Menakar Sinyal Reshuffle
Selasa, 07 Juli 2020 - 19:43 WIB
Dalam hal ini dapat dipastikan bahwa evaluasi presiden kepada jajaran kabinetnya untuk menentukan reshuffle bukan semata mata berdasarkan serapan anggaran dan penanganan selama masa pandemi Covid. Meskipun belum bisa dipastikan apa kriterianya secara konkret namun tentu presiden akan mengambil keputusan reshuffle berdasarkan pertimbangan yang komperhensif. Pertimbangan presiden untuk melakukan reshuffle harus dilakukan pertimbangan yang masak mengingat para menteri (sebagian besar) selain sebagai pembantu presiden juga memiliki afiliasi pada partai politik.
Geremi Demba (2009), menjelaskan bahwa jika reshuffle tidak dilakukan secara tepat dan dengan pertimbangan yang komperhensif maka akan menyebabkan gangguan terhadap eskalasi politik yang menyebabkan stabilitas (dalam bahasa saat ini, yakni terjadi ‘kegaduhan politik’). Momentum yang tepat diperlukan presiden untuk menghindari kegaduhan politik, dan saat ini merupakan momentum yang tepat bagi presiden dalam melaksanakan reshuffle kabinetnya. Demikian juga dalam hal ini selanjutnya bagi presiden adalah menjelaskan secara objektif mengenai menteri yang keluar dari kabinet dan menteri yang masuk pada kabinet hasil reshuffle. Meskipun penentuan tersebut secara konstitusional adalah hak subjektif presiden, tetapi sebagai bagian dari demokrasi dan reformasi presiden perlu menjelaskan kepada publik sebagai bentuk keterbukaan.
Kalkulasi Politik
Bagaimanapun objektifnya pemilihan menteri yang keluar dari kabinet dan menteri yang masuk kabinet sebagai hasil reshuffle tentu tidak terlepas dari kalkulasi politik. Mengingat presiden juga memerlukan dukungan politik dari parlemen untuk menjalankan fungsinya sebagai eksekutif. Dalam hal ini utamanya jika reshuffle (baik menteri yang keluar dari kabinet, maupun menteri yang akan masuk) berlatar belakang partai politik maka presiden harus memiliki kalkulasi yang tepat guna menjaga keseimbangan hubungan dengan parlemen maupun kepentingan politik praktis partai koalisi dan pengusung.
Artinya, dalam hal ini guna menjaga keseimbangan reshufflekemungkinan akan ada pergeseran menteri berlatar belakang parpol yang keluar dan masuk, selain dengan pertimbangan keseimbangan di parlemen juga untuk kepentingan dari bagian menata strategi kontestasi politik berikutnya. Disamping itu nampaknya menteri berlatar belakang non parpol akan sangat rawan terkena reshuffle, tetapi sebaliknya guna memberikan kesan objektif dan tidak menimbulkan kesan bahwa reshuffle dilakukan untuk kepentingan politik praktis semata maka tentu aka nada menteri yang masuk pada reshuffle ini berlatar belakang non parpol.
Dalam kalkulasi politik, tentu akan lebih banyak ‘kuota untuk menteri berlatar belakang parpol’ dibanding dengan menteri dengan latar belakang non parpol. Kalkulasinya adalah secara politik tentu menteri yang masuk berlatar belakang parpol bisa berasal dari parpol koalisi dan parpol yang akan menjadi anggota koalisi baru. Demikian juga nampaknya posisi menteri pada figur milenial, utamanya non parpol juga akan banyak yang bergeser pos dan keluar dari kabinet karena adanya kepentingan untuk mengakomodir menteri berlatar belakang parpol.
Pada akhirnya reshuffle meskipun tidak dapat dilepaskan dari kepentingan politis, tetapi aspek perbaikan kinerja kabinet juga perlu menjadi fokus utamanya yang menjadi kebutuhan masyarakat saat ini. Demikian juga jika presiden memutuskan melakukan reshuffle maka harus dipilih figur menteri yang sesuai dengan semangat nawacita yang menjadi visi pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Menutup artikel ini dengan istilah ‘Hakuna Matata’ yang dijumpai dalam film The Lion King. Hakuna Matata dapat diartikan bahwa chaos (ketidakteraturan) membutuhkan reaksi positif sebagai penyeimbang sehingga esensi dari reshuffle secara filosofis harus mengacu pada makna Hakuna Matata. Pada akhirnya memang diperlukan pemimpin kementerian yang mampu melindungi dan memimpin dengan segala kebijaksanaanya untuk membantu presiden mengelola negeri ini bersama segala potensinya.
Geremi Demba (2009), menjelaskan bahwa jika reshuffle tidak dilakukan secara tepat dan dengan pertimbangan yang komperhensif maka akan menyebabkan gangguan terhadap eskalasi politik yang menyebabkan stabilitas (dalam bahasa saat ini, yakni terjadi ‘kegaduhan politik’). Momentum yang tepat diperlukan presiden untuk menghindari kegaduhan politik, dan saat ini merupakan momentum yang tepat bagi presiden dalam melaksanakan reshuffle kabinetnya. Demikian juga dalam hal ini selanjutnya bagi presiden adalah menjelaskan secara objektif mengenai menteri yang keluar dari kabinet dan menteri yang masuk pada kabinet hasil reshuffle. Meskipun penentuan tersebut secara konstitusional adalah hak subjektif presiden, tetapi sebagai bagian dari demokrasi dan reformasi presiden perlu menjelaskan kepada publik sebagai bentuk keterbukaan.
Kalkulasi Politik
Bagaimanapun objektifnya pemilihan menteri yang keluar dari kabinet dan menteri yang masuk kabinet sebagai hasil reshuffle tentu tidak terlepas dari kalkulasi politik. Mengingat presiden juga memerlukan dukungan politik dari parlemen untuk menjalankan fungsinya sebagai eksekutif. Dalam hal ini utamanya jika reshuffle (baik menteri yang keluar dari kabinet, maupun menteri yang akan masuk) berlatar belakang partai politik maka presiden harus memiliki kalkulasi yang tepat guna menjaga keseimbangan hubungan dengan parlemen maupun kepentingan politik praktis partai koalisi dan pengusung.
Artinya, dalam hal ini guna menjaga keseimbangan reshufflekemungkinan akan ada pergeseran menteri berlatar belakang parpol yang keluar dan masuk, selain dengan pertimbangan keseimbangan di parlemen juga untuk kepentingan dari bagian menata strategi kontestasi politik berikutnya. Disamping itu nampaknya menteri berlatar belakang non parpol akan sangat rawan terkena reshuffle, tetapi sebaliknya guna memberikan kesan objektif dan tidak menimbulkan kesan bahwa reshuffle dilakukan untuk kepentingan politik praktis semata maka tentu aka nada menteri yang masuk pada reshuffle ini berlatar belakang non parpol.
Dalam kalkulasi politik, tentu akan lebih banyak ‘kuota untuk menteri berlatar belakang parpol’ dibanding dengan menteri dengan latar belakang non parpol. Kalkulasinya adalah secara politik tentu menteri yang masuk berlatar belakang parpol bisa berasal dari parpol koalisi dan parpol yang akan menjadi anggota koalisi baru. Demikian juga nampaknya posisi menteri pada figur milenial, utamanya non parpol juga akan banyak yang bergeser pos dan keluar dari kabinet karena adanya kepentingan untuk mengakomodir menteri berlatar belakang parpol.
Pada akhirnya reshuffle meskipun tidak dapat dilepaskan dari kepentingan politis, tetapi aspek perbaikan kinerja kabinet juga perlu menjadi fokus utamanya yang menjadi kebutuhan masyarakat saat ini. Demikian juga jika presiden memutuskan melakukan reshuffle maka harus dipilih figur menteri yang sesuai dengan semangat nawacita yang menjadi visi pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Menutup artikel ini dengan istilah ‘Hakuna Matata’ yang dijumpai dalam film The Lion King. Hakuna Matata dapat diartikan bahwa chaos (ketidakteraturan) membutuhkan reaksi positif sebagai penyeimbang sehingga esensi dari reshuffle secara filosofis harus mengacu pada makna Hakuna Matata. Pada akhirnya memang diperlukan pemimpin kementerian yang mampu melindungi dan memimpin dengan segala kebijaksanaanya untuk membantu presiden mengelola negeri ini bersama segala potensinya.
(ras)
tulis komentar anda