Rentan Jadi Korban Kekerasan Seksual, Lindungi Anak dari Predator
Jum'at, 10 Juli 2020 - 08:09 WIB
JAKARTA - Anak-anak makin rentan menjadi korban kejahatan seksual . Korban anak-anak terus berjatuhan. Hanya dalam kurun enam bulan, korban kekerasan seksual mencapai 1.962 kasus. Negara perlu lebih tegas agar kasus kejahatan seksual terhadap anak bisa segera dihentikan.
Beberapa kasus kekerasan seksual yang menyita perhatian publik belakangan ini di antaranya kasus pemerkosaan terhadap NF (14) di Lampung Timur. Anak ini diperkosa oleh DA yang merupakan kepala Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Lampung Timur. NF berada di tempat itu sejak Maret 2020 karena dititipkan oleh orang tuanya. Korban sedang menjalani pemulihan psikologis pascamenjadi korban perkosaan. DA tidak hanya memerkosa NF, dia juga dilaporkan “menjual” korban ke orang lain. Pemerkosaan terhadap korban terakhir terjadi pada 28 Juni 2020.
Kasus lain terjadi di Depok. Di tempat ini sejumlah anak-anak menjadi korban pencabulan oleh oknum pengurus Gereja Paroki Santo Herkulanus berinisial SPM. Hasil investigasi menunjukkan ada puluhan anak-anak yang dicabuli pelaku. Korbannya adalah anak-anak yang aktif dalam kegiatan misdinar di gereja tersebut. SPM berperan sebagai pembina kegiatan itu sejak awal tahun 2000-an. SPM ditangkap polisi pada 14 Juni lalu.
Kasus lain menimpa seorang gadis berusia 16 tahun asal Kabupaten Garut, Jawa Barat. Dia diperkosa tujuh pemuda setelah dicekoki minuman keras pada 30 Juni lalu. Kasus ini sedang ditangani Polres Garut. Di Pasuruan, Jawa Timur, bocah RH, usia lima tahun, diperkosa dan dibunuh pada 7 Juli lalu. Pelaku adalah pasangan suami-istri yang juga tetangga korban. (Baca: ICMI Minta Pelakukan Kejahatan Seksual Dihukum Mati)
Hingga pertengahan tahun ini, kasus kekerasan seksual pada anak memang tergolong tinggi. Berdasarkan data Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak, selama kurang enam bulan, yakni 1 Januari hingga 26 Juni, kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak mencapai 1.962 kasus.
Menurut Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi, Kementerian PPPA, Valentina Ginting, kejadian bencana seperti pandemi Covid-19 saat ini ikut menempatkan anak pada posisi yang sangat rentan menjadi korban kekerasan.
“Angka ini menunjukkan bahwa kekerasan, eksploitasi, dan trafficking rentan mengancam anak khususnya di situasi bencana,” tutur Valentina, dikutip dari keterangan resmi Rabu (8/7/2020).
Maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak ini menunjukkan pelaku tidak takut sama sekali untuk melakukan perbuatannya. Tidak ada efek jera yang ditimbulkan meski sebelumnya banyak pelaku yang sudah menjalani hukuman. Padahal, jika melihat ancaman pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, hukuman pelaku kejahatan seksual pada anak maksimal 20 tahun. Bahkan, ada ancaman pemberatan berupa kebiri kimia bagi pelaku. Sejauh ini ancaman terlihat garang di atas kertas, namun lemah dalam penerapannya. Sebagai contoh, belum ada pelaku kejahatan seksual yang menjalani hukuman kebiri kimia. (Baca juga: Banten Darurat Kejahatan Seksual Anak, Ini Penyebabnya)
Pekerja pada Lembaga Perlindungan Anak Indonesia Reza Indragiri Amriel mengatakan, UU Nomor 17 Tahun 2016 sebenarnya sudah tegas. Namun, ada masalah pada implementasinya karena terjadi silang sengketa antarpasal di UU tersebut. Reza mengaku sudah menyampaikan kepada Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPPA bahwa UU 17/2016 tidak bisa diterapkan.
“Saya tantang mereka untuk sajikan data, sudah berapa banyak kasus dan pelaku yang sudah dieksekusi berdasarkan UU Nomor 17/2016. Pasti belum ada,” ujar dosen perlindungan anak di sejumlah lembaga pendidikan dan pelatihan kedinasan ini ketika dihubungi kemarin.
Beberapa kasus kekerasan seksual yang menyita perhatian publik belakangan ini di antaranya kasus pemerkosaan terhadap NF (14) di Lampung Timur. Anak ini diperkosa oleh DA yang merupakan kepala Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Lampung Timur. NF berada di tempat itu sejak Maret 2020 karena dititipkan oleh orang tuanya. Korban sedang menjalani pemulihan psikologis pascamenjadi korban perkosaan. DA tidak hanya memerkosa NF, dia juga dilaporkan “menjual” korban ke orang lain. Pemerkosaan terhadap korban terakhir terjadi pada 28 Juni 2020.
Kasus lain terjadi di Depok. Di tempat ini sejumlah anak-anak menjadi korban pencabulan oleh oknum pengurus Gereja Paroki Santo Herkulanus berinisial SPM. Hasil investigasi menunjukkan ada puluhan anak-anak yang dicabuli pelaku. Korbannya adalah anak-anak yang aktif dalam kegiatan misdinar di gereja tersebut. SPM berperan sebagai pembina kegiatan itu sejak awal tahun 2000-an. SPM ditangkap polisi pada 14 Juni lalu.
Kasus lain menimpa seorang gadis berusia 16 tahun asal Kabupaten Garut, Jawa Barat. Dia diperkosa tujuh pemuda setelah dicekoki minuman keras pada 30 Juni lalu. Kasus ini sedang ditangani Polres Garut. Di Pasuruan, Jawa Timur, bocah RH, usia lima tahun, diperkosa dan dibunuh pada 7 Juli lalu. Pelaku adalah pasangan suami-istri yang juga tetangga korban. (Baca: ICMI Minta Pelakukan Kejahatan Seksual Dihukum Mati)
Hingga pertengahan tahun ini, kasus kekerasan seksual pada anak memang tergolong tinggi. Berdasarkan data Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak, selama kurang enam bulan, yakni 1 Januari hingga 26 Juni, kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak mencapai 1.962 kasus.
Menurut Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi, Kementerian PPPA, Valentina Ginting, kejadian bencana seperti pandemi Covid-19 saat ini ikut menempatkan anak pada posisi yang sangat rentan menjadi korban kekerasan.
“Angka ini menunjukkan bahwa kekerasan, eksploitasi, dan trafficking rentan mengancam anak khususnya di situasi bencana,” tutur Valentina, dikutip dari keterangan resmi Rabu (8/7/2020).
Maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak ini menunjukkan pelaku tidak takut sama sekali untuk melakukan perbuatannya. Tidak ada efek jera yang ditimbulkan meski sebelumnya banyak pelaku yang sudah menjalani hukuman. Padahal, jika melihat ancaman pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, hukuman pelaku kejahatan seksual pada anak maksimal 20 tahun. Bahkan, ada ancaman pemberatan berupa kebiri kimia bagi pelaku. Sejauh ini ancaman terlihat garang di atas kertas, namun lemah dalam penerapannya. Sebagai contoh, belum ada pelaku kejahatan seksual yang menjalani hukuman kebiri kimia. (Baca juga: Banten Darurat Kejahatan Seksual Anak, Ini Penyebabnya)
Pekerja pada Lembaga Perlindungan Anak Indonesia Reza Indragiri Amriel mengatakan, UU Nomor 17 Tahun 2016 sebenarnya sudah tegas. Namun, ada masalah pada implementasinya karena terjadi silang sengketa antarpasal di UU tersebut. Reza mengaku sudah menyampaikan kepada Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPPA bahwa UU 17/2016 tidak bisa diterapkan.
“Saya tantang mereka untuk sajikan data, sudah berapa banyak kasus dan pelaku yang sudah dieksekusi berdasarkan UU Nomor 17/2016. Pasti belum ada,” ujar dosen perlindungan anak di sejumlah lembaga pendidikan dan pelatihan kedinasan ini ketika dihubungi kemarin.
Lihat Juga :
tulis komentar anda