Menakar Sinyal Reshuffle

Selasa, 07 Juli 2020 - 19:43 WIB
Rio Christiawan
Dr. Rio Christiawan

Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

PRESIDEN Joko Widodo mengeluarkan sinyal reshuffle kabinet pada sidang paripurna di istana negara beberapa waktu lalu. Teguran presiden yang berakhir pada sinyal reshuffle tersebut dilatarbelakangi rendahnya sense of crisis pada beberapa kementerian. Justru pada saat pandemi Covid namun serapan anggaran lebih rendah dari situasi normal, bahkan beberapa kementerian serapan anggarannya hanya dibawah lima persen dari pagu. Hal ini terjadi pada beberapa kementerian seperti contohnya kementerian kesehatan.



Menurut presiden, rendahnya serapan anggaran tentu berdampak pada kinerja penanganan pandemi untuk mengantisipasi krisis. Teguran presiden tersebut cukup beralasan karena Presiden sudah menerbitkan Perppu No. 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan yang kini telah disahkan dalam Undang-Undang No. 2/2020.

Kekecewaan presiden akan rendahnya serapan anggaran tersebut dapat dipahami karena pada Pasal 27 Perppu No. 1/2020 (kini UU No. 2/ 2020) dapat dimaknai demi tindakan penyelamatan yang bersifat segera pemerintah perlu memangkas mata rantai birokrasi pemenuhan peraturan lain dan sekaligus memberikan rasa ‘aman’ bagi para pejabat sehingga tidak timbul kasus hukum pasca berakhirnya pandemi Covid-19. Bahkan urgensi penanganan pandemi tersebut juga dituangkan dalam Keputusan Presiden No. 12/2020 tentang Penetapan Bencana Non-alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai bencana nasional.

Jadi jika pertanyaannya adalah apakah reshuffle akan benar terjadi atau hanya merupakan bentuk teguran maka nampaknya reshuffle akan benar benar terjadi. Memang saat ini ada urgensi untuk melakukan reshuffle kabinet, khususnya bagi kementerian yang memiliki kinerja rendah. Adanya urgensi tersebut karena selama pandemi dan pasca berlalunya pandemi seluruh dunia akan menghadapi tantangan yang berat di semua aspek. Mengacu pada Nixon (1986), reshuffle harus dilakukan untuk meningkatkan kinerja dan memberikan pelayanan yang lebih baik pada masyarakat. Artinya saat ini reshuffle dapat dipandang sebagai bentuk evaluasi presiden kepada para pembantunya.

Momentum Reshuffle

Jika presiden Joko Widodo melakukan reshuffle saat ini maka secara momentum dapat dikatakan bahwa presiden melakukan pada momentum yang tepat. Pemahaman ‘momentum’ yang tepat dalam hal ini karena adanya aspek objektif dari urgensi reshuffle itu sendiri, yakni kinerja selama masa penanganan pandemi Covid dan menteri yang dievaluasi telah mendekati setahun masa kerja sehingga memang sudah cukup waktu untuk dievaluasi kinerjanya.

Bagi masyarakat, jika presiden melakukan reshuffle kabinet dalam waktu dekat ini, meskipun reshuffle merupakan hak prerogratif presiden namun secara politik masyarakat akan memberikan dukungan politik karena adanya momentum yang tepat sehingga dipandang momentum perbaikan pelayanan pada masyarakat. Momentum yang tepat tersebut akan membuat reshuffle kabinet bukan semata mata karena alasan kepentingan politik praktis semata dan membuat masyarakat semakin apatis.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More