Menjadi Menengah Atas
Rabu, 08 Juli 2020 - 06:54 WIB
Investor yang agresif biasanya lebih mendahulukan kepercayaan di atas angka di kertas untuk bisa mengambil kesempatan di saat yang lain masih menunggu. Sebab itu, status juga bisa menjadi modal yang menjadi daya tarik penting bagi investasi.
Kasus Sri Lanka
Meski demikian, kita juga perlu hati-hati dengan status ini karena perhitungan yang berdasarkan pendapatan per kapita tidak selalu mencerminkan kesejahteraan. Bank Dunia, dengan perhitungan yang lama, pernah menempatkan Sri Lanka sebagai negara berpendapatan menengah atas juga pada 2019. Sri Lanka pada tahun tersebut berhasil menempatkan produk domestik bruto (GNI) di atas USD3.996 per kapita.
Status ini tidak berlangsung lama karena Sri Lanka tidak dapat meningkatkan pendapatan pada 2020. Produk domestik bruto (GNP) Sri Lanka turun lebih dari USD200 dari USD3.968 pada 2018 menjadi USD3.741 pada 2019. Perhitungan pada 2019 ini yang menjadi landasan bagi Bank Dunia untuk mengklasifikasikan ulang kelompok negara.
Ada banyak faktor yang membuat pendapatan per kapita Sri Lanka tidak maju. Satu di antara faktor adalah rapuhnya pertahanan sosial dan politik negara itu dalam menghadapi krisis dan tekanan.
Sri Lanka adalah sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha dan dalam sejarahnya pernah terlibat Liberation Tigers of Tamil Eelam (LTTE). Tamil Eelam merasa bahwa etnis mereka memiliki sejarah yang berbeda dengan kelompok mayoritas di Sri Lanka. Dan, karenanya mereka menuntut hak menentukan kedaulatan mereka sendiri dan berusaha memisahkan diri dari Sri Lanka.
Angkatan Bersenjata Sri Lanka mengalahkan Macan Pembebasan Tamil Eelam pada 2009. Meskipun dalam krisis perang saudara, demokrasi di tahun tersebut relatif berjalan dengan baik di Sri Lanka.
Masyarakat berpartisipasi secara bebas dalam politik melalui partai mereka masing-masing. Ada dua partai utama di Sri Lanka yaitu Partai Persatuan Nasional (United National Party) yang alirannya adalah sayap kanan dan cenderung ke kapitalisme dan liberalisme. Di sisi lain yang berlawanan adalah Partai Kebebasan Sri Lanka (Sri Lanka Freedom Party) yang cenderung beraliran sayap kiri sosialis dan mengutamakan ekonomi yang berdikari.
Kebetulan bahwa Partai Kebebasan Sri Lanka yang cenderung sosialis dan mempromosikan ekonomi yang berdikari didukung oleh etnik Hela atau Sinhalese sebagai kelompok mayoritas (76%) di Sri Lanka. Sementara Partai Persatuan Nasional lebih dilihat sebagai partai yang didukung oleh minoritas penduduk yang beragama Katolik. Perbedaan sentimen ini cukup memiliki andil juga dalam membuat posisi Partai Kebebasan Sri Lanka relatif lebih kuat dibandingkan lawannya.
Dua partai ini saling berkompetisi dan kebetulan dua tahun sebelum kekalahan LTTE, Mahinda Rajapaksa dari Partai Kebebasan Sri Lanka terpilih menjadi presiden pada 2005 dan menjabat dua kali hingga 2015. Dalam kepemimpinan sosialisnya, Mahinda Rajapaksa dapat meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonominya.
Kasus Sri Lanka
Meski demikian, kita juga perlu hati-hati dengan status ini karena perhitungan yang berdasarkan pendapatan per kapita tidak selalu mencerminkan kesejahteraan. Bank Dunia, dengan perhitungan yang lama, pernah menempatkan Sri Lanka sebagai negara berpendapatan menengah atas juga pada 2019. Sri Lanka pada tahun tersebut berhasil menempatkan produk domestik bruto (GNI) di atas USD3.996 per kapita.
Status ini tidak berlangsung lama karena Sri Lanka tidak dapat meningkatkan pendapatan pada 2020. Produk domestik bruto (GNP) Sri Lanka turun lebih dari USD200 dari USD3.968 pada 2018 menjadi USD3.741 pada 2019. Perhitungan pada 2019 ini yang menjadi landasan bagi Bank Dunia untuk mengklasifikasikan ulang kelompok negara.
Ada banyak faktor yang membuat pendapatan per kapita Sri Lanka tidak maju. Satu di antara faktor adalah rapuhnya pertahanan sosial dan politik negara itu dalam menghadapi krisis dan tekanan.
Sri Lanka adalah sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha dan dalam sejarahnya pernah terlibat Liberation Tigers of Tamil Eelam (LTTE). Tamil Eelam merasa bahwa etnis mereka memiliki sejarah yang berbeda dengan kelompok mayoritas di Sri Lanka. Dan, karenanya mereka menuntut hak menentukan kedaulatan mereka sendiri dan berusaha memisahkan diri dari Sri Lanka.
Angkatan Bersenjata Sri Lanka mengalahkan Macan Pembebasan Tamil Eelam pada 2009. Meskipun dalam krisis perang saudara, demokrasi di tahun tersebut relatif berjalan dengan baik di Sri Lanka.
Masyarakat berpartisipasi secara bebas dalam politik melalui partai mereka masing-masing. Ada dua partai utama di Sri Lanka yaitu Partai Persatuan Nasional (United National Party) yang alirannya adalah sayap kanan dan cenderung ke kapitalisme dan liberalisme. Di sisi lain yang berlawanan adalah Partai Kebebasan Sri Lanka (Sri Lanka Freedom Party) yang cenderung beraliran sayap kiri sosialis dan mengutamakan ekonomi yang berdikari.
Kebetulan bahwa Partai Kebebasan Sri Lanka yang cenderung sosialis dan mempromosikan ekonomi yang berdikari didukung oleh etnik Hela atau Sinhalese sebagai kelompok mayoritas (76%) di Sri Lanka. Sementara Partai Persatuan Nasional lebih dilihat sebagai partai yang didukung oleh minoritas penduduk yang beragama Katolik. Perbedaan sentimen ini cukup memiliki andil juga dalam membuat posisi Partai Kebebasan Sri Lanka relatif lebih kuat dibandingkan lawannya.
Dua partai ini saling berkompetisi dan kebetulan dua tahun sebelum kekalahan LTTE, Mahinda Rajapaksa dari Partai Kebebasan Sri Lanka terpilih menjadi presiden pada 2005 dan menjabat dua kali hingga 2015. Dalam kepemimpinan sosialisnya, Mahinda Rajapaksa dapat meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonominya.
tulis komentar anda