Pupusnya Harapan Kehadiran Ruang Publik
loading...
A
A
A
Dr Firman Kurniawan S
Pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org
DAPATKAH masyarakat yang memiliki keragaman tinggi, agama, suku bangsa, termasuk kelas sosial yang lebar perbedaannya, punya produk hukum yang terlegitimasi dan dipatuhi semua golongan yang berbeda? Ini adalah pertanyaan Jurgen Habermas, seorang filsuf Jerman yang usianya hari ini mencapai 91 tahun, namun masih aktif menyelenggarakan kuliah-kuliahnya seputar ruang publik.
Untuk pencapaian itu, kita doakan panjang umur kebaikan bagi para guru dan pencerah! Pertanyaan yang dilontarkan itu jadi penting, manakala di ruang-ruang keberagaman yang tinggi, hampir tak ditemukan celah untuk peroleh kesepakatan hadirnya produk hukum yang dapat diterima semua pihak.
Yang ada, produk yang memedulikan kelompok mayoritas namun menyisihkan pihak minoritas. Ini akibat tiap pihak secara alamiah merasa kelompoknya yang paling penting dan harus dapat jatah duluan.
Namun bagi Habermas dalam bukunya Structural Transformation of Public Sphere, yang terbit pertama kali di tahun 1962, menyebut adanya Pffentlichkeit, yang artinya kurang lebih “menjadi publik” atau “ruang yang dapat dimanfaatkan publik secara terbuka”.
Hari ini, ruang itu populer disebut sebagai public sphere atau ruang publik. Pada ruang inilah hadir subyek pembuat aturan, subyek yang dikenai aturan, atau siapa pun peminat lainnya. Mereka dapat membicarakan keresahan bersamanya secara lantang terbuka, tanpa khawatir adanya intimidasi atau cibiran keresahannya dianggap mengada-ada.
Katakan saja pembicaraan tentang pajak binatang peliharaan, yang tarifnya naik mendadak. Para hadirin adalah yang paham hukum perpajakan binatang peliharaan, bisa juga yang sama sekali tak paham. Juga, yang hadir boleh yang paham urusan keuangan negara, maupun yang awam sama sekali. Bahkan yang tak punya kepentingan terhadap obyek pembicaraan pun, tetap boleh hadir dan menyuarakan pendapatnya. Sehingga, bahasa yang digunakan bukanlah bahasa orang yang melek hukum, yang membuat yang tak paham hukum, pilih bungkam. Atau bahasa yang digunakan ahli keuangan negara, sehingga yang tak pernah belajar jadi merasa terpinggir. Bahasa yang digunakan dalam ruang publik adalah bahasa sehari-hari yang dimengerti semua orang.
Dalam proses dialognya pun, setiap pihak merasa perlu menunda kepentingannya masing-masing dan ada urgensi mendengar bicara pihak lain. Adanya intimidasi atau upaya penonjolan kepentingan, tak diizinkan. Ini semua lantaran etika yang dipatuhi, bukan larangan tertulis dari suasana utopis ruang publik yang diangankan itu, dipastikan diperoleh produk hukum yang didukung bersama.
Terlegitimasi. Semua pihak dengan bahasa yang dikuasai dan keleluasaan yang dimilikinya, dapat mengutarakan pendapatnya sekaligus didengar pihak lain. Usulannya diakomodasi dalam produk hukum. Sekaligus mengakomodasi pendapat pihak lain, lewat negosiasi yang terbuka.
Maka tak ada alasan bagi siapa pun yang telah terlibat dalam adu pendapat, untuk tak mendukung produk hukum yang dihasilkan. Inilah legitimasi yang mengatasi keberagaman. Paradigma dialog pihak yang berbeda, menghasilkan konsensus yang diakui semua. Mestinya, demokrasi juga berjalan seperti itu. Demokrasi didasarkan pada deliberasi semua pihak, yang bakal jadi obyek produk hukum yang dihasilkan. Sehingga tak ada alasan mengingkari demokrasi di tengah jalan, lantaran tak cocok oleh kehendaknya yang terabaikan. Atau malah terinjak.
Tapi sempat disebut, konsep Habermas tentang paradigma dialog di ruang publik ini, sebagai utopis. Ini lantaran tak terbayangkan, dialog di ruang mana dan berapa lama waktunya bisa dilangsungkan untuk mendengar semua pendapat, seraya berdialog temukan jalan tengah? Ini mungkin kelemahan ruang-ruang analog, yang tersedia saat pikiran Habermas diumumkan. Habermas memang menyebut ruang publik itu semacam kafe-kafe yang banyak bermunculan di Eropa, dan jadi tempat berkumpul banyak orang untuk membahas apa saja.
Kini, di tengah peradaban manusia yang disebut industry 4.0, muncul space of flows, sebagaimana sebutan Manuel Castells, untuk adanya ruang yang tak meruang dalam wujud fisik. Ia hadir berupa ruang-ruang dalam aliran. Ruang yang dapat hadir secara majemuk, dalam satu waktu bersamaan. Ini karena ruang itu tak hadir oleh ikatan waktu yang mewaktu, timeless time.
Ruang publik Habermas yang tetap diidamkan hingga di usianya yang lanjut, tampak dapat diharapkan kembali. Pada ruang publik yang terbangun oleh intensifnya penggunaan mikro elektronik ini, dapat melibatkan siapa pun lengkap dengan keanekaragaman identitasnya.
Para pemilik ruang, dapat mengembangkan pikiran apa pun, seraya memperoleh tanggapan dari pihak lain. Semua terjadi tanpa intimidasi, tanpa kesulitan berbahasa di luar kebiasaan dan tanpa adanya tekanan kepentingan pihak lain. Ruang-ruang publik itu pernah ditumpukan pada media sosial yang dapat dimiliki siapa saja bersama konten yang dihasilkannya.. Konten jadi intisari paradigma dialog.
Dalam realitasnya kini, ruang publik kembali gagal dihadirkan ketika bertumpu pada media sosial. Media ini, belakangan lebih jadi medium mengomel apapun. Alih-alih melakukan dialog, tak jarang rasa heran, ketaktahuan, hingga rasa marah lebih ditradisikan dalam bentuk uraian yang panjang lebar.
Ini kerap disebut a thread, sebuah utas di twitter. Mengagumi sesuatu, a thread, menyesali sesuatu a thread, tak puas pada layanan a thread. Sifat monolog a thread, lebih mengundang pendapat para pihak yang tak ada urusannya dengan yang dibicarakan, Berbantahan tanpa sumbu substansi yang dipersoalkan Sehingga, dialog yang diharapkan jadi wujud paradigma dialog gagal dihadirkan. Kegagalan yang memupuskan harapan pada lahirnya ruang publik yang dapat dijangkau setiap orang, dalam ruang dan waktu yang tak terbatas. Lalu bagaimana nasib demokrasi?
Pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org
DAPATKAH masyarakat yang memiliki keragaman tinggi, agama, suku bangsa, termasuk kelas sosial yang lebar perbedaannya, punya produk hukum yang terlegitimasi dan dipatuhi semua golongan yang berbeda? Ini adalah pertanyaan Jurgen Habermas, seorang filsuf Jerman yang usianya hari ini mencapai 91 tahun, namun masih aktif menyelenggarakan kuliah-kuliahnya seputar ruang publik.
Untuk pencapaian itu, kita doakan panjang umur kebaikan bagi para guru dan pencerah! Pertanyaan yang dilontarkan itu jadi penting, manakala di ruang-ruang keberagaman yang tinggi, hampir tak ditemukan celah untuk peroleh kesepakatan hadirnya produk hukum yang dapat diterima semua pihak.
Yang ada, produk yang memedulikan kelompok mayoritas namun menyisihkan pihak minoritas. Ini akibat tiap pihak secara alamiah merasa kelompoknya yang paling penting dan harus dapat jatah duluan.
Namun bagi Habermas dalam bukunya Structural Transformation of Public Sphere, yang terbit pertama kali di tahun 1962, menyebut adanya Pffentlichkeit, yang artinya kurang lebih “menjadi publik” atau “ruang yang dapat dimanfaatkan publik secara terbuka”.
Hari ini, ruang itu populer disebut sebagai public sphere atau ruang publik. Pada ruang inilah hadir subyek pembuat aturan, subyek yang dikenai aturan, atau siapa pun peminat lainnya. Mereka dapat membicarakan keresahan bersamanya secara lantang terbuka, tanpa khawatir adanya intimidasi atau cibiran keresahannya dianggap mengada-ada.
Katakan saja pembicaraan tentang pajak binatang peliharaan, yang tarifnya naik mendadak. Para hadirin adalah yang paham hukum perpajakan binatang peliharaan, bisa juga yang sama sekali tak paham. Juga, yang hadir boleh yang paham urusan keuangan negara, maupun yang awam sama sekali. Bahkan yang tak punya kepentingan terhadap obyek pembicaraan pun, tetap boleh hadir dan menyuarakan pendapatnya. Sehingga, bahasa yang digunakan bukanlah bahasa orang yang melek hukum, yang membuat yang tak paham hukum, pilih bungkam. Atau bahasa yang digunakan ahli keuangan negara, sehingga yang tak pernah belajar jadi merasa terpinggir. Bahasa yang digunakan dalam ruang publik adalah bahasa sehari-hari yang dimengerti semua orang.
Dalam proses dialognya pun, setiap pihak merasa perlu menunda kepentingannya masing-masing dan ada urgensi mendengar bicara pihak lain. Adanya intimidasi atau upaya penonjolan kepentingan, tak diizinkan. Ini semua lantaran etika yang dipatuhi, bukan larangan tertulis dari suasana utopis ruang publik yang diangankan itu, dipastikan diperoleh produk hukum yang didukung bersama.
Terlegitimasi. Semua pihak dengan bahasa yang dikuasai dan keleluasaan yang dimilikinya, dapat mengutarakan pendapatnya sekaligus didengar pihak lain. Usulannya diakomodasi dalam produk hukum. Sekaligus mengakomodasi pendapat pihak lain, lewat negosiasi yang terbuka.
Maka tak ada alasan bagi siapa pun yang telah terlibat dalam adu pendapat, untuk tak mendukung produk hukum yang dihasilkan. Inilah legitimasi yang mengatasi keberagaman. Paradigma dialog pihak yang berbeda, menghasilkan konsensus yang diakui semua. Mestinya, demokrasi juga berjalan seperti itu. Demokrasi didasarkan pada deliberasi semua pihak, yang bakal jadi obyek produk hukum yang dihasilkan. Sehingga tak ada alasan mengingkari demokrasi di tengah jalan, lantaran tak cocok oleh kehendaknya yang terabaikan. Atau malah terinjak.
Tapi sempat disebut, konsep Habermas tentang paradigma dialog di ruang publik ini, sebagai utopis. Ini lantaran tak terbayangkan, dialog di ruang mana dan berapa lama waktunya bisa dilangsungkan untuk mendengar semua pendapat, seraya berdialog temukan jalan tengah? Ini mungkin kelemahan ruang-ruang analog, yang tersedia saat pikiran Habermas diumumkan. Habermas memang menyebut ruang publik itu semacam kafe-kafe yang banyak bermunculan di Eropa, dan jadi tempat berkumpul banyak orang untuk membahas apa saja.
Kini, di tengah peradaban manusia yang disebut industry 4.0, muncul space of flows, sebagaimana sebutan Manuel Castells, untuk adanya ruang yang tak meruang dalam wujud fisik. Ia hadir berupa ruang-ruang dalam aliran. Ruang yang dapat hadir secara majemuk, dalam satu waktu bersamaan. Ini karena ruang itu tak hadir oleh ikatan waktu yang mewaktu, timeless time.
Ruang publik Habermas yang tetap diidamkan hingga di usianya yang lanjut, tampak dapat diharapkan kembali. Pada ruang publik yang terbangun oleh intensifnya penggunaan mikro elektronik ini, dapat melibatkan siapa pun lengkap dengan keanekaragaman identitasnya.
Para pemilik ruang, dapat mengembangkan pikiran apa pun, seraya memperoleh tanggapan dari pihak lain. Semua terjadi tanpa intimidasi, tanpa kesulitan berbahasa di luar kebiasaan dan tanpa adanya tekanan kepentingan pihak lain. Ruang-ruang publik itu pernah ditumpukan pada media sosial yang dapat dimiliki siapa saja bersama konten yang dihasilkannya.. Konten jadi intisari paradigma dialog.
Dalam realitasnya kini, ruang publik kembali gagal dihadirkan ketika bertumpu pada media sosial. Media ini, belakangan lebih jadi medium mengomel apapun. Alih-alih melakukan dialog, tak jarang rasa heran, ketaktahuan, hingga rasa marah lebih ditradisikan dalam bentuk uraian yang panjang lebar.
Ini kerap disebut a thread, sebuah utas di twitter. Mengagumi sesuatu, a thread, menyesali sesuatu a thread, tak puas pada layanan a thread. Sifat monolog a thread, lebih mengundang pendapat para pihak yang tak ada urusannya dengan yang dibicarakan, Berbantahan tanpa sumbu substansi yang dipersoalkan Sehingga, dialog yang diharapkan jadi wujud paradigma dialog gagal dihadirkan. Kegagalan yang memupuskan harapan pada lahirnya ruang publik yang dapat dijangkau setiap orang, dalam ruang dan waktu yang tak terbatas. Lalu bagaimana nasib demokrasi?
(dam)