak jelas ukuran dan kriterianya. Sehingga lagi-lagi publik hanya disuguhkan praktik seperti membeli kucing dalam karung. Akibatnya ketika calon diumumkan yang justru mengemuka adalah polarisasi politik dalam beberapa kubu, bukan tema kampanye yang berbasis pada isu dan persoalan kebangsaan yang sedang dihadapi.
Penutup
Menjadi negara demokrasi harus menjadi pilihan sadar bagi seluruh pemangku kepentingan bangsa dan negara. Demokrasi bisa menjadi sarana yang baik untuk mencapai cita-cita bangsa, begitupun sebaliknya. pemilu menjadi instrumen penting dalam demokrasi untuk menghasilkan anggota legislatif dan pemimpin negara dan pemerintahan yang baik dan berkualitas. Sehingga dari sanalah kemudian lahir kebijakan publik dan regulasi yang menjadi panduan dan rujukan dalam menjalankan proses pembangunan.
Kampus sebagai salah satu pilar demokrasi yang penting, bisa memainkan peran dalam melahirkan pemimpin yang memiliki kemampuan dalam menguasai peta persoalan, memahami potensi bangsa serta memiliki solusi setiap persoalan kebangsaan.
Peran Kampus Lahirkan Pilpres Berkualitas Kampus bisa menjadi tempat ujian pertama bagi capres untuk mendengar, berbicara, berdiskusi bahkan berdebat dalam setiap tema yang diangkat, bahkan mengetahui mimik dan gestur tubuh capres adalah salah satu cara untuk mengetahui penguasaan mereka terhadap isu yang sedang dibicarakan, seperti yang dilakukan oleh Donald Trump dan Hillary Clinton dalam debat di Universitas Washington, St Louis, Missouri pada 2016 lalu.
Wakil Rektor Universitas Paramadina
DEBAT antara Donald Trump dan Hillary Clinton dalam pemilihan presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS) yang ke-45 tahun pada 2016 lalu di Universitas Washington, St Louis, Missouri, masih menjadi perbincangan hangat di tengah-tengah pengamat internasional.
Dalam debat tersebut, terlihat bagaimana Trump memanfaatkan momentum debat untuk menguasai panggung dan menyudutkan Hillary dengan sejumlah isu domestik dan internasional AS terkait kebijakan luar negeri AS, permasalahan imigran, skandal Wikilieaks hingga isu terorisme. Debat tersebut kemudian menjadi perdebatan yang paling dramatis dalam sejarah pilpres di Amerika Serikat.
Baca Juga: koran-sindo.com
Terlepas dari cara berdebat yang ditunjukkan oleh kedua kandidat Presiden AS tersebut, sejarah pelibatan kampus perguruan tinggi di AS sebagai tempat atau lokasi perdebatan, telah menjadi tradisi yang sangat kuat dalam setiap pemilihan Presiden di AS.
Selain sebagai tempat atau lokasi debat, kampus berperan untuk mengawal, mengawasi, dan mengevaluasi setiap pelaksanaan pilpres. Sehingga pemilu tidak lagi semata-mata sebagai peristiwa prosedur demokrasi biasa, tetapi mampu menghasilkan pemimpin yang mumpuni dan berkualitas dalam menjawab setiap ekspektasi publik selama pilpres berlangsung.
Selama ini kampus selalu terkendala dalam hal perizinan untuk terlibat langsung dalam setiap pemilu, baik dalam pemilu legislatif (pileg) maupun pilpres. Sebagaimana yang menjadi tafsir dalam Pasal 280 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selama ini, di mana terdapat larangan untuk menggunakan fasilitas tempat pendidikan untuk berkampanye.
Padahal kalau kita lihat kalimat larangan tersebut hanya berlaku untuk menggunakan fasilitas tempat pendidikan, bukan untuk kegiatan kampanyenya. Dengan kata lain, kawasan kampus seharusnya bisa digunakan untuk memaparkan visi-misi bahkan debat terbuka antarcalon.
Musgrave dalam bukunya Public Finance in Theory and Practice (1989), mengungkapkan bahwa kualitas penyusunan anggaran yang menghasilkan kebijakan publik suatu negara, sangat ditentukan oleh proses pemilihan anggota legislatifnya. Artinya anggota legislatif terpilih akan sangat memengaruhi kualitas anggaran dan kebijakan publik yang dihasilkan.
Dalam konteks Indonesia, salah satu tugas dan fungsi anggota DPR dan DPRD adalah menghasilkan produk legislasi yaitu undang-undang (UU) yang digunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat serta membatasi kekuasaan eksekutif sehingga tercipta kehidupan yang harmoni di tengah-tengah masyarakat.
Begitupula dalam konteks pilpres, presiden adalah aktor utama yang akan mengelola anggaran dan kebijakan publik yang dihasilkan. Walaupun nantinya akan didampingi oleh para birokrat dan teknokrat dalam menjalankan pemerintahanya, kemampuan dan kapasitas yang dimiliki seorang presiden dalam memahami peta permasalahan, melihat potensi dan peluang yang dimiliki serta memberikan solusi dalam setiap persoalan bangsa mutlak diperlukan.
Hal tersebut tercermin dalam setiap rancangan undang-undang (RUU) yang diajukan sebagai dasar dalam menentukan kebijakan pemerintahannya. Semakin baik kualitas UU yang dihasilkan, maka kualitas pembangunan yang dihasilkan juga akan semakin baik.
Debat Capres di Kampus
Keberadaan kampus untuk terlibat dalam proses pemilu sangat penting dan strategis. Sebagai kawah candradimuka para akademisi, ilmuan dan mahasiswa, kampus bisa menjadi tempat untuk menguji “isi kepala” yang dimiliki oleh para calon presiden.
Tidak hanya sebatas dokumen visi-misi yang dikerjakan oleh para-tim sukses yang relatif sama dengan setiap calon presiden (capres) yang lain, akan tetapi langsung memberikan ide, gagasan dan solusi dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Mimik dan gestur tubuh para capres sangat penting untuk mengetahui respons mereka terhadap sebuah persoalaam, sebagaimana yang selalu kita saksikan dalam debat calon presiden AS di kampus-kampus yang sudah ditentukan, mulai saat konvensi calon dari partai, hingga debat capres yang sesungguhnya.
Maruah kampus sebagai salah satu pilar demokrasi yang penting perlu terus dijaga. Jangan sampai kampus hanya menjadi penonton di ujung stadion ketika pertandingan berlangsung. Kampus juga tidak hanya sekadar menjadi menara gading yang berjarak dengan agenda-agenda demokrasi penting seperti pemilu. Sehingga tujuan untuk menghadirkan demokrasi yang substantif bisa segera diwujudkan.
Oleh sebab itu, kampus harus mengambil peran untuk memastikan kualitas capres yang akan bertanding layak untuk memimpin bangsa dan negara besar seperti Indonesia.
Netralitas kampus dalam proses politik tetap bisa terjaga denga baik, dalam koridor yang dilindungi oleh konstitusi. Kampus memiliki kebebasan akademik dan otonomi keilmuan yang harus tetap terlindungi.
Bahkan, dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi disebutkan bahwa perguruan tinggi sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendidikan tinggi, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat harus memiliki otonomi dalam mengelola sendiri lembaganya. Hal itu diperlukan agar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan mimbar akademik serta otonomi keilmuan.
Untuk mewujudkan peran kampus dalam proses menghasilkan kontestasi pilpres yang berkualitas, kampus dapat menyiapkan agenda diskusi dan debat yang bermartabat dalam kerangka membangun kesadaran berpolitik dengan pendekatan ilmiah, mengundang capres-cawapres menyampaikan ide dan gagasannya di dalam kampus, dalam koridor keilmuan dan pendidikan politik, bukan hanya sekadar politik praktis yang bersifat partisan.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Forum Rektor Indonesia (FRI) bisa mengagendakan debat capres-cawapres yang diselenggarakan di beberapa kampus yang ditunjuk, mewakili beberapa wilayah di Indonesia, melibatkan seluruh sivitas akademika sebagai panelis tanpa dihalangi oleh aturan yang kaku dan membosankan.
Tradisi konvensi capres dan cawapres perlu terus dilakukan oleh partai politik di Indonesia. Pemilihan capres yang dilakukan oleh partai politik tidak hanya sebatas mempertimbangkan aspek keturunan, popularitas atau dukungan logistik semata, tetapi juga lahir dalam proses konvensi yang teruji terhadap kemampuan intelektul para kandidat.
Koalisi partai politik dalam menentukan capres-cawapres juga perlu dikritisi, sampai saat ini koalisi partai politik masih berkutat dengan transaksi politik yang tidak jelas ukuran dan kriterianya. Sehingga lagi-lagi publik hanya disuguhkan praktik seperti membeli kucing dalam karung. Akibatnya ketika calon diumumkan yang justru mengemuka adalah polarisasi politik dalam beberapa kubu, bukan tema kampanye yang berbasis pada isu dan persoalan kebangsaan yang sedang dihadapi.
Penutup
Menjadi negara demokrasi harus menjadi pilihan sadar bagi seluruh pemangku kepentingan bangsa dan negara. Demokrasi bisa menjadi sarana yang baik untuk mencapai cita-cita bangsa, begitupun sebaliknya. pemilu menjadi instrumen penting dalam demokrasi untuk menghasilkan anggota legislatif dan pemimpin negara dan pemerintahan yang baik dan berkualitas. Sehingga dari sanalah kemudian lahir kebijakan publik dan regulasi yang menjadi panduan dan rujukan dalam menjalankan proses pembangunan.
Kampus sebagai salah satu pilar demokrasi yang penting, bisa memainkan peran dalam melahirkan pemimpin yang memiliki kemampuan dalam menguasai peta persoalan, memahami potensi bangsa serta memiliki solusi setiap persoalan kebangsaan.
Peran Kampus Lahirkan Pilpres Berkualitas Kampus bisa menjadi tempat ujian pertama bagi capres untuk mendengar, berbicara, berdiskusi bahkan berdebat dalam setiap tema yang diangkat, bahkan mengetahui mimik dan gestur tubuh capres adalah salah satu cara untuk mengetahui penguasaan mereka terhadap isu yang sedang dibicarakan, seperti yang dilakukan oleh Donald Trump dan Hillary Clinton dalam debat di Universitas Washington, St Louis, Missouri pada 2016 lalu.
(bmm)