Menakar Sinyal Reshuffle
loading...
A
A
A
Dr. Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
PRESIDEN Joko Widodo mengeluarkan sinyal reshuffle kabinet pada sidang paripurna di istana negara beberapa waktu lalu. Teguran presiden yang berakhir pada sinyal reshuffle tersebut dilatarbelakangi rendahnya sense of crisis pada beberapa kementerian. Justru pada saat pandemi Covid namun serapan anggaran lebih rendah dari situasi normal, bahkan beberapa kementerian serapan anggarannya hanya dibawah lima persen dari pagu. Hal ini terjadi pada beberapa kementerian seperti contohnya kementerian kesehatan.
Menurut presiden, rendahnya serapan anggaran tentu berdampak pada kinerja penanganan pandemi untuk mengantisipasi krisis. Teguran presiden tersebut cukup beralasan karena Presiden sudah menerbitkan Perppu No. 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan yang kini telah disahkan dalam Undang-Undang No. 2/2020.
Kekecewaan presiden akan rendahnya serapan anggaran tersebut dapat dipahami karena pada Pasal 27 Perppu No. 1/2020 (kini UU No. 2/ 2020) dapat dimaknai demi tindakan penyelamatan yang bersifat segera pemerintah perlu memangkas mata rantai birokrasi pemenuhan peraturan lain dan sekaligus memberikan rasa ‘aman’ bagi para pejabat sehingga tidak timbul kasus hukum pasca berakhirnya pandemi Covid-19. Bahkan urgensi penanganan pandemi tersebut juga dituangkan dalam Keputusan Presiden No. 12/2020 tentang Penetapan Bencana Non-alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai bencana nasional.
Jadi jika pertanyaannya adalah apakah reshuffle akan benar terjadi atau hanya merupakan bentuk teguran maka nampaknya reshuffle akan benar benar terjadi. Memang saat ini ada urgensi untuk melakukan reshuffle kabinet, khususnya bagi kementerian yang memiliki kinerja rendah. Adanya urgensi tersebut karena selama pandemi dan pasca berlalunya pandemi seluruh dunia akan menghadapi tantangan yang berat di semua aspek. Mengacu pada Nixon (1986), reshuffle harus dilakukan untuk meningkatkan kinerja dan memberikan pelayanan yang lebih baik pada masyarakat. Artinya saat ini reshuffle dapat dipandang sebagai bentuk evaluasi presiden kepada para pembantunya.
Momentum Reshuffle
Jika presiden Joko Widodo melakukan reshuffle saat ini maka secara momentum dapat dikatakan bahwa presiden melakukan pada momentum yang tepat. Pemahaman ‘momentum’ yang tepat dalam hal ini karena adanya aspek objektif dari urgensi reshuffle itu sendiri, yakni kinerja selama masa penanganan pandemi Covid dan menteri yang dievaluasi telah mendekati setahun masa kerja sehingga memang sudah cukup waktu untuk dievaluasi kinerjanya.
Bagi masyarakat, jika presiden melakukan reshuffle kabinet dalam waktu dekat ini, meskipun reshuffle merupakan hak prerogratif presiden namun secara politik masyarakat akan memberikan dukungan politik karena adanya momentum yang tepat sehingga dipandang momentum perbaikan pelayanan pada masyarakat. Momentum yang tepat tersebut akan membuat reshuffle kabinet bukan semata mata karena alasan kepentingan politik praktis semata dan membuat masyarakat semakin apatis.
Dalam hal ini dapat dipastikan bahwa evaluasi presiden kepada jajaran kabinetnya untuk menentukan reshuffle bukan semata mata berdasarkan serapan anggaran dan penanganan selama masa pandemi Covid. Meskipun belum bisa dipastikan apa kriterianya secara konkret namun tentu presiden akan mengambil keputusan reshuffle berdasarkan pertimbangan yang komperhensif. Pertimbangan presiden untuk melakukan reshuffle harus dilakukan pertimbangan yang masak mengingat para menteri (sebagian besar) selain sebagai pembantu presiden juga memiliki afiliasi pada partai politik.
Geremi Demba (2009), menjelaskan bahwa jika reshuffle tidak dilakukan secara tepat dan dengan pertimbangan yang komperhensif maka akan menyebabkan gangguan terhadap eskalasi politik yang menyebabkan stabilitas (dalam bahasa saat ini, yakni terjadi ‘kegaduhan politik’). Momentum yang tepat diperlukan presiden untuk menghindari kegaduhan politik, dan saat ini merupakan momentum yang tepat bagi presiden dalam melaksanakan reshuffle kabinetnya. Demikian juga dalam hal ini selanjutnya bagi presiden adalah menjelaskan secara objektif mengenai menteri yang keluar dari kabinet dan menteri yang masuk pada kabinet hasil reshuffle. Meskipun penentuan tersebut secara konstitusional adalah hak subjektif presiden, tetapi sebagai bagian dari demokrasi dan reformasi presiden perlu menjelaskan kepada publik sebagai bentuk keterbukaan.
Kalkulasi Politik
Bagaimanapun objektifnya pemilihan menteri yang keluar dari kabinet dan menteri yang masuk kabinet sebagai hasil reshuffle tentu tidak terlepas dari kalkulasi politik. Mengingat presiden juga memerlukan dukungan politik dari parlemen untuk menjalankan fungsinya sebagai eksekutif. Dalam hal ini utamanya jika reshuffle (baik menteri yang keluar dari kabinet, maupun menteri yang akan masuk) berlatar belakang partai politik maka presiden harus memiliki kalkulasi yang tepat guna menjaga keseimbangan hubungan dengan parlemen maupun kepentingan politik praktis partai koalisi dan pengusung.
Artinya, dalam hal ini guna menjaga keseimbangan reshufflekemungkinan akan ada pergeseran menteri berlatar belakang parpol yang keluar dan masuk, selain dengan pertimbangan keseimbangan di parlemen juga untuk kepentingan dari bagian menata strategi kontestasi politik berikutnya. Disamping itu nampaknya menteri berlatar belakang non parpol akan sangat rawan terkena reshuffle, tetapi sebaliknya guna memberikan kesan objektif dan tidak menimbulkan kesan bahwa reshuffle dilakukan untuk kepentingan politik praktis semata maka tentu aka nada menteri yang masuk pada reshuffle ini berlatar belakang non parpol.
Dalam kalkulasi politik, tentu akan lebih banyak ‘kuota untuk menteri berlatar belakang parpol’ dibanding dengan menteri dengan latar belakang non parpol. Kalkulasinya adalah secara politik tentu menteri yang masuk berlatar belakang parpol bisa berasal dari parpol koalisi dan parpol yang akan menjadi anggota koalisi baru. Demikian juga nampaknya posisi menteri pada figur milenial, utamanya non parpol juga akan banyak yang bergeser pos dan keluar dari kabinet karena adanya kepentingan untuk mengakomodir menteri berlatar belakang parpol.
Pada akhirnya reshuffle meskipun tidak dapat dilepaskan dari kepentingan politis, tetapi aspek perbaikan kinerja kabinet juga perlu menjadi fokus utamanya yang menjadi kebutuhan masyarakat saat ini. Demikian juga jika presiden memutuskan melakukan reshuffle maka harus dipilih figur menteri yang sesuai dengan semangat nawacita yang menjadi visi pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Menutup artikel ini dengan istilah ‘Hakuna Matata’ yang dijumpai dalam film The Lion King. Hakuna Matata dapat diartikan bahwa chaos (ketidakteraturan) membutuhkan reaksi positif sebagai penyeimbang sehingga esensi dari reshuffle secara filosofis harus mengacu pada makna Hakuna Matata. Pada akhirnya memang diperlukan pemimpin kementerian yang mampu melindungi dan memimpin dengan segala kebijaksanaanya untuk membantu presiden mengelola negeri ini bersama segala potensinya.
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
PRESIDEN Joko Widodo mengeluarkan sinyal reshuffle kabinet pada sidang paripurna di istana negara beberapa waktu lalu. Teguran presiden yang berakhir pada sinyal reshuffle tersebut dilatarbelakangi rendahnya sense of crisis pada beberapa kementerian. Justru pada saat pandemi Covid namun serapan anggaran lebih rendah dari situasi normal, bahkan beberapa kementerian serapan anggarannya hanya dibawah lima persen dari pagu. Hal ini terjadi pada beberapa kementerian seperti contohnya kementerian kesehatan.
Menurut presiden, rendahnya serapan anggaran tentu berdampak pada kinerja penanganan pandemi untuk mengantisipasi krisis. Teguran presiden tersebut cukup beralasan karena Presiden sudah menerbitkan Perppu No. 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan yang kini telah disahkan dalam Undang-Undang No. 2/2020.
Kekecewaan presiden akan rendahnya serapan anggaran tersebut dapat dipahami karena pada Pasal 27 Perppu No. 1/2020 (kini UU No. 2/ 2020) dapat dimaknai demi tindakan penyelamatan yang bersifat segera pemerintah perlu memangkas mata rantai birokrasi pemenuhan peraturan lain dan sekaligus memberikan rasa ‘aman’ bagi para pejabat sehingga tidak timbul kasus hukum pasca berakhirnya pandemi Covid-19. Bahkan urgensi penanganan pandemi tersebut juga dituangkan dalam Keputusan Presiden No. 12/2020 tentang Penetapan Bencana Non-alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai bencana nasional.
Jadi jika pertanyaannya adalah apakah reshuffle akan benar terjadi atau hanya merupakan bentuk teguran maka nampaknya reshuffle akan benar benar terjadi. Memang saat ini ada urgensi untuk melakukan reshuffle kabinet, khususnya bagi kementerian yang memiliki kinerja rendah. Adanya urgensi tersebut karena selama pandemi dan pasca berlalunya pandemi seluruh dunia akan menghadapi tantangan yang berat di semua aspek. Mengacu pada Nixon (1986), reshuffle harus dilakukan untuk meningkatkan kinerja dan memberikan pelayanan yang lebih baik pada masyarakat. Artinya saat ini reshuffle dapat dipandang sebagai bentuk evaluasi presiden kepada para pembantunya.
Momentum Reshuffle
Jika presiden Joko Widodo melakukan reshuffle saat ini maka secara momentum dapat dikatakan bahwa presiden melakukan pada momentum yang tepat. Pemahaman ‘momentum’ yang tepat dalam hal ini karena adanya aspek objektif dari urgensi reshuffle itu sendiri, yakni kinerja selama masa penanganan pandemi Covid dan menteri yang dievaluasi telah mendekati setahun masa kerja sehingga memang sudah cukup waktu untuk dievaluasi kinerjanya.
Bagi masyarakat, jika presiden melakukan reshuffle kabinet dalam waktu dekat ini, meskipun reshuffle merupakan hak prerogratif presiden namun secara politik masyarakat akan memberikan dukungan politik karena adanya momentum yang tepat sehingga dipandang momentum perbaikan pelayanan pada masyarakat. Momentum yang tepat tersebut akan membuat reshuffle kabinet bukan semata mata karena alasan kepentingan politik praktis semata dan membuat masyarakat semakin apatis.
Dalam hal ini dapat dipastikan bahwa evaluasi presiden kepada jajaran kabinetnya untuk menentukan reshuffle bukan semata mata berdasarkan serapan anggaran dan penanganan selama masa pandemi Covid. Meskipun belum bisa dipastikan apa kriterianya secara konkret namun tentu presiden akan mengambil keputusan reshuffle berdasarkan pertimbangan yang komperhensif. Pertimbangan presiden untuk melakukan reshuffle harus dilakukan pertimbangan yang masak mengingat para menteri (sebagian besar) selain sebagai pembantu presiden juga memiliki afiliasi pada partai politik.
Geremi Demba (2009), menjelaskan bahwa jika reshuffle tidak dilakukan secara tepat dan dengan pertimbangan yang komperhensif maka akan menyebabkan gangguan terhadap eskalasi politik yang menyebabkan stabilitas (dalam bahasa saat ini, yakni terjadi ‘kegaduhan politik’). Momentum yang tepat diperlukan presiden untuk menghindari kegaduhan politik, dan saat ini merupakan momentum yang tepat bagi presiden dalam melaksanakan reshuffle kabinetnya. Demikian juga dalam hal ini selanjutnya bagi presiden adalah menjelaskan secara objektif mengenai menteri yang keluar dari kabinet dan menteri yang masuk pada kabinet hasil reshuffle. Meskipun penentuan tersebut secara konstitusional adalah hak subjektif presiden, tetapi sebagai bagian dari demokrasi dan reformasi presiden perlu menjelaskan kepada publik sebagai bentuk keterbukaan.
Kalkulasi Politik
Bagaimanapun objektifnya pemilihan menteri yang keluar dari kabinet dan menteri yang masuk kabinet sebagai hasil reshuffle tentu tidak terlepas dari kalkulasi politik. Mengingat presiden juga memerlukan dukungan politik dari parlemen untuk menjalankan fungsinya sebagai eksekutif. Dalam hal ini utamanya jika reshuffle (baik menteri yang keluar dari kabinet, maupun menteri yang akan masuk) berlatar belakang partai politik maka presiden harus memiliki kalkulasi yang tepat guna menjaga keseimbangan hubungan dengan parlemen maupun kepentingan politik praktis partai koalisi dan pengusung.
Artinya, dalam hal ini guna menjaga keseimbangan reshufflekemungkinan akan ada pergeseran menteri berlatar belakang parpol yang keluar dan masuk, selain dengan pertimbangan keseimbangan di parlemen juga untuk kepentingan dari bagian menata strategi kontestasi politik berikutnya. Disamping itu nampaknya menteri berlatar belakang non parpol akan sangat rawan terkena reshuffle, tetapi sebaliknya guna memberikan kesan objektif dan tidak menimbulkan kesan bahwa reshuffle dilakukan untuk kepentingan politik praktis semata maka tentu aka nada menteri yang masuk pada reshuffle ini berlatar belakang non parpol.
Dalam kalkulasi politik, tentu akan lebih banyak ‘kuota untuk menteri berlatar belakang parpol’ dibanding dengan menteri dengan latar belakang non parpol. Kalkulasinya adalah secara politik tentu menteri yang masuk berlatar belakang parpol bisa berasal dari parpol koalisi dan parpol yang akan menjadi anggota koalisi baru. Demikian juga nampaknya posisi menteri pada figur milenial, utamanya non parpol juga akan banyak yang bergeser pos dan keluar dari kabinet karena adanya kepentingan untuk mengakomodir menteri berlatar belakang parpol.
Pada akhirnya reshuffle meskipun tidak dapat dilepaskan dari kepentingan politis, tetapi aspek perbaikan kinerja kabinet juga perlu menjadi fokus utamanya yang menjadi kebutuhan masyarakat saat ini. Demikian juga jika presiden memutuskan melakukan reshuffle maka harus dipilih figur menteri yang sesuai dengan semangat nawacita yang menjadi visi pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Menutup artikel ini dengan istilah ‘Hakuna Matata’ yang dijumpai dalam film The Lion King. Hakuna Matata dapat diartikan bahwa chaos (ketidakteraturan) membutuhkan reaksi positif sebagai penyeimbang sehingga esensi dari reshuffle secara filosofis harus mengacu pada makna Hakuna Matata. Pada akhirnya memang diperlukan pemimpin kementerian yang mampu melindungi dan memimpin dengan segala kebijaksanaanya untuk membantu presiden mengelola negeri ini bersama segala potensinya.
(ras)