KUHP di Persimpangan Jalan Era Globalisasi
Selasa, 13 Desember 2022 - 07:58 WIB
Kenyataan yang terjadi dalam masyarakat sebagai parameter kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum yang menyebabkan pemikiran hukum positivisme semakin menjadi semakin ditinggalkan masyarakat kecuali oleh pemegang kekuasaan.
Dalam kondisi hukum sedemikian, celah potensi konflik hukum semakin besar sehingga berdampak terhadap hubungan baik antara (pemegang) kekuasaan negara dan kekuasaan masyarakat sipil dan keduanya tidak dapat dipersatukan atau didamamaikan. Di sinilah letak masalah pembentukan hukum (UU) Pidana dan penerapannya di Indonesia dalam kerangka Indonesia sebagai Negara Hukum (Pasal 1 ayat (3)UUD45).
Pembaruan KUHP yang digagas lebih dari 50 tahun yang lampau dan kini telah diwujudkan dalam bentuk KUHP disetujui DPR pada 6 Desember lalu telah berupaya mengakomidasi aliran pemikiran hukum sebagaimana diuraikan di atas.
Proses pembentukan UU KUHP baru telah mengakomodasi ketentuan hukum internasional seperti ketentuan pidana mati bersyarat atau secara alternatif dan tidak ditempatkan sebagai pidana pokok; ketentuan baru mengenai kejahatan transnasional seperti narkotika, perdagangan perempuan dan anak; serta tindak pidana korupsi dengan perbedaan ancaman minimum.
Selain hal baru tersebut pembentuk UU KUHP tidak lagi menganut perbedaan antara delik disengaja dan kelalaian sehingga ke depan tidak dianut lagi pengertian recht-delict dan wetsdelict dan ditiadakan lagi perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran; perbedaannya hanya terletak pada besar kecilnya ancaman hukuman saja.
Perubahan mendasar dalam UU KUHP baru adalah diakuinya nilai-nilai masyarakat adat atau hukum adat masyarakat setempat sebagai norma UU KUHP (Pasal 2). Sehingga, tidak perlu lagi ada perbedaan antara hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.
Prof Barda, penggagas pembentuk KUHP telah memperkenalkan asas-asas hukum pidana yaitu asas legalitas formil dan asas legalitas materiel.
Pengakuan nilai hukum adat tersebut sejalan dengan nilai Pancasila dan UUD 45 serta ketentuan penerapannya berdasarkan Pasal 5 UU Kekuasaan Kehakiman. Pengakuan atas ketentuan hukum adat dimaksud termasuk asas legalitas materil.
Penulis mengharapkan agar sejak dini para ahli hukum pidana dan penegak hukum memahami sungguh-sungguh ketentuan tersebut. Hal ini cukup dilakukan dalam waktu masa peralihan berlakunya UU KUHP selama waktu tiga tahun, yang kira-kira berlaku efektif pada 2025.
Dalam kondisi hukum sedemikian, celah potensi konflik hukum semakin besar sehingga berdampak terhadap hubungan baik antara (pemegang) kekuasaan negara dan kekuasaan masyarakat sipil dan keduanya tidak dapat dipersatukan atau didamamaikan. Di sinilah letak masalah pembentukan hukum (UU) Pidana dan penerapannya di Indonesia dalam kerangka Indonesia sebagai Negara Hukum (Pasal 1 ayat (3)UUD45).
Pembaruan KUHP yang digagas lebih dari 50 tahun yang lampau dan kini telah diwujudkan dalam bentuk KUHP disetujui DPR pada 6 Desember lalu telah berupaya mengakomidasi aliran pemikiran hukum sebagaimana diuraikan di atas.
Proses pembentukan UU KUHP baru telah mengakomodasi ketentuan hukum internasional seperti ketentuan pidana mati bersyarat atau secara alternatif dan tidak ditempatkan sebagai pidana pokok; ketentuan baru mengenai kejahatan transnasional seperti narkotika, perdagangan perempuan dan anak; serta tindak pidana korupsi dengan perbedaan ancaman minimum.
Selain hal baru tersebut pembentuk UU KUHP tidak lagi menganut perbedaan antara delik disengaja dan kelalaian sehingga ke depan tidak dianut lagi pengertian recht-delict dan wetsdelict dan ditiadakan lagi perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran; perbedaannya hanya terletak pada besar kecilnya ancaman hukuman saja.
Perubahan mendasar dalam UU KUHP baru adalah diakuinya nilai-nilai masyarakat adat atau hukum adat masyarakat setempat sebagai norma UU KUHP (Pasal 2). Sehingga, tidak perlu lagi ada perbedaan antara hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.
Prof Barda, penggagas pembentuk KUHP telah memperkenalkan asas-asas hukum pidana yaitu asas legalitas formil dan asas legalitas materiel.
Pengakuan nilai hukum adat tersebut sejalan dengan nilai Pancasila dan UUD 45 serta ketentuan penerapannya berdasarkan Pasal 5 UU Kekuasaan Kehakiman. Pengakuan atas ketentuan hukum adat dimaksud termasuk asas legalitas materil.
Penulis mengharapkan agar sejak dini para ahli hukum pidana dan penegak hukum memahami sungguh-sungguh ketentuan tersebut. Hal ini cukup dilakukan dalam waktu masa peralihan berlakunya UU KUHP selama waktu tiga tahun, yang kira-kira berlaku efektif pada 2025.
(bmm)
tulis komentar anda