'Too Good To be True', Dunia Tidak Seideal Itu...
Sabtu, 29 Oktober 2022 - 17:09 WIB
Pertama, ada free will untuk memilih konten namun tidak disadari bahwa algoritma di mesin digital menciptakan “survailance capitalism” (Shoshana Zuboff) sekaligus menentukan mana konten yang menarik publik dan berpotensi menghasilkan pendapatan iklan.
Kedua, sistem komunikasi dan teknologi menjadikan setiap individu dikendalikan media dan sekaligus menjadi media itu sendiri. Ketiga, asyik masyuk berinteraksi dengan gawai mulai dari posting, upload, chatting hingga selfie. Setiap orang mudah mengalami “state flow” (larut), lupa waktu, lupa sekelilingnya, dan lupa segalanya.
Keempat, manusia bisa menjadi makhluk moral yang memilik empati, peduli pada keadilan dan kebenaran , Selain mudah terluka, emosional dan sentimental, tapi pada saat yang sama dapat menjadi sangat rasional dan bernalar. Kelima, dia mampu menjadi aktor lokal sekaligus global.
Dari Crazy Rich sampai Sambo
Crazy rich Indra Kenz dan Doni Salmanan,adalah contoh dampak negatif dari ranah digital. Namun modus penipuan berkedok investasi dan ajang pamer kekayaan (flexing) lewat media sosial bukan hanya milik ranah investasi tapi juga di wilayah kencan online. Contohnya pada sebuah film Netflix, “Tinder Swindler”—film dokumentasi tentang Simon Leviev, penipu ulung asal Israel—yang mampu merayu sejumlah wanita cantik di berbagai negara untuk diajak kencan namun kemudian diperas habis-habisan.
Doni Salmanan, misalnya, contoh nyata idiom to good to be true. Pasalnya, baru berusia 23 tahun, tapi gaya hidupnya glamor. Dia memiliki tabungan dengan isi rekening hingga Rp500 miliar. Total aset yang disitanya mencapai nilai Rp64 miliar, terdiri dari mobil mewah, beberapa rumah, 18 motor, hingga pakaian branded.
Uniknya, kekayaan Doni melambung hanya dalam satu tahun terakhir. Padahal siapa dia? Dia bukan putra konglomerat.
Kasus Ferdy Sambo dan istrinya (PC) terkait pembunuhan berencana terhadap Brigadir Josua juga terasa janggal sejak awal. Skenario pelecehan seksual yang dirancang pelaku, sebagai motif pembunuhan, dinilai publik “too good to be true”. Skenario itu pun akhirnya terbongkar.
Federer vs Nadal
Idiom too good to be true juga merasuk ke dunia olahraga dalam persaingan antara pesaing dan sahabat yaitu Roger Federer dan Rafael Nadal.Bagi kalangan pelaku pemasaran, persaingan mereka "terlalu bagus untuk menjadi kenyataan" (too good to be true).
Kedua, sistem komunikasi dan teknologi menjadikan setiap individu dikendalikan media dan sekaligus menjadi media itu sendiri. Ketiga, asyik masyuk berinteraksi dengan gawai mulai dari posting, upload, chatting hingga selfie. Setiap orang mudah mengalami “state flow” (larut), lupa waktu, lupa sekelilingnya, dan lupa segalanya.
Keempat, manusia bisa menjadi makhluk moral yang memilik empati, peduli pada keadilan dan kebenaran , Selain mudah terluka, emosional dan sentimental, tapi pada saat yang sama dapat menjadi sangat rasional dan bernalar. Kelima, dia mampu menjadi aktor lokal sekaligus global.
Dari Crazy Rich sampai Sambo
Crazy rich Indra Kenz dan Doni Salmanan,adalah contoh dampak negatif dari ranah digital. Namun modus penipuan berkedok investasi dan ajang pamer kekayaan (flexing) lewat media sosial bukan hanya milik ranah investasi tapi juga di wilayah kencan online. Contohnya pada sebuah film Netflix, “Tinder Swindler”—film dokumentasi tentang Simon Leviev, penipu ulung asal Israel—yang mampu merayu sejumlah wanita cantik di berbagai negara untuk diajak kencan namun kemudian diperas habis-habisan.
Doni Salmanan, misalnya, contoh nyata idiom to good to be true. Pasalnya, baru berusia 23 tahun, tapi gaya hidupnya glamor. Dia memiliki tabungan dengan isi rekening hingga Rp500 miliar. Total aset yang disitanya mencapai nilai Rp64 miliar, terdiri dari mobil mewah, beberapa rumah, 18 motor, hingga pakaian branded.
Uniknya, kekayaan Doni melambung hanya dalam satu tahun terakhir. Padahal siapa dia? Dia bukan putra konglomerat.
Kasus Ferdy Sambo dan istrinya (PC) terkait pembunuhan berencana terhadap Brigadir Josua juga terasa janggal sejak awal. Skenario pelecehan seksual yang dirancang pelaku, sebagai motif pembunuhan, dinilai publik “too good to be true”. Skenario itu pun akhirnya terbongkar.
Federer vs Nadal
Idiom too good to be true juga merasuk ke dunia olahraga dalam persaingan antara pesaing dan sahabat yaitu Roger Federer dan Rafael Nadal.Bagi kalangan pelaku pemasaran, persaingan mereka "terlalu bagus untuk menjadi kenyataan" (too good to be true).
tulis komentar anda