Jejak Perempuan dalam Gerakan Literasi Digital

Kamis, 22 Desember 2022 - 22:44 WIB
loading...
Jejak Perempuan dalam Gerakan Literasi Digital
Rita Nurlita (Foto: ist)
A A A
Rita Nurlita
Founder Keluarga Digital Indonesia

GERAKAN perempuan di Indonesia telah muncul sejak 1900-an. M. C Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004 (2005) menyebutkan bahwa kebijakan politik etis yang diterapkan oleh pemerintahan kolonial Belanda telah melatarbelakangi hadirnya pergerakan perempuan ini. Beberapa organisasi perempuan seperti Poetri Mardika, Aisyiyah, dan Kartini Fonds telah berkontribusi besar dalam membangun kesadaran perempuan untuk turut serta dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Meskipun sejak akhir abad ke-19 hingga saat ini banyak mengalami pasang surut, organisasi-organisasi perempuan di Indonesia terus melaju. Disatukan oleh tujuan yang sama, yaitu untuk mengangkat posisi perempuan dalam berbagai bidang, mereka terus berjuang, saling menguatkan dan memberdayakan. Pada setiap perubahan, mereka selalu fasih beradaptasi dalam menghadapi tantangan zaman.

Perempuan di Era Digital
Perkenalan perempuan dengan dunia digital sebenarnya telah terjalin lama. Dalam tulisannya yang berjudul “Perempuan, Literasi dan Ketimpangan Digital,” Kathleen Azali menyebutkan beberapa perempuan yang menjadi pelopor dalam teknologi informasi, seperti Ada Lovelace yang menciptakan program komputer pertama di abad ke-19; Hedy Lamarr, penemu teknologi frequency hopping yang menjadi dasar teknologi bluetooh; dan Katherine Johnson yang menangani berbagai kalkulasi rumit NASA.

Meskipun jejak perempuan dalam dunia digital sudah terekam sejak abad ke-19, kesenjangan akses dan penguasaan teknologi informasi komunikasi (TIK) antara perempuan dan laki-laki hingga kini masih dirasa cukup besar. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) disebutkan bahwa akses internet untuk kaum perempuan secara konsisten mengalami kesenjangan selama periode 2016 hingga 2019. Pada 2019, jumlah perempuan pengguna komputer hanya 13,77%, sedangkan laki-laki mencapai 15,17%.

Kesenjangan ini digambarkan oleh Karlina Octaviany dalam tulisannya yang berjudul “Para Ibu yang Terabaikan dalam Pusaran Hoaks”. Karlina menyebutkan bahwa saat ini banyak ibu-ibu di Jakarta yang tidak mengetahui apa itu peramban (browser), tidak mengerti cara mengoneksikan Wi-Fi, mengisi voucher kuota, mengetik melalui layar sentuh di smartphone, bahkan tidak memiliki kontrol penuh atas akun yang dimilikinya karena akun-akun yang dimiliki dibuat atau dipegang oleh orang lain.

Bila menelisik lebih jauh, bisa diketahui bahwa selain kemampuan dalam menggunakan teknologi (digital skill), perempuan juga dihadapkan pada tantangan dan ancaman lainnya di ruang digital. Mereka rentan mengalami penipuan online, korban pinjaman online, predator online, ancaman pornografi, cyberbullying, kekerasan seksual online, cyber stalking (penguntitan di ranah digital), penyebaran hoaks, adiksi (kecanduan) media sosial, serta menjadi korban kejahatan dan konten negatif lainnya.

Dalam perannya sebagai Ibu, perempuan juga rentan mengalami kesehatan mental yang disebabkan oleh kekhawatiran mereka terhadap perilaku berinternet anak-anaknya yang tidak bijak.

Suksesi Literasi Digital Perempuan
Transformasi digital yang berlangsung sangat cepat serta belum meratanya pemahaman literasi digital, menjadi beberapa penyebab maraknya kasus siber di masyarakat, khususnya yang menimpa perempuan. Karena itu, literasi digital sangat dibutuhkan supaya perempuan Indonesia bisa semakin berdaya dengan memanfaatkan TIK ini untuk hal-hal positif dan produktif serta mewaspadai hal-hal negatif yang bisa berakibat buruk pada dirinya, keluarga, maupun masyarakat di sekitarnya.

Istilah literasi digital sudah muncul sejak 1997. Dalam Buku Gerakan Literasi Nasional, Paul Gilster mendefinisikannya sebagai kemampuan memahami dan menggunakan informasi dari berbagai sumber sehari-hari. Saat ini, istilah literasi digital telah semakin akrab dalam keseharian masyarakat, terutama setelah pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang bekerja sama dengan Siberkreasi –sebuah gerakan kolaboratif multipihak yang terdiri dari unsur pemerintah, swasta, masyarakat, media hingga akademisi - meluncurkan Program Literasi Digital Nasional pada 2021.

Literasi Digital Nasional merupakan program yang menjadi bagian dari upaya percepatan transformasi digital. Program ini menyelenggarakan puluhan ribu pelatihan yang menjangkau lebih dari 12,4 juta partisipan di 514 kabupaten/kota yang berada di 34 provinsi di Indonesia. Adapun kurikulum yang disampaikan menyasar pada empat pilar literasi digital, yaitu etika digital (digital ethics), keamanan digital (digital safety), keterampilan digital (digital skill), dan budaya digital (digital culture).

Dalam konteks literasi digital, perempuan Indonesia telah melakukan banyak peran baik sebagai subjek maupun objek. Sebagai subjek, di era digital ini banyak perempuan Indonesia yang menjadi pegiat literasi digital. Mereka aktif berkontribusi, memberdayakan, dan menginisiasi berbagai gerakan yang berdampak luas untuk masyarakat.

Dalam program literasi digital nasional, banyak perempuan yang aktif berkontribusi baik sebagai individu maupun mewakili komunitas atau instansinya. Bahkan, di antaranya menduduki posisi strategis di perusahaan, pemerintahan atau komunitasnya dengan menjabat sebagai CEO, ketua atau koordinator, seperti di Kumpulan Emak-Emak Blogger, Jaringan Peneliti Literasi Digital (Japelidi), Sejiwa, Keluarga Digital Indonesia, Indonesian Women Information Technology Awareness (IWITA), dan sebagainya.

Selain itu, perempuan sebagai subjek juga banyak dilihat dari kiprah mereka sebagai bagian dari komunitas yang aktif berkontribusi mengedukasi literasi digital. Sebagai contoh, menjadi relawan antihoaksdan bergabung dalam Mafindo, pembicara internet sehat seperti yang dilakukan oleh ICT Watch, menjadi programmer, penggerak ekonomi digital, penulis buku dan modul literasi digital, peneliti, agen perdamaian dalam kasus radikalisme, membuat konten-konten yang produktif dan inspiratif, membuat aplikasi, dan masih banyak lagi.

Sebagai objek, perempuan juga menjadi salah satu yang utama dari program literasi digital nasional. Beberapa program dibuat dan dan diikuti oleh perempuan dengan tujuan untuk meningkatkan kecakapan digital, pemberdayaan perempuan, dan literasi digital sehingga mereka mampu mengoptimalkan dirinya untuk berdaya baik di lingkungan keluarga (sektor domestik ) maupun masyarakat (sektor publik).

Melihat banyaknya tantangan dan peluang di era digital, penting bagi perempuan Indonesia untuk terus belajar dan meningkatkan kapasitas dirinya di bidang digital. Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah membuka banyak peluang, manfaat, kemudahan dan kesejahteraan bagi masyarakat, termasuk perempuan. Dengan adanya internet, mereka memiliki banyak ruang untuk berkarya, saling memberdayakan, berjejaring, berekspresi, berbagi, menginspirasi, bahkan mendapatkan penghasilan sendiri.

Bila kaum perempuan memiliki pemahaman literasi digital yang baik, mereka akan mampu memanfaatkan teknologi secara maksimal dan bijaksana. Hal ini tentunya bisa memberikan dampak yang positif bagi perempuan karena mereka bisa mengoptimalkan teknologi untuk kebermanfaatan dirinya, keluarga dan lingkungannya. Dengan demikian, setiap gerakan yang mereka lakukan baik saat berbagi atau belajar, diharapkan bisa terekam dan dapat meninggalkan jejak-jejak positif dalam peradaban.

(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2770 seconds (0.1#10.140)