Menjadi Menengah Atas

Rabu, 08 Juli 2020 - 06:54 WIB
Pendapatan per kapita Sri Lanka meningkat dua kali lipat, kemiskinan telah turun dari 15,2% menjadi 7,6%, tingkat pengangguran turun dari 7,2% menjadi 4,9%. Sri Lanka juga berhasil melistriki lebih dari 90% rumah tangga dan 87,3% populasi memiliki akses ke air minum yang layak. Ketidaksetaraan pendapatan juga menurun dalam beberapa tahun terakhir, ditunjukkan oleh koefisien Gini sebesar 0,36 pada 2010.

Sri Lanka adalah negara pertama di kawasan Asia Selatan yang memperkenalkan teknologi telekomunikasi seluler 3G, 3,5G (HSDPA), 3,75G (HSUPA), dan 4G (LTE). Kemajuan itu tidak lain karena pembangunan infrastruktur yang masif.

Sri Lanka banyak membangun ribuan kilometer jalan raya dan jalur kereta api, bendungan, pelabuhan laut, pelabuhan udara, dan pembangunan infrastruktur lainnya. Pembangunan ini membuat perekonomian Sri Lanka tumbuh pesat, tetapi berpotensi merugikan karena sebagian besar diambil dari pinjaman.

Pinjaman ini yang membuat Sri Lanka menjadi terjepit. Dana Moneter Internasional (IMF) telah sepakat untuk memberikan pinjaman dana talangan USD1,5 miliar pada April 2016 setelah Sri Lanka memberi tahu serangkaian strategi untuk meningkatkan ekonominya.

Utang tambahan diberikan terus sehingga utang dalam negeri meningkat 12% dan utang luar negeri sebesar 25%. Pada 2018, China setuju untuk menjamin Sri Lanka dengan pinjaman USD1,25 miliar untuk menangani lonjakan pembayaran utang luar negeri pada 2019 hingga 2021.

Banyak orang mengatakan Sri Lanka terjebak pinjaman (debt trap) dengan China karena kejadian di mana mereka harus menyerahkan Pelabuhan Hambantota untuk disewakan ke China Merchant Port Holdings Limited (CM Port) selama 99 tahun dengan harga USD1,12 miliar pada 2017 sebagai bagian pelunasan utang. Faktanya bahwa pinjaman terbesar berasal dari pinjaman komersial (39%), ADB (14%), Jepang (12%), Bank Dunia (11%), China (10%), dan lain-lain (12%).

Kita mengetahui bahwa pinjaman komersial tidak seperti pinjaman konsesi. Pinjaman komersial tidak memiliki periode pengembalian yang panjang atau pilihan pembayaran dalam angsuran kecil. Ketika obligasi jatuh tempo pembayaran, obligasi ini membebani biaya pembayaran utang luar negeri karena seluruh nilai nominal obligasi harus dibayarkan sekaligus.

Pemerintah Sri Lanka akhirnya harus tunduk dengan tuntutan IMF untuk bisa mendapatkan pinjaman. Misalnya, pemerintah mematuhi tuntutan IMF dengan memangkas subsidi harga dan mengenakan pajak untuk kebutuhan pokok, menaikkan harga yang sangat memengaruhi kondisi kehidupan pekerja dan orang miskin. Hal ini memicu gelombang pemogokan dan protes di Sri Lanka.

Sri Lanka mungkin memiliki ambisi yang besar untuk mendorong ekonominya, tetapi ketidakhati-hatiannya membuat pertumbuhan itu tidak berarti. Kita dapat mengambil pelajaran dari kasus Sri Lanka, terutama pelajaran dari wabah virus korona bahwa struktur perekonomian harus dibangun dengan dasar yang kuat.

Kadang-kadang ada hal nonekonomi yang tidak dapat dibentuk secara cepat, tetapi memengaruhi pertumbuhan ekonomi seperti motivasi wirausaha, kedisiplinan, inovasi, perubahan pola pikir, perubahan pola hidup, dan sebagainya. Dalam aspek pendidikan misalnya membangun sekolah; kampus megah bahkan menyekolahkan jutaan anak butuh diperkuat dengan kualitas pembekalan dan lulusan yang bermutu dan kompetitif untuk menopang perekonomian.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More