Marginalisasi dan Metamorfosis IDI
Rabu, 26 Oktober 2022 - 17:03 WIB
Kedua, agent of change and improvement. Sejarah IDI tidak lepas dari perjuangan mendukung perubahan dan perbaikan. Sebagai organisasi profesi tertua di negeri ini, ia telah menjadi mitra strategis pemerintah dalam setiap zaman. Saat awal didirikan, dokter-dokter Indonesia dan IDI menjadi elemen krusial dalam mempertahankan kemerdekaan negara.
Selanjutnya, IDI berperan dalam berbagai upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat, termasuk mendukung kegiatan Keluarga Berencana yang saat awalnya ditolak masyarakat. Saat dunia diterabas pandemi baru-baru ini, IDI dan anggotanya berdiri pada garda terdepan menghadapi Covid-19. Padahal saat itu, penyakit Covid-19 baru muncul, sangat menakutkan dengan angka kematian yang tinggi, minim informasi ilmiahnya serta belum tersedia obat dan vaksinnya.
Saat kebanyakan masyarakat berdiam dirumah atau working from home, IDI dan anggotanya terus berjuang di rumah sakit dengan APD minim. Mereka bahkan rela tidak berjumpa keluarganya berhari-hari saat bertugas. Akhirnya banyak di antara mereka yang terinfeksi dan meninggal; 751 dokter gugur dalam perang melawan Covid. Saat vaksin Covid-19 pertama kali muncul, IDI langsung menyatakan dukungannya terhadap penggunaan vaksin; padahal saat itu masyarakat dalam kebingungan dan ketakutan. Ini sejumlah milestone yang ditoreh IDI bagi kesehatan dan keselamatan manusia.
Ironisnya, di tengah multi-peran kemanusiaan dan kesehatan tersebut, tiba-tiba muncul sekelompok orang yang menggugat eksistensi dan keabsahan IDI sebagai satu-satunya organisasi profesi. Gugatannya bahkan hingga ke Mahkamah Konstitusi.
Salah satu alasannya, IDI terlalu powerful dan memonopoli rekomendasi izin praktik. Mereka ingin adanya organisasi dokter lain selain IDI (poli-organisasi profesi). Selain itu, akhir-akhir ini muncul pula narasi dan upaya yang terkesan ingin memarginalkan, memfragmentasi atau mengamputasi organisasi besar ini. Peran krusialnya ingin dipreteli dan dibatasi. Bila perlu, IDI hanya menjadi organisasi paguyuban tanpa peran krusial. Narasi ini jelas tersirat dalam RUU Kesehatan yang baru-baru ini beredar.
Amputasi Peran dan Reaksi Metamorfosis
Upaya memarginalkan dan memfragmentasi IDI sangat tidak relevan dan kontra-produktif di era saat ini. Ada beberapa alasannya.
Pertama, IDI adalah elemen penting dalam bidang kesehatan dan profesionalisme. Organisasi ini menaungi kelompok profesional dokter yang pendidikan, ketrampilan dan pekerjaannya bersifat khusus dan tidak bisa dijalankan oleh profesi lain. Wewenang mengobati, mengoperasi atau melakukan tindakan pada orang sakit ada pada profesi ini.
Karena perannya yang sangat krusial, IDI mestinya selalu dijadikan mitra strategis dalam pembangunan; bukan kompetitor strategis. Bersama dengan organisasi profesi kesehatan lain, IDI mesti diberi peran proporsional dalam bidang kesehatan dan bukan dimarginalkan atau difragmentasi. Pemerintah memiliki kewajiban mengayomi, membina dan mendukung organisasi profesi yang ada, termasuk IDI.
Kedua, esensi tuduhan negatif yang diarahkan ke IDI bisa benar, bisa salah. Perlu dilakukan penelusuran dan klarifikasi; apakah terbukti atau sekedar hoaks. Kalaupun ternyata benar; tuduhan ini tidak dapat dijadikan alasan memarginalkan, memfragmentasi apalagi membubarkan IDI. Alasannya, esensinya tidak substansial dan sistematik. Penyelesaiannya bisa secara internal.
Selanjutnya, IDI berperan dalam berbagai upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat, termasuk mendukung kegiatan Keluarga Berencana yang saat awalnya ditolak masyarakat. Saat dunia diterabas pandemi baru-baru ini, IDI dan anggotanya berdiri pada garda terdepan menghadapi Covid-19. Padahal saat itu, penyakit Covid-19 baru muncul, sangat menakutkan dengan angka kematian yang tinggi, minim informasi ilmiahnya serta belum tersedia obat dan vaksinnya.
Saat kebanyakan masyarakat berdiam dirumah atau working from home, IDI dan anggotanya terus berjuang di rumah sakit dengan APD minim. Mereka bahkan rela tidak berjumpa keluarganya berhari-hari saat bertugas. Akhirnya banyak di antara mereka yang terinfeksi dan meninggal; 751 dokter gugur dalam perang melawan Covid. Saat vaksin Covid-19 pertama kali muncul, IDI langsung menyatakan dukungannya terhadap penggunaan vaksin; padahal saat itu masyarakat dalam kebingungan dan ketakutan. Ini sejumlah milestone yang ditoreh IDI bagi kesehatan dan keselamatan manusia.
Ironisnya, di tengah multi-peran kemanusiaan dan kesehatan tersebut, tiba-tiba muncul sekelompok orang yang menggugat eksistensi dan keabsahan IDI sebagai satu-satunya organisasi profesi. Gugatannya bahkan hingga ke Mahkamah Konstitusi.
Salah satu alasannya, IDI terlalu powerful dan memonopoli rekomendasi izin praktik. Mereka ingin adanya organisasi dokter lain selain IDI (poli-organisasi profesi). Selain itu, akhir-akhir ini muncul pula narasi dan upaya yang terkesan ingin memarginalkan, memfragmentasi atau mengamputasi organisasi besar ini. Peran krusialnya ingin dipreteli dan dibatasi. Bila perlu, IDI hanya menjadi organisasi paguyuban tanpa peran krusial. Narasi ini jelas tersirat dalam RUU Kesehatan yang baru-baru ini beredar.
Amputasi Peran dan Reaksi Metamorfosis
Upaya memarginalkan dan memfragmentasi IDI sangat tidak relevan dan kontra-produktif di era saat ini. Ada beberapa alasannya.
Pertama, IDI adalah elemen penting dalam bidang kesehatan dan profesionalisme. Organisasi ini menaungi kelompok profesional dokter yang pendidikan, ketrampilan dan pekerjaannya bersifat khusus dan tidak bisa dijalankan oleh profesi lain. Wewenang mengobati, mengoperasi atau melakukan tindakan pada orang sakit ada pada profesi ini.
Karena perannya yang sangat krusial, IDI mestinya selalu dijadikan mitra strategis dalam pembangunan; bukan kompetitor strategis. Bersama dengan organisasi profesi kesehatan lain, IDI mesti diberi peran proporsional dalam bidang kesehatan dan bukan dimarginalkan atau difragmentasi. Pemerintah memiliki kewajiban mengayomi, membina dan mendukung organisasi profesi yang ada, termasuk IDI.
Kedua, esensi tuduhan negatif yang diarahkan ke IDI bisa benar, bisa salah. Perlu dilakukan penelusuran dan klarifikasi; apakah terbukti atau sekedar hoaks. Kalaupun ternyata benar; tuduhan ini tidak dapat dijadikan alasan memarginalkan, memfragmentasi apalagi membubarkan IDI. Alasannya, esensinya tidak substansial dan sistematik. Penyelesaiannya bisa secara internal.
tulis komentar anda