Menggugat Hak Warga Berjalan Kaki
loading...
A
A
A
Merujukan kebijaksanaan ini, maka prasarana pejalan kaki dan sarana transportasi berbasis motor harus ditempatkan setara. Jika kendaraan roda dua dan roda empat terus mendapatkan perhatian dengan memperpanjang dan memperlebar jalur dan lajurnya, maka sudah selayaknya sarana pejalan kaki memperoleh kuantitas dan kualitas mumpuni.
Sayangnya, titah pemerintah tersebut belum disambut maksimal. Pokok persoalan terletak pada aspek konseptual pembangunan kota dan aspek teknis pemanfaatan fasilitas pejalan kaki. Faktor konseptual pertama yakni pembangunan kota tanpa proses merencana dan kendali yang komprehensif.
Awal mula tumbuh kembang kota-kota di Indonesia pada umumnya berjalan secara natural. Pembangunan tempat tinggal atau area kegiatan lainnya dikendalikan masyarakat dan pasar. Alhasil, pembangunan prasarana jalan tanpa memperhitungkan beragam komponen termasuk fasilitas pejalan kaki.
Kedua, disintegrasi fungsi kawasan sebagai rentetan dari pembangunan kota tanpa perencanaan. Letak antarpusat kegiatan berjauhan, sehingga minim keterhubungan fungsi antar tempat. Disintegrasi ini membuat warga kota menggunakan kendaraan bermotor untuk berpindah ke tempat kegiatan berbeda.
Ketiga, gaung mengenai urgensi fasilitas pejalan kaki di Indonesia muncul beberapa dekade terakhir. Pada periode sebelumnya, pengembangan prasarana jalan masih cenderung memprioritaskan pengguna kendaraan bermotor. Sehingga, upaya pembangunan fasilitas pejalan kaki yang berkualitas baik dikemudian hari berhadapan dengan masalah keterbatasan ruang milik jalan.
Selain persoalan konseptual, beberapa catatan pelik pejalan kaki menyangkut aspek teknis pemanfaatan ruang jalan.
Pertama perebutan ruang antara pengendara dan pejalan kaki. Pada jalan raya yang belum dilengkapi fasilitas pejalan kaki atau trotoar rusak tak ayal membuat pejalan kaki harus beradu kecepatan memanfaatkan badan jalan. Jakarta sebagai barometer kota-kota di Indonesia misalnya, hanya memiliki 545.073,65 meter (8%) trotoar dari 6.652.679 meter panjang jalan.
Adapun yang lebih memprihatinkan adalah pencaplokan trotoar oleh pengendara. Sehingga pejalan kaki harus bersusah payah melintas diantara kendaraan yang melintas ataupun sekadar parkir. Kondisi ini kerap kita saksikan pada area sekitar pusat keramaian. Kondisi ini terus terjadi meski mendapat perlawanan dari individu dan komunitas pejalan kaki.
Kedua, perebutan ruang antara pejalan kaki dan pedagang kaki lima (PKL). Data Koalisi Pejalan Kaki, per 2021, hampir 90% trotoar DKI Jakarta terpakai PKL, termasuk parkir liar. Bagi PKL, alasan biaya sewa fasilitas perdagangan serta mendekati konsumen seakan lumrah menempati trotoar sebagai lapak berjualan.
Acapkali lapaknya mengokupasi badan trotoar hingga tak setapak pun tersisa untuk pejalan kaki. Satu-satunya pilihan bagi pejalan kaki adalah memanfaatkan badan jalan meski berhadapan dengan risiko tinggi.
Sayangnya, titah pemerintah tersebut belum disambut maksimal. Pokok persoalan terletak pada aspek konseptual pembangunan kota dan aspek teknis pemanfaatan fasilitas pejalan kaki. Faktor konseptual pertama yakni pembangunan kota tanpa proses merencana dan kendali yang komprehensif.
Awal mula tumbuh kembang kota-kota di Indonesia pada umumnya berjalan secara natural. Pembangunan tempat tinggal atau area kegiatan lainnya dikendalikan masyarakat dan pasar. Alhasil, pembangunan prasarana jalan tanpa memperhitungkan beragam komponen termasuk fasilitas pejalan kaki.
Kedua, disintegrasi fungsi kawasan sebagai rentetan dari pembangunan kota tanpa perencanaan. Letak antarpusat kegiatan berjauhan, sehingga minim keterhubungan fungsi antar tempat. Disintegrasi ini membuat warga kota menggunakan kendaraan bermotor untuk berpindah ke tempat kegiatan berbeda.
Ketiga, gaung mengenai urgensi fasilitas pejalan kaki di Indonesia muncul beberapa dekade terakhir. Pada periode sebelumnya, pengembangan prasarana jalan masih cenderung memprioritaskan pengguna kendaraan bermotor. Sehingga, upaya pembangunan fasilitas pejalan kaki yang berkualitas baik dikemudian hari berhadapan dengan masalah keterbatasan ruang milik jalan.
Selain persoalan konseptual, beberapa catatan pelik pejalan kaki menyangkut aspek teknis pemanfaatan ruang jalan.
Pertama perebutan ruang antara pengendara dan pejalan kaki. Pada jalan raya yang belum dilengkapi fasilitas pejalan kaki atau trotoar rusak tak ayal membuat pejalan kaki harus beradu kecepatan memanfaatkan badan jalan. Jakarta sebagai barometer kota-kota di Indonesia misalnya, hanya memiliki 545.073,65 meter (8%) trotoar dari 6.652.679 meter panjang jalan.
Adapun yang lebih memprihatinkan adalah pencaplokan trotoar oleh pengendara. Sehingga pejalan kaki harus bersusah payah melintas diantara kendaraan yang melintas ataupun sekadar parkir. Kondisi ini kerap kita saksikan pada area sekitar pusat keramaian. Kondisi ini terus terjadi meski mendapat perlawanan dari individu dan komunitas pejalan kaki.
Kedua, perebutan ruang antara pejalan kaki dan pedagang kaki lima (PKL). Data Koalisi Pejalan Kaki, per 2021, hampir 90% trotoar DKI Jakarta terpakai PKL, termasuk parkir liar. Bagi PKL, alasan biaya sewa fasilitas perdagangan serta mendekati konsumen seakan lumrah menempati trotoar sebagai lapak berjualan.
Acapkali lapaknya mengokupasi badan trotoar hingga tak setapak pun tersisa untuk pejalan kaki. Satu-satunya pilihan bagi pejalan kaki adalah memanfaatkan badan jalan meski berhadapan dengan risiko tinggi.