Pupusnya Harapan Kehadiran Ruang Publik

Sabtu, 11 Juli 2020 - 09:01 WIB
Terlegitimasi. Semua pihak dengan bahasa yang dikuasai dan keleluasaan yang dimilikinya, dapat mengutarakan pendapatnya sekaligus didengar pihak lain. Usulannya diakomodasi dalam produk hukum. Sekaligus mengakomodasi pendapat pihak lain, lewat negosiasi yang terbuka.

Maka tak ada alasan bagi siapa pun yang telah terlibat dalam adu pendapat, untuk tak mendukung produk hukum yang dihasilkan. Inilah legitimasi yang mengatasi keberagaman. Paradigma dialog pihak yang berbeda, menghasilkan konsensus yang diakui semua. Mestinya, demokrasi juga berjalan seperti itu. Demokrasi didasarkan pada deliberasi semua pihak, yang bakal jadi obyek produk hukum yang dihasilkan. Sehingga tak ada alasan mengingkari demokrasi di tengah jalan, lantaran tak cocok oleh kehendaknya yang terabaikan. Atau malah terinjak.

Tapi sempat disebut, konsep Habermas tentang paradigma dialog di ruang publik ini, sebagai utopis. Ini lantaran tak terbayangkan, dialog di ruang mana dan berapa lama waktunya bisa dilangsungkan untuk mendengar semua pendapat, seraya berdialog temukan jalan tengah? Ini mungkin kelemahan ruang-ruang analog, yang tersedia saat pikiran Habermas diumumkan. Habermas memang menyebut ruang publik itu semacam kafe-kafe yang banyak bermunculan di Eropa, dan jadi tempat berkumpul banyak orang untuk membahas apa saja.

Kini, di tengah peradaban manusia yang disebut industry 4.0, muncul space of flows, sebagaimana sebutan Manuel Castells, untuk adanya ruang yang tak meruang dalam wujud fisik. Ia hadir berupa ruang-ruang dalam aliran. Ruang yang dapat hadir secara majemuk, dalam satu waktu bersamaan. Ini karena ruang itu tak hadir oleh ikatan waktu yang mewaktu, timeless time.

Ruang publik Habermas yang tetap diidamkan hingga di usianya yang lanjut, tampak dapat diharapkan kembali. Pada ruang publik yang terbangun oleh intensifnya penggunaan mikro elektronik ini, dapat melibatkan siapa pun lengkap dengan keanekaragaman identitasnya.

Para pemilik ruang, dapat mengembangkan pikiran apa pun, seraya memperoleh tanggapan dari pihak lain. Semua terjadi tanpa intimidasi, tanpa kesulitan berbahasa di luar kebiasaan dan tanpa adanya tekanan kepentingan pihak lain. Ruang-ruang publik itu pernah ditumpukan pada media sosial yang dapat dimiliki siapa saja bersama konten yang dihasilkannya.. Konten jadi intisari paradigma dialog.

Dalam realitasnya kini, ruang publik kembali gagal dihadirkan ketika bertumpu pada media sosial. Media ini, belakangan lebih jadi medium mengomel apapun. Alih-alih melakukan dialog, tak jarang rasa heran, ketaktahuan, hingga rasa marah lebih ditradisikan dalam bentuk uraian yang panjang lebar.

Ini kerap disebut a thread, sebuah utas di twitter. Mengagumi sesuatu, a thread, menyesali sesuatu a thread, tak puas pada layanan a thread. Sifat monolog a thread, lebih mengundang pendapat para pihak yang tak ada urusannya dengan yang dibicarakan, Berbantahan tanpa sumbu substansi yang dipersoalkan Sehingga, dialog yang diharapkan jadi wujud paradigma dialog gagal dihadirkan. Kegagalan yang memupuskan harapan pada lahirnya ruang publik yang dapat dijangkau setiap orang, dalam ruang dan waktu yang tak terbatas. Lalu bagaimana nasib demokrasi?
(dam)
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More