Menyoal Pencabutan Insentif Perpajakan
Sabtu, 19 November 2022 - 13:50 WIB
Insentif perpajakan adalah bagian dari stimulus fiskal. Karakteristik utama insentif fiskal adalah sementara. Artinya, insentif fiskal tidak bisa berlaku terus-menerus alias permanen. Pada suatu saat tertentu, pemberlakuan insentif perpajakan akan dihentikan setelah dipandang selesai menunaikan mandatnya.
Prinsip 3T (timely,temporary, dantargeted) agaknya dipegang teguh oleh otoritas fiskal. Industri automotif dan properti merupakan dua subsektor yang pertama kali memperoleh insentif perpajakan lantaran memiliki banyak mata rantai dan jaringan kegiatan usaha yang akan menerima efek dominonya.
Oleh karenanya, sangat masuk akal apabila kinerja kedua subsektor ini mampu pulih jauh lebih cepat dibandingkan dengan sektor-sektor lain yang belum memperoleh insentif. Sebagai gambaran, hingga Agustus 2022, sektor automotif mampu tumbuh 172,2% dibanding periode yang sama di tahun lalu yang terkonstraksi 29,4%.
Sementara sektor real estate masih tumbuh 7,7%, kendati lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu yang mencapai 11,5%. Efek berantainya pun bisa dilihat. UMKM sebagai pemasok utama kedua subsektor tersebut pun ikut menikmati cipratan geliat usahanya.
Dengan kinerja di atas, pencabutan insentif perpajakan pada subsektor automotif dan properti menjadi sebuah kewajaran. Lebih lanjut, penghentian insentif tersebut dapat dialihkan ke sektor lainnya yang lebih membutuhkan. Artinya, azas ketepatan insentif terpenuhi dari penerapan skala prioritas.
Dalam skala makro, penghentian insentif fiskal niscaya akan menghemat pengeluaran negara. Masa pandemi Covid-19, sebagaimana sektor privat, telah menggerus penerimaan. Sehingga sumber pembiayaan belanja negara (termasuk insentif itu sendiri) terpaksa harus mengandalkan dari penerbitan surat utang.
Demikin pula, pemerintah tidak kehilangan potensi pendapatan yang semestinya bisa diraih jika insentif tidak disediakan. Lagi pula, konsolidasi fiskal juga sedang digeber. Misi jangka pendek normalisasi dan konsolidasi fiskal adalah mengembalikan defisit kembali maksimum ke level 3% mulai tahun depan.
Dengan beberapa argumen di atas, normalisasi sistem perpajakan sangat diperlukan agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tetap sehat. Demikian pula, pertumbuhan ekonomi nasional (tanpa terlalu bertumpu pada insentif fiskal) niscaya tetapberkelanjutan (sustained) dalam jangka menengah/panjang.
Sampai di sini, pencabutan insentif perpajakan untuk subsektor otomotif dan properti secara ekonomi memang layak diterapkan. Hanya persoalannya, kebijakan pencabutan insentif perpajakan itu barang kali terkesan kurang sinkron jika diteropong dari kebijakan makroprudensial yang didisain BI.
Hasil Rapat Dewan Gubernur BI periode Oktober sudah memutuskan untuk melanjutkan pelonggaran ketentuan Uang Muka Kredit/Pembiayaan Kendaraan Bermotor menjadi paling sedikit 0% untuk semua jenis kendaraan bermotor baru dengan tetap memerhatikan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko.
Prinsip 3T (timely,temporary, dantargeted) agaknya dipegang teguh oleh otoritas fiskal. Industri automotif dan properti merupakan dua subsektor yang pertama kali memperoleh insentif perpajakan lantaran memiliki banyak mata rantai dan jaringan kegiatan usaha yang akan menerima efek dominonya.
Oleh karenanya, sangat masuk akal apabila kinerja kedua subsektor ini mampu pulih jauh lebih cepat dibandingkan dengan sektor-sektor lain yang belum memperoleh insentif. Sebagai gambaran, hingga Agustus 2022, sektor automotif mampu tumbuh 172,2% dibanding periode yang sama di tahun lalu yang terkonstraksi 29,4%.
Sementara sektor real estate masih tumbuh 7,7%, kendati lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu yang mencapai 11,5%. Efek berantainya pun bisa dilihat. UMKM sebagai pemasok utama kedua subsektor tersebut pun ikut menikmati cipratan geliat usahanya.
Dengan kinerja di atas, pencabutan insentif perpajakan pada subsektor automotif dan properti menjadi sebuah kewajaran. Lebih lanjut, penghentian insentif tersebut dapat dialihkan ke sektor lainnya yang lebih membutuhkan. Artinya, azas ketepatan insentif terpenuhi dari penerapan skala prioritas.
Dalam skala makro, penghentian insentif fiskal niscaya akan menghemat pengeluaran negara. Masa pandemi Covid-19, sebagaimana sektor privat, telah menggerus penerimaan. Sehingga sumber pembiayaan belanja negara (termasuk insentif itu sendiri) terpaksa harus mengandalkan dari penerbitan surat utang.
Demikin pula, pemerintah tidak kehilangan potensi pendapatan yang semestinya bisa diraih jika insentif tidak disediakan. Lagi pula, konsolidasi fiskal juga sedang digeber. Misi jangka pendek normalisasi dan konsolidasi fiskal adalah mengembalikan defisit kembali maksimum ke level 3% mulai tahun depan.
Dengan beberapa argumen di atas, normalisasi sistem perpajakan sangat diperlukan agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tetap sehat. Demikian pula, pertumbuhan ekonomi nasional (tanpa terlalu bertumpu pada insentif fiskal) niscaya tetapberkelanjutan (sustained) dalam jangka menengah/panjang.
Sampai di sini, pencabutan insentif perpajakan untuk subsektor otomotif dan properti secara ekonomi memang layak diterapkan. Hanya persoalannya, kebijakan pencabutan insentif perpajakan itu barang kali terkesan kurang sinkron jika diteropong dari kebijakan makroprudensial yang didisain BI.
Hasil Rapat Dewan Gubernur BI periode Oktober sudah memutuskan untuk melanjutkan pelonggaran ketentuan Uang Muka Kredit/Pembiayaan Kendaraan Bermotor menjadi paling sedikit 0% untuk semua jenis kendaraan bermotor baru dengan tetap memerhatikan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko.
tulis komentar anda