Jejak Perempuan dalam Gerakan Literasi Digital
Kamis, 22 Desember 2022 - 22:44 WIB
Dalam perannya sebagai Ibu, perempuan juga rentan mengalami kesehatan mental yang disebabkan oleh kekhawatiran mereka terhadap perilaku berinternet anak-anaknya yang tidak bijak.
Suksesi Literasi Digital Perempuan
Transformasi digital yang berlangsung sangat cepat serta belum meratanya pemahaman literasi digital, menjadi beberapa penyebab maraknya kasus siber di masyarakat, khususnya yang menimpa perempuan. Karena itu, literasi digital sangat dibutuhkan supaya perempuan Indonesia bisa semakin berdaya dengan memanfaatkan TIK ini untuk hal-hal positif dan produktif serta mewaspadai hal-hal negatif yang bisa berakibat buruk pada dirinya, keluarga, maupun masyarakat di sekitarnya.
Istilah literasi digital sudah muncul sejak 1997. Dalam Buku Gerakan Literasi Nasional, Paul Gilster mendefinisikannya sebagai kemampuan memahami dan menggunakan informasi dari berbagai sumber sehari-hari. Saat ini, istilah literasi digital telah semakin akrab dalam keseharian masyarakat, terutama setelah pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang bekerja sama dengan Siberkreasi –sebuah gerakan kolaboratif multipihak yang terdiri dari unsur pemerintah, swasta, masyarakat, media hingga akademisi - meluncurkan Program Literasi Digital Nasional pada 2021.
Literasi Digital Nasional merupakan program yang menjadi bagian dari upaya percepatan transformasi digital. Program ini menyelenggarakan puluhan ribu pelatihan yang menjangkau lebih dari 12,4 juta partisipan di 514 kabupaten/kota yang berada di 34 provinsi di Indonesia. Adapun kurikulum yang disampaikan menyasar pada empat pilar literasi digital, yaitu etika digital (digital ethics), keamanan digital (digital safety), keterampilan digital (digital skill), dan budaya digital (digital culture).
Dalam konteks literasi digital, perempuan Indonesia telah melakukan banyak peran baik sebagai subjek maupun objek. Sebagai subjek, di era digital ini banyak perempuan Indonesia yang menjadi pegiat literasi digital. Mereka aktif berkontribusi, memberdayakan, dan menginisiasi berbagai gerakan yang berdampak luas untuk masyarakat.
Dalam program literasi digital nasional, banyak perempuan yang aktif berkontribusi baik sebagai individu maupun mewakili komunitas atau instansinya. Bahkan, di antaranya menduduki posisi strategis di perusahaan, pemerintahan atau komunitasnya dengan menjabat sebagai CEO, ketua atau koordinator, seperti di Kumpulan Emak-Emak Blogger, Jaringan Peneliti Literasi Digital (Japelidi), Sejiwa, Keluarga Digital Indonesia, Indonesian Women Information Technology Awareness (IWITA), dan sebagainya.
Selain itu, perempuan sebagai subjek juga banyak dilihat dari kiprah mereka sebagai bagian dari komunitas yang aktif berkontribusi mengedukasi literasi digital. Sebagai contoh, menjadi relawan antihoaksdan bergabung dalam Mafindo, pembicara internet sehat seperti yang dilakukan oleh ICT Watch, menjadi programmer, penggerak ekonomi digital, penulis buku dan modul literasi digital, peneliti, agen perdamaian dalam kasus radikalisme, membuat konten-konten yang produktif dan inspiratif, membuat aplikasi, dan masih banyak lagi.
Sebagai objek, perempuan juga menjadi salah satu yang utama dari program literasi digital nasional. Beberapa program dibuat dan dan diikuti oleh perempuan dengan tujuan untuk meningkatkan kecakapan digital, pemberdayaan perempuan, dan literasi digital sehingga mereka mampu mengoptimalkan dirinya untuk berdaya baik di lingkungan keluarga (sektor domestik ) maupun masyarakat (sektor publik).
Melihat banyaknya tantangan dan peluang di era digital, penting bagi perempuan Indonesia untuk terus belajar dan meningkatkan kapasitas dirinya di bidang digital. Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah membuka banyak peluang, manfaat, kemudahan dan kesejahteraan bagi masyarakat, termasuk perempuan. Dengan adanya internet, mereka memiliki banyak ruang untuk berkarya, saling memberdayakan, berjejaring, berekspresi, berbagi, menginspirasi, bahkan mendapatkan penghasilan sendiri.
Suksesi Literasi Digital Perempuan
Transformasi digital yang berlangsung sangat cepat serta belum meratanya pemahaman literasi digital, menjadi beberapa penyebab maraknya kasus siber di masyarakat, khususnya yang menimpa perempuan. Karena itu, literasi digital sangat dibutuhkan supaya perempuan Indonesia bisa semakin berdaya dengan memanfaatkan TIK ini untuk hal-hal positif dan produktif serta mewaspadai hal-hal negatif yang bisa berakibat buruk pada dirinya, keluarga, maupun masyarakat di sekitarnya.
Istilah literasi digital sudah muncul sejak 1997. Dalam Buku Gerakan Literasi Nasional, Paul Gilster mendefinisikannya sebagai kemampuan memahami dan menggunakan informasi dari berbagai sumber sehari-hari. Saat ini, istilah literasi digital telah semakin akrab dalam keseharian masyarakat, terutama setelah pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang bekerja sama dengan Siberkreasi –sebuah gerakan kolaboratif multipihak yang terdiri dari unsur pemerintah, swasta, masyarakat, media hingga akademisi - meluncurkan Program Literasi Digital Nasional pada 2021.
Literasi Digital Nasional merupakan program yang menjadi bagian dari upaya percepatan transformasi digital. Program ini menyelenggarakan puluhan ribu pelatihan yang menjangkau lebih dari 12,4 juta partisipan di 514 kabupaten/kota yang berada di 34 provinsi di Indonesia. Adapun kurikulum yang disampaikan menyasar pada empat pilar literasi digital, yaitu etika digital (digital ethics), keamanan digital (digital safety), keterampilan digital (digital skill), dan budaya digital (digital culture).
Dalam konteks literasi digital, perempuan Indonesia telah melakukan banyak peran baik sebagai subjek maupun objek. Sebagai subjek, di era digital ini banyak perempuan Indonesia yang menjadi pegiat literasi digital. Mereka aktif berkontribusi, memberdayakan, dan menginisiasi berbagai gerakan yang berdampak luas untuk masyarakat.
Dalam program literasi digital nasional, banyak perempuan yang aktif berkontribusi baik sebagai individu maupun mewakili komunitas atau instansinya. Bahkan, di antaranya menduduki posisi strategis di perusahaan, pemerintahan atau komunitasnya dengan menjabat sebagai CEO, ketua atau koordinator, seperti di Kumpulan Emak-Emak Blogger, Jaringan Peneliti Literasi Digital (Japelidi), Sejiwa, Keluarga Digital Indonesia, Indonesian Women Information Technology Awareness (IWITA), dan sebagainya.
Selain itu, perempuan sebagai subjek juga banyak dilihat dari kiprah mereka sebagai bagian dari komunitas yang aktif berkontribusi mengedukasi literasi digital. Sebagai contoh, menjadi relawan antihoaksdan bergabung dalam Mafindo, pembicara internet sehat seperti yang dilakukan oleh ICT Watch, menjadi programmer, penggerak ekonomi digital, penulis buku dan modul literasi digital, peneliti, agen perdamaian dalam kasus radikalisme, membuat konten-konten yang produktif dan inspiratif, membuat aplikasi, dan masih banyak lagi.
Sebagai objek, perempuan juga menjadi salah satu yang utama dari program literasi digital nasional. Beberapa program dibuat dan dan diikuti oleh perempuan dengan tujuan untuk meningkatkan kecakapan digital, pemberdayaan perempuan, dan literasi digital sehingga mereka mampu mengoptimalkan dirinya untuk berdaya baik di lingkungan keluarga (sektor domestik ) maupun masyarakat (sektor publik).
Melihat banyaknya tantangan dan peluang di era digital, penting bagi perempuan Indonesia untuk terus belajar dan meningkatkan kapasitas dirinya di bidang digital. Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah membuka banyak peluang, manfaat, kemudahan dan kesejahteraan bagi masyarakat, termasuk perempuan. Dengan adanya internet, mereka memiliki banyak ruang untuk berkarya, saling memberdayakan, berjejaring, berekspresi, berbagi, menginspirasi, bahkan mendapatkan penghasilan sendiri.
tulis komentar anda