Pupusnya Harapan Kehadiran Ruang Publik
Sabtu, 11 Juli 2020 - 09:01 WIB
Dr Firman Kurniawan S
Pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org
DAPATKAH masyarakat yang memiliki keragaman tinggi, agama, suku bangsa, termasuk kelas sosial yang lebar perbedaannya, punya produk hukum yang terlegitimasi dan dipatuhi semua golongan yang berbeda? Ini adalah pertanyaan Jurgen Habermas, seorang filsuf Jerman yang usianya hari ini mencapai 91 tahun, namun masih aktif menyelenggarakan kuliah-kuliahnya seputar ruang publik.
Untuk pencapaian itu, kita doakan panjang umur kebaikan bagi para guru dan pencerah! Pertanyaan yang dilontarkan itu jadi penting, manakala di ruang-ruang keberagaman yang tinggi, hampir tak ditemukan celah untuk peroleh kesepakatan hadirnya produk hukum yang dapat diterima semua pihak.
Yang ada, produk yang memedulikan kelompok mayoritas namun menyisihkan pihak minoritas. Ini akibat tiap pihak secara alamiah merasa kelompoknya yang paling penting dan harus dapat jatah duluan.
Namun bagi Habermas dalam bukunya Structural Transformation of Public Sphere, yang terbit pertama kali di tahun 1962, menyebut adanya Pffentlichkeit, yang artinya kurang lebih “menjadi publik” atau “ruang yang dapat dimanfaatkan publik secara terbuka”.
Hari ini, ruang itu populer disebut sebagai public sphere atau ruang publik. Pada ruang inilah hadir subyek pembuat aturan, subyek yang dikenai aturan, atau siapa pun peminat lainnya. Mereka dapat membicarakan keresahan bersamanya secara lantang terbuka, tanpa khawatir adanya intimidasi atau cibiran keresahannya dianggap mengada-ada.
Katakan saja pembicaraan tentang pajak binatang peliharaan, yang tarifnya naik mendadak. Para hadirin adalah yang paham hukum perpajakan binatang peliharaan, bisa juga yang sama sekali tak paham. Juga, yang hadir boleh yang paham urusan keuangan negara, maupun yang awam sama sekali. Bahkan yang tak punya kepentingan terhadap obyek pembicaraan pun, tetap boleh hadir dan menyuarakan pendapatnya. Sehingga, bahasa yang digunakan bukanlah bahasa orang yang melek hukum, yang membuat yang tak paham hukum, pilih bungkam. Atau bahasa yang digunakan ahli keuangan negara, sehingga yang tak pernah belajar jadi merasa terpinggir. Bahasa yang digunakan dalam ruang publik adalah bahasa sehari-hari yang dimengerti semua orang.
Dalam proses dialognya pun, setiap pihak merasa perlu menunda kepentingannya masing-masing dan ada urgensi mendengar bicara pihak lain. Adanya intimidasi atau upaya penonjolan kepentingan, tak diizinkan. Ini semua lantaran etika yang dipatuhi, bukan larangan tertulis dari suasana utopis ruang publik yang diangankan itu, dipastikan diperoleh produk hukum yang didukung bersama.
Pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org
DAPATKAH masyarakat yang memiliki keragaman tinggi, agama, suku bangsa, termasuk kelas sosial yang lebar perbedaannya, punya produk hukum yang terlegitimasi dan dipatuhi semua golongan yang berbeda? Ini adalah pertanyaan Jurgen Habermas, seorang filsuf Jerman yang usianya hari ini mencapai 91 tahun, namun masih aktif menyelenggarakan kuliah-kuliahnya seputar ruang publik.
Untuk pencapaian itu, kita doakan panjang umur kebaikan bagi para guru dan pencerah! Pertanyaan yang dilontarkan itu jadi penting, manakala di ruang-ruang keberagaman yang tinggi, hampir tak ditemukan celah untuk peroleh kesepakatan hadirnya produk hukum yang dapat diterima semua pihak.
Yang ada, produk yang memedulikan kelompok mayoritas namun menyisihkan pihak minoritas. Ini akibat tiap pihak secara alamiah merasa kelompoknya yang paling penting dan harus dapat jatah duluan.
Namun bagi Habermas dalam bukunya Structural Transformation of Public Sphere, yang terbit pertama kali di tahun 1962, menyebut adanya Pffentlichkeit, yang artinya kurang lebih “menjadi publik” atau “ruang yang dapat dimanfaatkan publik secara terbuka”.
Hari ini, ruang itu populer disebut sebagai public sphere atau ruang publik. Pada ruang inilah hadir subyek pembuat aturan, subyek yang dikenai aturan, atau siapa pun peminat lainnya. Mereka dapat membicarakan keresahan bersamanya secara lantang terbuka, tanpa khawatir adanya intimidasi atau cibiran keresahannya dianggap mengada-ada.
Katakan saja pembicaraan tentang pajak binatang peliharaan, yang tarifnya naik mendadak. Para hadirin adalah yang paham hukum perpajakan binatang peliharaan, bisa juga yang sama sekali tak paham. Juga, yang hadir boleh yang paham urusan keuangan negara, maupun yang awam sama sekali. Bahkan yang tak punya kepentingan terhadap obyek pembicaraan pun, tetap boleh hadir dan menyuarakan pendapatnya. Sehingga, bahasa yang digunakan bukanlah bahasa orang yang melek hukum, yang membuat yang tak paham hukum, pilih bungkam. Atau bahasa yang digunakan ahli keuangan negara, sehingga yang tak pernah belajar jadi merasa terpinggir. Bahasa yang digunakan dalam ruang publik adalah bahasa sehari-hari yang dimengerti semua orang.
Dalam proses dialognya pun, setiap pihak merasa perlu menunda kepentingannya masing-masing dan ada urgensi mendengar bicara pihak lain. Adanya intimidasi atau upaya penonjolan kepentingan, tak diizinkan. Ini semua lantaran etika yang dipatuhi, bukan larangan tertulis dari suasana utopis ruang publik yang diangankan itu, dipastikan diperoleh produk hukum yang didukung bersama.
tulis komentar anda